Inayah, Pertolongan Allah Kepada Hamba-hamba-Nya

Inayah

Pecihitam.org– Sering kita mendengar inayah dalam beberapa sambutan seseorang dalan ceramahnya. “Semoga kita mendapatkan taufik dan inayah dari Allah”, begitu kira-kira.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Lalu, pengertian inayah dan bagaimana seorang hamba bisa mendapatkannya? Baca tulisan ini hingga selesai.

Daftar Pembahasan:

Pengertian Inayah

Secara kebahasaan, kata inayah merupakan bentuk masdar (abstact-noun) dari kata ‘anâ-ya’ni-inâyah, yang berarti memperhatikan sesuatu yang bermanfaat atau bermakna.

Mungkin karena itulah, Ahmad ibn Yahyâ menyamakan arti al-ma’nå dengan kata al-tafsir dan al-ta’wil, karena terdapat sesuatu yang bermanfaat.

Kata “makna” dalam bahasa Indonesia berarti sesuatu yang memiliki nilai guna dan manfaat, seperti tergambar dalam kalimat “hadiah ini sangat bermakna atau berarti buat saya.”

Dalam sebuah hadis dikatakan, bahwa salah satu bentuk keislaman yang terbaik bagi seseorang adalah “tarkuhů må lå ya’nihi,” yaitu meninggalkan sesuatu yang tidak bermanfaat baginya.

Kata al-inayah sendiri bisa berarti perhatian terhadap sesuatu yang bermanfaat atau pertolongan.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa seseorang yang mendapat inâyah adalah apabila ia dalam hidupnya senantiasa menebarkan manfaat yang berguna bagi kehidupan diri maupun sosialnya.

Sebuah hadis Nabi SAW menyatakan bahwa, “khayrukum anfa’uhum li al-nâs” (sebaik-baik manusia di antara kamu adalah yang paling memberikan manfaat bagimanusia lain).

Kerangka konseptual ini memberikan pengertian bahwa sejarah hidup manusia ini tidak saja ditentukan oleh dirinya sebagai pribadi, tetapi juga oleh kehidupan sosialnya sehingga relasi sosial manusia menjadi titik tolak terciptanya kepribadian seseorang yang bermanfaat dan bermakna.

Inayah Menurut Pandangan Tasawuf

Inayah, dalam istilah tasawuf digunakan untuk menjelaskan suatu bentuk pertolongan Allah atau fasilitas yang diberikan kepada seseorang hamba yang tidak dapat dijelaskan secara alamiah.

Pertolongan Allah ini merupakan kenikmatan yang luar biasa besar, karena tidak sesuai dengan hukum alam (natural law).

Secara hukum alam, semua penumpang dalam pesawat yang jatuh hancur berkeping-keping di udara pasti tidak hidup lagi, namun jika terdapat yang masih hidup, maka itu disebut inâyah Allâh, yaitu pertolongan yang tidak bisa dijelaskan lagi secara teoritis.

Baca Juga:  Tata Cara Sholat Idul Fitri Berjamaah dan Sendiri di Rumah Lengkap dengan Bacaannya

Tidak jarang pertolongan Allah terjadi pada waktu seseorang ditimpa penyakit kronis yang hanya tinggal menunggu kematian, tetapi kemudian sembuh seperti semula tanpa adanya usaha lahir, atau pada seseorang yang tidak belajar, tetapi pendapatnya mengagumkan semua pakar
(ilm ladunni).

Istilah Lain dari Inayah

Dalam dunia tasawuf, ada beberapa istilah lain untuk Inayah, diantaranya adalah Rahmah.

Para sufi meringkaskan dasar bagi semua yang ada menjadi dua sifat Ilahi – keindahan dan keagungan, rahmah dan kemurkaan, atau kelembutan dan kekerasan.

Jejak-jejak rahmah dan kemurkaan bisa
dilukiskan dengan simbol yin-yang. Sebagaimana tidak ada yin murni atau yang murni, maka begitu pulalah tidak ada rahmat murni atau kemurkaan murni dalam diri makhluk.

Setiap kali rahmah memperlihatkan tanda-tanda dan jejak-jejaknya dalam diri setiap makhluk, akan ada juga berbagai manifestasi kemurkaan dan vice versa.

Secara umum, segala sesuatu yang berkaitan dengan alam lahiriah dan material cenderung memanifestasikan kemurkaan.

Sebaliknya, semakin dekat kita dengan dunia spiritual, semakin dekat pula kita menghampiri rahmat murni.

Sebagaimana dikemukakan Jalaluddin Rumi, “Dunia ini adalah tempat kemurkaan Allah,” yang berarti bahwa akhirat adalah tempat kelembuatan dan rahmat Allah.

Karena itu, setiap langkah dalam perjalanan kembali menuju Allah ditopang oleh rahmat-Nya. Tanpa rahmah Allah kita tidak bisa berbuat apa-apa. Melalui ramah, kelembutan, dan keindahan Allah, kesempurnaan spiritual yang diupayakan kaum sufi dapat dilihat.

Di sini, cinta —yang bersifat sentral dalam ekspresi ajaran-ajaran sufi adalah sesuatu yang terkait dengan rahmat sebagai sebab penciptaan.

Ibnu Arabi (w. 1240 H) menyatakan, bahwa rahmat Allah yang menyebabkan terciptanya alam semesta adalah eksistensi itu sendiri, tetapi ada perbedaan sifat mendasar antara rahmat dan cinta.

Jika rahmah itu hanya mengalir dalam satu arah, dari Allah menuju makhluk maka cinta bergerak dalam dua arah sekaligus, yaitu dari Allah kepada hamba dan dari hamba kepada Allah.

Baca Juga:  Perbedaan dan Pertikaian Antara Ikhwanul Muslimin dengan Salafi Wahabi

Sebagian orang berkeyakinan, bahwa
rahmat dan inayah Allah itu hanya terjadi pada proses penciptaan dunia dan hal-hal bersifat global, seperti mengatur bumi, langit, matahari, bulan, bintang-bintang, planet-planet, dan alam besar lainnya. Sedangkan hal-hal yang bersifat spesifik tidak diatur oleh-Nya.

Jika demikian adanya, sudah dapat dipastikan akan terjadi kekacauan di dalam ekosistem alam ini, karena mengatur hidup terserah saja kepada kehendak benda kecil itu.

Tentu akan terjadi, seorang yang berniat menanam padi, lalang yang tumbuh; seorang mengandung anak mengharapkan seorang manusia, tetapi lahir anak buaya atau kerbau.

Orang hendak mengendarai kuda, kuda itu kebetulan jadi katak, telinganya yang sebelah terjadi dari telinga keledai, kakinya kaki harimau perutnya perut manusia, dan mulutnya mulut babi.

Sebab asal benda hanya satu. Tanpa ada yang mengatur, mengurus, dan menjaga ekosistem alam ini maka akan menjadi kekacauan, sementara kita tidak bisa mengatur, mengurus, dan menjaganya.

Karena itu, keteraturan ekosistem alam ini tidak bisa dilepaskan adanya rahmat dan inayah Allah yang sengaja ditebarkan di dunia.

Kata Inayah oleh sebagian ulama
disamakan dengan al-ma’unah, yaitu suatu bentuk keistimewaan luar biasa yang dimiliki manusia biasa, selain al-mu’jizah (untuk Nabi), al-karamah (untuk wali), al-‘istidraj (untuk orang fasik) dan al-sihr (untuk orang kafir).

Masing-masing manusia secara eksistensial memiliki potensi yang sama di hadapan Allah untuk memperoleh keistimewaan itu tanpa harus diusahakan melalui sebab-sebab tertentu di luar perkiraan manusia.

Cara Memohon Inayah

Etika yang seharusnya dilakukan manusia dalam meminta dan memohon pertolongan (al-isti’anah) kepada Allah telah dilukiskan dalam QS. Al-Fatihah ayat 5 yang sering kita baca

اِيَّاكَ نَعْبُدُ وَاِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُۗ

Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan.

Ayat ini memberikan pengertian bahwa prosedur meminta pertolongan harus didahului oleh tuntutan kewajiban untuk menyembah hanya kepada Allah.

Baca Juga:  Bagaimanakah Hukum Menggauli Isteri Saat Istihadlah? Ini Penjelasan Ulama Syafiiyah

Etika prosedural ini dianut kalangan sufi, ketika ia ingin memperoleh inayah Allah. Seorang sufi merasa tidak layak dan malu mendapatkan inayah-Nya sebelum ia melaksanakan secara kaffah kewajiban beribadah yang dibebankan kepadanya.

Kalimat al-isti ‘anah (meminta pertolongan) di atas adalah usaha permintaan pertolongan (al-inayah) terhadap sesuatu yang sulit, bahkan tidak mungkin dapat dilakukan oleh kualifikasi kekuatan manusia biasa, baik secara intelektual, moral-emosional maupun spiritual.

Para ulama mendifinisikannya sebagai “penciptaan sesuatu yang dengannya menjadi sempurna atau mudah pencapaian apa yang diharapkan.”

Perlu ditekankan juga, bahwa Allah
mengatur dan mengontrol kehidupan ini dengan hukum-Nya (sunnatullah suatu sistem hukum Tuhan yang lazim berlaku sebagai sebab akibat) dan bukan dengan takdir-Nya.

Meskipun demikian, di dalamnya tersedia secara penuh “potensi rezeki” kehidupan dan alternatif-alternatif kehidupan yang dapat dipilih, diolah, dimanfaatkan, dan dikembangkan manusia.

Semua potensi dan alternatif kehidupan disediakan kepada manusia untuk dipergunakan atau dilaksanakan menurut “jalan Allah.”

Manusia harus bisa memilih secara profesional dan proporsional di dalam dunia ini antara nafsu-nafsu alamiah dan nafsu-nafsu tidak alamiah, sebab difisiensi profesionalitas dan proporsionalitas seseorang dapat mengakibatkan kerusakan suatu sistem dan tatanan dunia (idza wusidal armu ila ghayri ahlihi fantaziris-sâ’ah. Jika suatu urusan diserahkan kepada
manusia yang tidak profesional maka tunggulah saat kehancurannya).

Faisol Abdurrahman