Inilah Sejarah Pemeliharaan dan Pengumpulan Hadits

Sejarah Pengumpulan Hadits

Pecihitam.org – Banyak yang sepakat bahwa sebenarnya pemeliharaan dan pengumpulan hadits dimulai sejak zaman Nabi. Akan tetapi, pemeliharaan dan pengumpulannya bukan melalui dokumentasi tertulis, melainkan lewat hafalan, sebuah metode yang sangat umum digunakan oleh masyarakat Arab pada waktu itu yang budayanya kebanyakan masih bersifat tuturan, metode hafalan juga menjadi andalan bagi pengetahuan umum saat itu.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Umumnya disepakati pula bahwa penyebaran hadits sudah dimulai sejak zaman Nabi, di mana para pengikutnya yang menyaksikan instruksi atau perkataan Nabi kemudian menyampaikannya kepada pengikut lain yang tidak hadir.

Upaya penyebaran (transmisi) semacam itu menjadi harapan saat itu, mengingat betapa pentingnya peran Nabi dalam masyarakat Muslim awal tersebut.

Di antara mereka yang terkenal sebagai penyampai sejumlah hadits Nabi adalah istri Nabi sendiri, Aisyah binti Abu Bakar (w. 58/678), yang tentu sebagai orang paling dekat sehingga memiliki kesempatan untuk mengamati perilaku Nabi setiap hari.

Dia bahkan mengkritik kaum Muslim yang lain jika merasa bahwa mereka menyampaikan hadits yang tidak benar, dan bertindak sebagai hakim dalam mengklarifikasi kebenarannya.

Setelah Nabi wafat, berbagai laporan tentang pertimbangan-pertimbangan, pendapat-pendapat, dan praktik-praktik yang telah Nabi lakukan dulu turut memainkan peran penting bagi pengambilan keputusan dalam kehidupan masyarakat Muslim awal, setidaknya dalam bidang-bidang yang cukup penting di mana Nabi banyak memberikan teladan di dalamnya dan sudah disaksikan oleh orang banyak.

Baca Juga:  Sejarah Perjalanan Budaya Pemikiran Islam dari Masa ke Masa

Selama masa hidup Nabi, banyak pengikutinya yang meminta pendapat kepadanya tentang berbagai hal, sebagaimana perintah al-Qur’an; “Wahai orang-orang yang beriman…taatilah Rasul-Nya (Muhammad)”, dan ayat; “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu”.

Maka sangat wajar bila para sahabat Nabi kemudian ingin menyampaikan informasi-informasi yang berasal dari Nabi tersebut kepada umat Islam yang lain yang baru mengenal Islam di berbagai daerah atau mereka yang tidak berjumpa langsung dengan Nabi.

Berbagai riwayat menunjukkan, sebagaimana dijelaskan oleh Abdullah Saeed (2012), bahwa dalam menyampaikan hadits, beberapa sahabat meminta klarifikasi kepada sahabat yang lain perihal kebenaran hadits yang sedang ia riwayatkan tersebut, meski tidak menggunakan metode yang sistematis.

Beberapa sahabat Nabi yang aktif menyampaikan hadits di tempat pengajaran mereka di antaranya, Ubay bin Ka’b, Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin Abbas, Ali bin Abi Thalib, dan, seperti yang sudah disebutkan di atas, Aisyah binti Abu Bakar.

Menulis -hadits-hadits yang sudah direkam dari Nabi tersebut sebenarnya masih belum dianggap penting sampai zaman itu. Umar bin Abdul Aziz-lah, khalifat Bani Umayah, orang pertama yang memutuskan untuk mengorganisir pengumpulan hadits dan merekam koleksi hadits tersebut secara tertulis dalam bentuk kitab kumpulan hadits.

Berkat para sahabat Nabi dan para tabi’in yang keluar dari Makah dan Madinah untuk menyebarkan hadits ke seluruh wilayah kekhalifahan Islam yang semakin luas, semakin banya pula murid-murid ilmu hadits yang bermunculan, bahkan mereka mau melakukan perjalanan untuk menggali pengetahuan tentang hadits.

Baca Juga:  Kisah Rasulullah dan Kaum Muslimin Hijrah ke Negeri Habasyah (Ethiopia)

Adanya perselisihan sektarian dan munculnya kekhalifahan dinasti yang pertama, yakni dinasti Bani Umayah pada 41/661 M), maka semakin menunjukkan urgensi untuk menggali pengetahuan dari sumber-sumbernya yang otentik.

Makah, Madinah, Yaman, Iraq, dan Suriah menjadi pusat utama koleksi hadits, dan tahap demi tahap akhirnya pengoleksian dan pengumpulan hadits secara tertulis tidak bisa dihindari lagi.

Koleksi tertulis pertama adalah koleksi hadits di bidang hukum yang ditulis oleh Ibnu Jarir, al-Auza’I, dan Sufyan al-Thauri, tetapi sayangnya tidak ada satupun karya mereka yang masih ada sampai sekarang.

Di antara karya koleksi hadits paling klasik yang masih ada hingga sekarang adalah Muwatta’ karya Imam Malik bin Anas, yang juga merupakan tokoh yang menginisiasi lahirnya mazhab Maliki dari Madinah.

Pada dasarnya, berbagai jenis kumpulan hadits pun muncul, baik yang disusun berdasarkan subyek bahasan maupun berdasarkan periwayatan. Kumpulan hadits tersebut diklasifikasikan ke dalam beberapa kelompok, di antaranya:

Pertama, sahifah: jenis kumpulan hadits yang paling awal, berupakan koleksi hadits yang ditulis oleh para sahabat atau para tabi’in.

Kedua, rasa’il atau kutub: koleksi hadits yang menyangkut salah satu dari delapan topic yang spesifik (akidah, kesalehan, akhlak, uraian al-Qur’an, sejarah, kritis, apresiasi dan kecaman terhadap orang dan perilaku tertentu).

Baca Juga:  Pendapat Quraish Shihab Terhadap Terjadinya Pembunuhan Anak Perempuan Zaman Jahiliyah

Ketiga, musannaf: koleksi hadits yang tebal dan diatur dalam bab-bab yang diklasifikasikan menurut subyek bahasan.

Keempat, musnad: secara teknis mengacu pada koleksi yang disusun secara teratur menurut nama sahabat terakhir dalam rantai silsilah periwayatan hadits, tetapi secara umum digunakan juga untuk merujuk pada koleksi hadits yang shahih.

Kelima, jami’: koleksi hadits berukuran tebal dan mencakup kedelapan topic spesifik seperti dalam rasa’il. 

Kenam, sunan: karya yang hanya membahas tentang hadits ahkam.

Beberapa koleksi tentu sangat dihargai dan lebih dikenal daripada koleksi yang lain. Bagi kelompok Sunni, shahih Bukhari dan Muslim dianggap sebagai dua sumber hadits yang paling utama dan paling otoritatif, meskipun ada juga beberapa hadits yang terkandung di dalamnya yang dikritik oleh para ulama kemudian.

Selain itu, karya-karya penting lainnya yang termasuk koleksi hadits yang diakui di antaranya koleksi Abu Dawud, Tirmizi, Ibnu Majah, dan Nasa’i. Sedangkan karya musnad yang paling penting adalah yang ditulis oleh Ahmad bin Hanbal, pencetus mazhab Hanbali.

Rohmatul Izad

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *