Imam Ja’far Ash Shadiq: Zuhud Bukan Berarti Anti Dunia

ja'far ash shadiq

Pecihitam.org – Imam Ja’far ash-Shadiq lahir di Madinah pada 83 H/702 M dan wafat 148 H/ 765 M. Ja’far Shadiq yang juga dikenal dengan julukan Abu Abdillah seorang ulama besar dalam bidang fiqih dan tasawuf (Guru Imam Hanafi dan Imam Malik). Beliau juga menjadi imam para sufi di zamannya serta menjadi pangkal bertemunya silsilah beberapa tarekat diseluruh dunia.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Sezaman dengan Imam Ja’far ash-Shadiq hidup pula seorang yang mempunyai keahlian yang sama dalam bidang fiqih dan tasawuf yaitu Sufyan As-Tsauri. Keduanya dikenal sebagai ahli fiqih dan sekaligus ahli makrifat.

Pada zamannya, keduanya juga dikenal sebagai pendiri mazhab fiqih besar, namun dalam perkembangannya, fiqih mereka kalah populer dengan fiqih-fiqih yang lain, sehingga mazhab fiqih-nya tidak terlalu kita kenal sampai saat ini.

Syahdan, pada suatu hari Sufyan As-Tsauri mendatangi Ja’far Al-Shadiq dan ia melihat Imam Ja’far mengenakan pakaian yang indah gemerlap dan sangat mewah. As-Tsauri merasa, Imam yang terkenal sangat salih dan zahid itu, tidak pantas untuk memakai pakaian seperti itu.

As-Tsauri berkata, “Busana ini bukanlah pakaianmu!”. Imam Ja’far ash-Shadiq menimpali ucapan As-Tsauri dengan berkata, “Dengarkan aku dan simak apa yang akan aku katakan padamu. Apa yang akan aku ucapkan ini, baik bagimu sekarang dan pada waktu yang akan datang, jika engkau ingin mati dalam sunnah dan kebenaran, dan bukan mati di atas bid’ah.

Baca Juga:  Begini Konsep Zuhud di Mata Sang Sufi, Rabiah Al Adawiyah

Aku beritakan padamu, bahwa Rasulullah saw hidup pada zaman yang sangat miskin. Ketika kemudian zaman berubah dan dunia datang, orang yang paling berhak untuk memanfaatkannya adalah orang-orang salih, bukan orang-orang yang durhaka; orang-orang mukmin, bukan orang-orang munafik; orang-orang Islamnya bukan orang-orang kafirnya. Apa yang akan kau ingkari, hai As-Tsauri?

Demi Allah, walaupun engkau lihat aku dalam keadaan seperti ini sejak pagi hingga sore, jika dalam hartaku ada hak yang harus aku berikan pada tempatnya, pastilah aku sudah memberikannya semata-mata karena Allah.”

Perkataan Sufyan As-Tsauri sebelumnya, bisa dibilang mewakili pandangan sekelompok orang yang meyakini bahwa kesucian harus dicapai dengan mengorbankan segala-galanya, meninggalkan pekerjaan, memberikan seluruh harta, meninggalkan keluarga, mengasingkan diri, dan menjauhkan diri dari dunia. Pandangan ini mengatakan bahwa cinta dunia itu sumber segala kejahatan, dan akhirnya mereka memilih untuk membenci dunia.

Baca Juga:  Ini Tandanya Hati yang Sudah Mati Menurut Ibnu Athaillah As-Sakandari

Pandangan ala Sufyan As-Tsauri, tidak bisa dibilang salah, sebab memang ada segolongan orang yang karena “kondisi tertentu harus menjalani model demikian”. Namun hal itu tidak dapat diterapkan sepenuhnya kepada semua orang.

Karena jika dipukul rata demikian, maka siapakah di antara kita yang harus membayar zakat, melakukan ibadah haji, mengurus orang yang lemah, membiayai pendidikan, melakukan penelitian ilmiah dan sebagainya?

Melihat kehidupan tasawuf dari sisi yang ini saja, bisa melahirkan pemahaman yang keliru dalam memandang tasawuf dan kehidupan Sufi yang oleh sebagian penentangnya, diidentikkan dengan kemiskinan, kelusuhan, dan bahkan kekotoran. Hal ini juga bisa membuat orang takut belajar tasawuf dan menjalani kehidupan sufi karena kuatir menjadi miskin.

Imam Ja’far Shadiq menunjukkan dengan argumentasi yang sangat fasih, bahwa tasawuf sejati tidaklah demikian. Beliau menjelaskan bahwa kemiskinan yang distandarkan dengan keshalehan berasal dari kekeliruan dalam memahami Al-Quran dan hadis.

Tasawuf sejati bukan tidak memiliki dunia tetapi tidak dimiliki dunia. Sufi bukan berarti tidak mempunyai apa-apa, tetapi tidak dipunyai apa-apa (Laisa Zuhud bian La tamlika Syaian, Innama Zuhud an laa yamlikaka dzalikas syaik), sebagaiman ditegaskan oleh Imam Abu Hasan Ali Asyadzili.

Baca Juga:  Imam Ghazali, Merobohkan Permainan Akrobatisme Intelektual

Bisa diartikan, apa yang dilakoni oleh Sufyan As-Tsuri adalah tahap mujahadah, meninggalkan segala kemelekatan agar mudah mencapai tujuan. Sedangkan apa yang ditampilkan oleh Imam Ja’far Shadiq adalah kelanjutan dari mujahadah, hal yang lebih berat lagi yaitu ketika Allah memberikan kekayaan dan kemakmuran tidak membuat kita lalai di dalam mengingat-Nya. Dengan demikian, zuhud memang tidak cinta dunia namun bukan berarti meninggalkan dunia.

Waallahua’lam bisshawab.

Arif Rahman Hakim
Sarung Batik