Pembunuh Ali Bin Abi Tholib Ternyata Seorang Hafidzh Qur’an

Pecihitam.org – Sang Pintu Ilmu, Sayyidina Ali bin Abi Thalib karramallahu wajhah, suatu ketika didemo secara pribadi oleh seorang rakyatnya. Kalimat yang keluar dari mereka adalah “Dulu, di zaman Abu Bakar, Umar, & Utsman (radliyAllahu anhum) kondisi negara stabil. Kini, di era engkau menjadi pemimpin, kondisinya tidak stabil”.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Ada protes terselubung dalam statemen rakyat ini. Sayyidina Ali tersenyum.

“Pada masa beliau bertiga itu,” kata Ali, “yang dipimpin adalah orang-orang macam aku, sedangkan sekarang ini yang kupimpin adalah orang-orang macam kamu!!”.

Beda zaman, beda tindakan. Beda era, beda pula reaksi atas sebuah kejadian. Di era kepemimpinan menantu Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam tersebut, daerah kekuasaan Islam bertambah luas. Para sahabat Rasulullah juga banyak yang sudah bermigrasi ke kawasan lain.

Selain dikelilingi sahabatnya yang loyal, Sayyidina Ali juga dikerubuti orang-orang aneh; sekelompok orang dengan jalan pikiran ekstrem. Mereka bergabung dengan kubu Sayyidina Ali, lalu keluar dari barisan manakala menantu Rasulullah itu memutuskan gencatan senjata dengan kubu Muawiyah bin Abi Sufyan r.a.

Baca Juga:  Penyatuan Kalender Hijriyah dan Jawa, Sebuah Upaya Membumikan Nilai Islam

Cinta kepada Sang Pintu Ilmu berubah menjadi benci. Mereka menyolidkan diri menjadi sebuah gerakan oposisi ekstrem.

Pernah, suatu waktu, Abdullah ibn Abbas diperintah oleh Ali mengintai keseharian kelompok yang memiliki semboyan La Hukma Illa Lillah itu. Putra Abbas bin Abdul Muthalib r.a takjub dengan keseharian mereka: puasa di siang hari, ibadah di malam hari. Toh, meski demikian, sikap mereka keras.

Ali, suami Fathimah az-Zahra, yang mendapatkan laporan Ibnu Abbas radliyallahu anhuma, sontak menyahut mendengar semboyan La Hukma Illa Lillah. Kalimat benar yang dipakai untuk tujuan batil! sahut Ali.

Pada 17 Ramadan, tanggal mulia yang masyhur dikenal sebagai peristiwa Nuzulul Qur’an, tanggal yang juga dikenang sebagai tonggak kemenangan kaum muslimin dalam Perang Badar, adalah tanggal di mana Sayyidina Ali Karramallahu Wajhah ditikam pada subuh menjelang shalat. (Riwayat lain menulis 19 Ramadan).

Baca Juga:  Kisah Dzulkarnain, Raja Shaleh yang Membangun Tembok Ya'juj Ma'juj

Penikamnya orang kafir? Bukan.

Dia adalah Abdurrahman ibn Muljam. Sosok yang menghabiskan waktu di siang hari dengan berpuasa, malam hari dengan qiyamul lain, dan konon hafal al-Qur’an. Kawan Ibn Muljam lainnya bertugas membunuh Sayyidina Muawiyah bin Abi Sufyan dan Sayyidina Amr bin Ash Radliyallahu ‘anhuma.

Jika kedua shahabat ini lolos, maka tidak dengan Sang Pintu Ilmu. Beliau justru gugur di tangan pembunuh yang meneriakkan “Tidak ada hukum kecuali milik Allah, bukan milikmu dan bukan milik teman-temanmu, hai Ali!” sembari menikam tubuh menantu Baginda Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam.

Ketika ditangkap, Ibnu Muljam berteriak meronta sembari mengutip firman Allah: “Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari keridhaan Allah; dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hambaNya.” (Al-Baqarah: 207).

Baca Juga:  Bijak Menerima Perbedaan Pendapat Hukum Seorang Muslim Mengucapkan Selamat Natal

Pada waktu mulia, subuh; pada hari yang paling mulia, Jum’at; pada bulan yang mulia, Ramadan; seorang ekstremis fanatik mengutip firman mulia pada saat melakukan tindakan terkutuk terhadap manusia mulia, Ali.

Semoga kita dapat mengambil Hikmah dalam Peristiwa ini.

Redaksi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *