Pecihitam.org– Muhammad bin Abdul Wahhab dikenal luas sebagai pencetus paham Wahabi yang cenderung kaku dan mudah memvonis kafir. Tapi sekeras-keerasnya Muhammad bin Abdul Wahhab, ternyata dalam persoalan takfir, beliau tidak sebrutal pengikutnya kini.
Sebagaimana disebutkan oleh Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki dalam Mafahim Yajibu An Tushahha, Muhammad bin Abdul Wahhab mengkonfirmasi dan membantah paham takfir yang disematkan padanya.
Namun tulisan ini tidak bermaksud membela pemikiran Muhammad bin Abdul Wahhab yang notabene bertentangan dengan mainstream keyakinan Ahlussunnah wal Jamaah.
Tulisan ini merupakan kajian terhadap kitab Mafahim, yang ternyata sekeras-keerasnya Muhammad bin Abdul Wahhab masih tidak sekeras pengikutnya kini yang dengan mudah menuduh bid’ah, syirik dan kufur pada pemikiran yang berebeda dengan mereka.
Daftar Pembahasan:
Sosok Muhammad bin Abdul Wahhab
Dikutip dari Wikipedia, Muhammad bin ʿAbd al-Wahhāb (1115 – 1206 H/1701 – 1793 M) adalah seorang ahli teologi agama Islam dan seorang tokoh pemimpin gerakan keagamaan yang pernah menjabat sebagai mufti Daulah Su’udiyyah yang kemudian berubah menjadi Kerajaan Arab Saudi.
Pendukung paham dan gerakan Muhammad bin Abdul Wahhab banyak ditemui di Arab Saudi, khususnya Nejad (Riyad) dan juga ada beberapa kelompok kecil di negara lainnya, termasuk di Indonesia.
Umumnya pengikutnya disebut Wahhabi. Walau sebagian mereka menolak disebut Wahabi, karena pada dasarnya ajaran Muhammad bin Abdul Wahhab menurut mereka adalah ajaran Nabi Muhammad, bukan ajaran tersendiri.
Karenanya mereka lebih memilih untuk menyebut diri mereka sebagai Salafiyun (mengikuti jejak generasi salaf) atau Muwahhidun yang berarti “Mengesakan Allah”. Itu menurut klaim mereka. Namun faktanya pemahaman Muhammad bin Abdul Wahhab beserta pengikutnya dinilai berbeda dengan Para salafus shaleh.
Sikap Muhammad bin Abdul Wahhab tentang Vonis Kafir
(Sekali lagi, menurut Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki), Muhammad bin Abdul Wahhab memiliki sikap yang lebih mulia dalam hal takfir daripada kaum Wahabi itu sendiri yang cenderung serampangan dan membabi buta, hingga dengan mudah mengkafirkan saudara sesama muslim.
Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki menulis sebagai berikut:
“Syaikh Muhammad ibn Abdul Wahhab rahimahullah memiliki sikap mulia dalam hal pentakfiran. Sebuah sikap yang dipandang aneh oleh mereka yang mengklaim sebagai pendukungnya kemudian memvonis kafir secara serampangan terhadap siapapun yang berbeda jalan dan menolak pemikiran mereka. Padahal Syaikh Muhammad ibn Abdul Wahhab sendiri menolak semua pandangan-pandangan tak berharga yang dialamatkan kepadanya”
2 Risalah Muhammad bin Abdul Wahhab
Kemudian Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki menyebutkan dan mengutip isi dari 2 risalah atau surat Muhammad bin Abdul Wahhab yang membantah pemikiran takfiri yang disematkan padanya. Risalah pertama ditujukan kepada Penduduk Qashim. Risalah kedua ditujukan kepada As-Suwaidi di Iraq.
Risalah untuk Penduduk Qashim
Dalam sebuah risalah yang dikirimkannya kepada penduduk Qashim pada bahasan tentang aqidah ia menulis sebagai berikut:
”Telah jelas bagi kalian bahwa telah sampai kepadaku berita mengenai risalah Sulaiman ibn Suhaim yang telah sampai kepada kalian dan bahwa sebagian ulama di daerah kalian menerima dan membenarkan isi risalah tersebut. Allah mengetahui bahwa Sulaiman ibn Suhaim mengada-ada atas nama saya ucapan-ucapan yang tidak pernah aku katakan dan kebanyakan tidak terlintas sama sekali di hatiku.”
Diantaranya:
Ucapan Sulaiman bahwa saya menganggap sesat semua kitab madzhab empat. Bahwa manusia semenjak 600 tahun yang silam tidak menganut agama yang benar. Saya mengklaim mampu berijtihad dan lepas dari taqlid. Perbedaan para ulama adalah malapetaka dan saya mengkafirkan orang yang melakukan tawassul dengan orang-orang shalih, dan saya mengkafirkan Imam al-Bushiri karena ucapannya: Wahai makhluk paling mulia.
Seandainya saya mampu meruntuhkan kubah Rasulullah saw. maka saya akan melakukannya dan jika mampu mengambil talang Ka’bah yang terbuat dari emas maka saya akan menggantinya dengan talang kayu.
Saya mengharamkan ziarah ke makam Nabi saw, mengingkari ziarah ke makam kedua orang tua dan makam orang lain, saya mengkafirkan orang yang bersumpah dengan selain Allah, mengkafirkan Ibnu Faridl dan Ibnu ‘Araby, dan bahwasanya saya membakar kitab Dalailul Khairaat dan Raudhat ar-Rayahin yang kemudian saya namakan Raudhat asy-Syayathin.
Jawaban saya atas tuduhan telah mengucapkan perkataan-perkataan di atas adalah firman Allah:
سُبْحٰنَكَ هٰذَا بُهْتَانٌ عَظِيْمٌ
“Mahasuci Engkau, ini adalah kebohongan yang besar.” (QS. An-Nur ayat 16)
Sebelum apa yang saya alami terjadi, peristiwa mirip pernah dialami Nabi saw. Beliau dituduh telah memaki Isa ibn Maryam dan orang-orang shalih. Hati mereka yang melakukan perbuatan terkutuk ini sama persis sebab menciptakan kebohongan dan ucapan palsu.
Allah swt. berfirman: “Sesungguhnya yang mengada-adakan kebohongan, hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada ayat-ayat Allah.” (QS. An-Nahl ayat 105)
Kafir Qurays melontarkan tuduhan palsu bahwa Nabi saw. mengatakan bahwa Malaikat, Isa dan ‘Uzair berada di neraka. Lalu Allah menurunkan firman-Nya:
“Bahwasanya orang-orang yang telah ada untuk mereka ketetapan yang baik dari Kami. Mereka itu dijauhkan dari neraka.” (QS. Al-Anbiya` ayat 101)
Risalah untuk As-Suwaidi di Iraq
Risalah ini dikirimkan kepada as-Suwaidi, seorang ulama Iraq.
Sebelumnya as-Suwaidi mengirimkan buku dan menanyakan mengenai apa yang diperbincangkan masyarakat.
Kemudian Syaikh Muhammad ibn Abdul Wahhab menjawab dalam risalahnya:
“Tersebarnya kebohongan adalah hal yang membuat orang yang berakal merasa malu untuk menceritakannya apalagi untuk membuat-buat hal-hal yang tidak ada faktanya. Sebagian dari apa yang kalian katakan adalah bahwasanya saya mengkafirkan semua orang kecuali mereka yang mengikutiku.
Sungguh aneh, bagaimana mungkin kebohongan ini masuk ke akal orang yang berakal? Dan bagaimana mungkin seorang muslim akan melontarkan ucapan demikian?
Dan apa yang kalian katakan: Seandainya saya mampu meruntuhkan kubah Nabi saw. niscaya saya akan merealisasikannya, membakar dalailul khairaat jika mampu dan melarang bersholawat kepada Nabi dengan ungkapan sholawat apapun.
Perkataan-perkataan ini dikategorikan kebohongan. Dalam hati seorang muslim tidak terbesit dalam hatinya sesuatu yang lebih agung melebihi al-Qur’an.
Pada halaman 64 dari kitab yang sama Syaikh Muhammad ibn Abdul Wahhab berkata:
“Apa yang kalian katakan bahwa saya telah mengkafirkan orang yang melakukan tawassul dengan orang-orang shalih, mengkafirkan Al-Bushiri karena ungkapannya: Wahai makhluk paling mulia, mengingkari diperkenankannya ziarah kubur Nabi saw, kuburan kedua orang tua dan kuburan-kuburan orang lain serta mengkafirkan orang yang bersumpah menggunakan nama selain Allah, maka jawaban saya atas semua tuduhan ini adalah Firman Allah:
“Maha suci Engkau ( ya Tuhan kami ), ini adalah Dusta yang besar.” (QS. an-Nur ayat 16)
Kesimpulan
Dari paparan atau tepatnya kajian kitab Mafahim di atas, kita menjadi faham bahwa sekeras-kerasnya Muhammad bin Abdul Wahhab dalam menyikapi perbedaan, tidaklah seekstrim kaum Wahabi atau pengikut Muhammad bin Abdul Wahab yang kita temui hari ini.
Baik dalam persoalan ziarah kubur, Tawassul, ngalap berkah, maupun persoalan vonis kafir secara umum.
Namun sekali lagi, tulisan ini bukan merupakan bentuk pembelaan terhadap pemikiran Muhammad bin Abdul Wahab yang secara umum lebih banyak bertentangan dengan keyakinan Ahlussunnah Wal Jamaah.
Tulisan atau kajian ini merupakan sebagai bentuk sportif dan objektif dalam rangka menyampaikan amanah ilmiah yang intinya ini sebagai teguran kepada kaum Wahabi hari ini untuk mengingat bahwa panutan mereka pun tidak sebegitu kaku dan dan sekeras mereka dalam menyikapi perbedaan.