Islam Abangan; Kontekstualisasi Teks Agama dan Budaya di Nusantara

Islam Abangan; Kontekstualisasi Teks Agama dan Budaya di Nusantara

PeciHitam.org – Islam Abangan di Nusantara merupakan konfigurasi unik Islam di Indonesia yang berasal dari sinkretisme Islam dengan kemagisan asli suku di Nusantara. Clifford Geertz adalah tokoh utama yang mencetuskan istilah Islam Abangan ini dan dikembangkan olehnya.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Rujukan utama kaum Islam Abangan di Nusantara adalah Sunan Kalijaga, Sunan Bonang, Sunan Muria dan Sunan Gunung Jati yang mana beliau mengadopsi pendekatan budaya dalam dakwah Islam.

Istilah Islam Abangan hasil Ijtihad Cilfford Geertz sebenarnya tidak terlalu tepat, karena golongan ini memiliki kedekatan emosional dengan golongan santri yang taat beragama.

Islam Abangan sebagai Topologi Islam

Perkembangan dakwah Islam di Nusantara banyak memiliki variasi sebagai sebagai hasil persinggungan islam dan tradisi lokal. Geertz menyebutkan bahwa Islam abangan sebagai representasi dari kecenderungan perilaku masyarakat yang masuk Islam namun tidak terlalu konsisten dalam menjalankan syariat  dengan sempurna.

Pola menjalankan Islam bagi kaum abangan menurut Geertz, bukan berasal dari minimalitas pengetahuan agama namun lebih kepada ketidak-konsistenan menjalankan Islam.

Ketidak-konsistenan menjalankan perintah Agama menurut dia disebabkan keengganan untuk meninggalkan praktek tradisi lokal yang telah mengakar.

Kalangan akar rumput yang  kebanyakan berprofesi sebagai petani di desa-desa merupakan penyumbang besar pengamal Islam Abangan. Golongan ini menurut Geertz merupakan musuh nyata gerakan purifikasi Islam yang mengimpikan adanya pengamalan Islam dengan sempurna sesuai dengan pikiran mereka.

Baca Juga:  Islam Puritan, Salah Satu Wajah Lain dari Masyarakat Islam Indonesia

Dalam penelitan lain yang diinisiasi oleh Marks Woodward menjelaskan bahwa kategorisasi Islam di Indonesia tidak ubahnya baik Santri, Priyayi dan Abangan adalah Islam itu sendiri.

Kategori pembagian Geertz tidak seluruhnya benar, karena membuat pemisah antara Islam taat disebut dengan santri, Islam sinkretis disebut dengan Abangan dan Islam Aristokrat disebut dengan Priyayi.

Pola pemikiran Geertz menurut Marks Woodward adalah contoh penelitian yang kurang holistik ketika dikomparasikan dengan pola perkembangan Islam diberbagai negara Islam, seperti Maroko di ujung barat Afrika.

Islam yang berasal dari Makkah di Jazirah Arab berkembang beriringan dengan peluasan kerajaan dan dinasti Islam.

Pun dalam khazanah keilmuan Islam awal, banyak mengakomodasi berbagai khasais atau Topologi lokal masyarakat Islam. Dalam Ilmu Qiraah Qur’an dikenal adanya Qira’ah Sab’ah bahkan Qira’ah ‘Asyrah, model membaca Al-Qur’an dengan gaya membaca yang berbeda. Islam mengakomodir perbedaan ini sebagai kekayaan khazanah sejarah dan akademik dalam Islam.

Kajian Holistik terhadap Islam Abaangan bisa dipahami sebagai khasais atau topologi Islam di Nusantara yang bersentuhan dengan tradisi lokal. Selama tidak bertentangan dengan Islam baik dari segi teologi dan syariah, Islam Abaangan adalah Islam itu sendiri. Istilah Islam Abangan dapat diabaikan sebagai sebuah teori yang sudah terbantahkan.

Baca Juga:  Mengenal Santri Lebih Jauh Terkait Sejarah, Istilah, Penghargaan dan Islam Moderat

Mendudukan Islam Abangan

Kontekstualisme Islam tetap bisa berkembang sesuai dengan lokalitas budaya asal sebelum kedatangan Islam. Islam tetap bernama Islam walaupun bersinggungan dengan budaya selama tidak melangar poko teologi Islam yaitu Tauhid. Allah SWT berfirman;

وَإِذَا بُشِّرَ أَحَدُهُمْ بِالأنْثَى ظَلَّ وَجْهُهُ مُسْوَدًّا وَهُوَ كَظِيمٌ (٥٨)يَتَوَارَى مِنَ الْقَوْمِ مِنْ سُوءِ مَا بُشِّرَ بِهِ أَيُمْسِكُهُ عَلَى هُونٍ أَمْ يَدُسُّهُ فِي التُّرَابِ أَلا سَاءَ مَا يَحْكُمُونَ (٥٩)

Artinya; “Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan Dia sangat marah. ia Menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah Dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup) ?. ketahuilah, Alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu” (Qs. An-Nahl: 58-59)

Masyarakat Arab Jahiliyah memandang bahwa anak perempuan adalah aib bagi keluarga, karena dianggap sebagai kaum lemah. Tidak ada kebanggan memiliki anak perempuan, ia tidak bisa dibanggakan sebagai jagoan suku dalam perang tanding.

Baca Juga:  9 Metode Dakwah Walisongo dalam Menyebarkan Islam di Tanah Jawa

Misi Muhammad SAW adalah menetapkan yang haq dan mengikis kebatilan, dengan setahap demi setahap. Dakwah sebagaimana dalam fiqhud da’wah menganjurkan adanya langkah-langkah sistematis untuk mengislamkan masyarakat.

Fenomena Islam Abaangan dewasa ini sudah bergeser dan berbaur dengan pengamalan Islam yang  sempurna. Pun ritus-ritus yang dianggap sebagai ciri Islam Abangan sudah mengalami pola Islamisasi yang akan sempurna seiring berjalannya waktu dan penguatan dakwah yang damai model Walisongo. Ash-Shawabu Minallah

Mohammad Mufid Muwaffaq