Sejarah Berdirinya Dinasti Umayyah

Sejarah Berdirinya Dinasti Umayyah

Pecihitam.org – Nama Dinasti Umayyah dinisbatkan kepada Umayyah bin Abd Syams bin Abdu Manaf. Ia adalah salah seorang tokoh penting di tengah Quraisy pada masa jahiliah. Ia dan pamannya Hasyim bin Abdu Manaf selalu bertarung dalam memperebutkan kekuasaan dan kedudukan.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Dinasti Umayyah didirikan oleh Muawiyah bin Abu Sufyan bin Harb. Muawiyah di samping sebagai pendiri daulah Bani Abbasiyah juga sekaligus menjadi khalifah pertama. Ia memindahkan ibu kota kekuasaan Islam dari Kufah ke Damaskus.

Muawiyah dipandang sebagai pembangun dinasti yang oleh sebagian besar sejarawan awalnya dipandang negatif. Keberhasilannya memperoleh legalitas atas kekuasaannya dalam perang saudara di Shiffin dicapai melalui cara yang curang.

Lebih dari itu, Muawiyah juga dituduh sebagai pengkhianat prinsip-prinsip demokrasi yang diajarkan Islam, karena dialah yang mula-mula mengubah pimpinan negara dari seorang yang dipilih oleh rakyat menjadi kekuasaan raja yang diwariskan turun-temurun (monarchy heredity).

Di atas segala-galanya jika dilihat dari sikap dan prestasi politiknya yang menakjubkan, sesungguhnya Muawiyah adalah seorang pribadi yang sempurna dan pemimpin besar yang berbakat. Di dalam dirinya terkumpul sifat-sifat seorang penguasa, politikus, dan administrator.

Muawiyah tumbuh sebagai pemimpin karier. Pengalaman politik telah memperkaya dirinya dengan kebijaksanaan-kebijaksanaan dalam memerintah, mulai dari menjadi salah seorang pemimpin pasukan di bawah komando Panglima Abu Ubaidah bin Jarrah yang berhasil merebut wilayah Palestina, Suriah, dan Mesir dari tangan Imperium Romawi yang telah menguasai ketiga daerah itu sejak tahun 63 SM.

Kemudian Muawiyah menjabat kepala wilayah di Syam yang membawahi Suriah dan Palestina yang berkedudukan di Damaskus selama kira-kira 20 tahun semenjak diangkat oleh Khalifah Umar.

Khalifah Utsman telah menobatkannya sebagai ”Amir Al-Bahr” (Prince of the sea) yang memimpin armada besar dalam penyerbuan ke kota Konstantinopel walaupun belum berhasil.

Muawiyah berhasil mendirikan Dinasti Umayyah bukan hanya dikarenakan kemenangan diplomasi di Siffin dan terbunuhnya Khalifah Ali. Melainkan sejak semula gubernur Suriah itu memiliki ”basis rasional” yang solid bagi landasan pembangunan politiknya di masa depan.

Baca Juga:  Tragedi Karbala, Potret Buram Sistem Khilafah

Pertama, adalah berupa dukungan yang kuat dari rakyat Suriah dan dari keluarga Bani Umayyah sendiri. Penduduk Suriah yang lama diperintah oleh Muawiyah mempunyai pasukan yang kokoh, terlatih, dan disiplin di garis depan dalam peperangan melawan Romawi.

Mereka bersama-sama dengan kelompok bangsawan kaya Mekah dari keturunan Umayyah berada sepenuhnya di belakang Muawiyah dan memasoknya dengan sumber-sumber kekuatan yang tidak ada habisnya, baik moral, tenaga manusia, maupun kekayaan.

Negeri Suriah sendiri terkenal makmur dan menyimpan sumber alam Yang berlimpah. Ditambah lagi bumi Mesir yang berhasil dirampas, maka sumber-sumber kemakmuran dan suplai bertambah bagi Muawiyah.

Kedua, sebagai seorang administrator, Muawiyah sangat bijaksana dalam menempatkan para pembantunya pada jabatan-jabatan Penting. Tiga orang patutlah mendapat perhatian khusus, yaitu ’Amr bin Ash, Mugirah bin Syu’bah, dan Ziyad bin Abihi.

Ketiga pembantu Muawiyah merupakan empat politikus yang sangat mengagumkan di kalangan muslim Arab. Akses mereka sangat kuat dalam membina perpolitikan Muawiyah.

‘Amr bin Ash sebelum masuk Islam dikagumi oleh bangsa Arab karena kecakapannya sebagai mediator antara Quraisy dan suku-suku Arab lainnya jika terdapat perselisihan.

Setelah menjadi muslim hanya beberapa bulan menjelang penaklukan Mekah, nabi segera memanfaatkan kepandaiannya itu sebagai pemimpin militer dan diplomat.

Tokoh besar ini terutama dikenang sebagai penakluk Mesir di zaman Umar dan menjabat gubernur pertama di wilayah itu. Sejak wafatnya Khalifah Utsman, ’Amr mendukung Muawiyah dan ditunjuk olehnya sebagai penengah dalam peristiwa tahkim. Sayang hanya dua tahun ia mendampingi Muawiyah.

Orang kedua ialah Mugirah bin Syu’bah, seorang politikus independen. Karena keterampilan politiknya yang besar, Muawiyah mengangkatnya menjadi gubernur di Kufah yang meliputi wilayah Persia bagian utara, suatu jabatan yang pernah dipegangnya kira-kira satu atau dua tahun semasa pemerintahan Umar.

Baca Juga:  Begini Strategi Dakwah Wali Songo Dalam Islamisasi Di Jawa

Keberhasilan Mugirah yang utama ialah kesuksesan menciptakan situasi yang aman dan mampu meredam gejolak penduduk Kufah yang sebagian besar pendukung Ali.

Sedangkan orang ketiga bernama Ziyad bin Abihi, seorang pemimpin kharismatik yang netral, ditetapkan oleh Muawiyah untuk memangku jabatan gubernur di Basrah dengan tugas khusus di Persia Selatan.

Sikap politiknya yang tegas, adil, dan bijaksana menjamin kekuasaan Muawiyah kokoh di wilayah provinsi paling timur itu yang dikenal sangat gaduh dan sukar diatur.

Ketiga, Muawiyah memiliki kemampuan menonjol sebagai negarawan sejati, bahkan mencapai tingkat “hilm”, sifat tertinggi yang dimiliki oleh para pembesar Mekah zaman dahulu.

Seorang manusia hilm seperti Muawiyah dapat menguasai diri secara mutlak dan mengambil keputusan-keputusan yang menentukan, meskipun ada tekanan dan intimidasi.

Gambaran dari sifat mulia tersebut dalam diri Muawiyah setidak-tidaknya tampak dalam keputusannya yang berani memaklumkan jabatan khalifah secara turun-temurun. Situasi ketika Muawiyah naik ke kursi kekhalifahan mengundang banyak kesulitan.

Anarkisme tidak dapat lagi dikendalikan oleh ikatan agama dan moral, sehingga hilanglah persatuan umat. Persekutuan yang dijalin secara efektif melalui dasar keagamaan sejak Khalifah Abu Bakar tidak dapat dielakkan dirusak oleh peristiwa pembunuhan atas diri Khalifah Utsman dan perang saudara sesama muslim di masa pemerintahan Ali.

Dengan menegakkan wibawa pemerintahan serta menjamin integritas kekuasaan di masa-masa yang akan datang, Muawiyah dengan tegas menyelenggarakan suksesi yang damai, dengan pembaiatan putranya, Yazid, beberapa tahun sebelum khalifah meninggal dunia.

Para Khalifah Dinasti Umayyah

Masa kekuasaan Dinasti Umayyah hampir satu abad, tepatnya selama 90 tahun, dengan 14 orang khalifah. Khalifah yang pertama adalah Muawiyah bin Abi Sufyan, sedangkan khalifah yang terakhir adalah Marwan bin Muhammad.

Baca Juga:  Nasab Sunan Gunung Jati, Betulkah Keturunan Rasulullah Saw?

Di antara mereka ada pemimpin-pemimpin besar yang berjasa di berbagai bidang sesuai dengan kehendak zamannya, sebaliknya ada pula khalifah yang tidak patut dan lemah.

Adapun urutan khalifah Umayyah adalah sebagai berikut.

  1. Muawiyah I bin Abi Sufyan 41-60H/661-679M
  2. Yazid I bin Muawiyah 60-64H/679-683M
  3. Muawiyah II bin Yazid 64H/683M
  4. Marwan I bin Hakam 64-65H/683-684M
  5. Abdul Malik bin Marwan 65-86H/684-705M
  6. Al-Walid I bin Abdul Malik 86-96H/705-714M
  7. Sulaiman bin Abdul Malik 96-99H/714-717M
  8. Umar bin Abdul Aziz 99-101H/717-719M
  9. Yazid II bin Abdul Malik 101-105H/719-723M
  10. Hisyam bin Abdul Malik 105-125H/723-742M
  11. Al-Walid II bin Yazid II 125-126H/742-743M
  12. Yazid bin Walid bin Malik 126H/743 M
  13. Ibrahim bin Al-Walid 11 126-127H/743-744M
  14. Marwan II bin Muhammad 127-132H/744-750M.2

Para sejarawan umumnya sependapat bahwa para khalifah terbesar dari daulah Bani Umayyah ialah Muawiyah, Abdul Malik, dan Umar bin Abdul Aziz.

Muawiyah bin Abi Sufyan adalah bapak pendiri Dinasti Umayyah. Dialah tokoh pembangun yang besar. Namanya disejajarkan dalam deretan khulafaur rasyidin.

Bahkan kesalahannya yang mengkhianati prinsip pemilihan kepala negara oleh rakyat, dapat dilupakan orang karena jasa-jasa dan kebijaksanaan politiknya yang mengagumkan.

Muawiyah mendapat kursi kekhalifahan setelah Hasan bin Ali bin Abi Thalib berdamai dengannya pada tahun 41 H. Umat Islam sebagiannya membaiat Hasan setelah ayahnya itu wafat.

Namun Hasan menyadari kelemahannya sehingga ia berdamai dan menyerahkan kepemimpinan umat kepada Muawiyah sehingga tahun itu dinamakan ‘amul jama’ah, tahun persatuan.

M Resky S

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *