Pecihitam.org – Barangkali sebagian besar masyarakat masih awam dengan sosok Mbah Mutamakkin, salah satu ulama Nusantara yang hidup pada masa kerajaan Surakarta abad ke-17.
Mbah Mutamakkin lahir di Tuban tepatnya di Desa Cebolek (ganti nama menjadi desa Winong) sekitar 7 km dari pusat kota Tuban Jawa Timur, saat ini makamnya di Desa Kajen, tepatnya di Kecamatan Margoyoso Kabupaten Pati Jawa Tengah.
Secara geneologi, mbah Mutamakkin merupakan keturunan Raden Fatah (Kerajaan Demak) yang berasal dari sultan Treonggono. Sedangkan dari garis Ibu merupakan keturunan Syaid Ali Akbar atau sering kita kenal dengan Sunan Bejagung, Semanding Tuban.
Satu-satunya sumber data yang menceritakan kontroversi Syaikh Mutamakkin adalah Serat Cebolek karya Yasadipura I. Serat ini menceritakan perdebatan keagamaan masyarakat Jawa yang timbul adanya kontak antara ulama pembela syari’at yang mewakili Islam eksoteris atau legal-eklusif yang dimotori oleh Ketib Anom Kudus dengan ulama Islam legalistic atau subtantin-inklusif, pengembang tasawuf falsafi yang di wakili oleh Mbah Mutamakkin.
Inti dari perbedatan tersebut adalah ketika Ketib Anom Kudus mempermasalahkan strategi dakwah Syaikh Mutamakkin dengan menggunakan cerita Dewa Ruci sebagai medianya.
Bagi Mbah Mutamakin cerita Dewa Ruci mengandung unsur etik dan mistik, ramuan antara Hindu, Jawa, dan Islam yang penuh makna simbolik. Cerita Dewa Ruci menegaskan perlunya persatuan hidup sebagai suatu destination.
Jalan menuju persatuan ini dalam bentuk simbol, sehingga untuk mencapai sebuah kesatuan hidup diperlukan riyadloh, tirakat, penempaan diri. Proses inilah di dalam Islam disebut sebagai Thariqah, yaitu sebuah jalan atau cara menuju kesatuan antara manusia dengan Tuhannya. Ada maqamat yang harus dilalui sebagai bentuk penempaan diri sebagaimana para tokoh-tokoh sufi pada umumnya.
Sementara menurut Ketib Anom Kudus dengan digunakannya cerita Dewa Ruci sebagai media dakwah, ajaran Islam sudah tidak murni lagi dan melenceng dari syari’at sebagaimana yang ketentuan Al Qur’an dan Hadits.
Secara filsosofis cerita Dewa Ruci merupakan sebuah proses mencari kesempurnaan hidup yaitu bagaimana manusia harus menjalani perjalanan batin guna menemukan identitas diri atau dalam mistik Jawa disebut sangkan paraning dumadi atau manunggaling kawula Gusti.
Interpretasi religiousitas-humanistik yang dilakukan Syaikh Mutamakkin melalui cerita Dewa Ruci tentu harus kita tanggapi secara positif dari proses akulturasi yang berlangsung di Jawa.
Apa yang dilakukan oleh Syaikh Mutamakkin saat itu adalah menghidupkan kembali kekayaan religiositas local. Melalui metode pengajaran cerita Dewa Ruci memudahkan masyarakat Jawa dalam memahami khazanah-khazanah Islam, bahwa kesempurnaan hidup itu tercapai manakala ia dapat melepaskan diri dari hal-hal yang bersifat jasmani.
Syaikh Mutamakkin telah melakukan sebuah terobosan baru yang tidak dilakukan oleh para ulama Nusantara yang sezamannya, dengan cara memanfaatkan cerita rakyat seperti kisah Dewa Ruci dalam memberikan kontribusi pendidikan.
Selama ini pendidikan di negeri kita hanya sebatas transfer of knowledge dari guru kepada murid, tanpa dilandasi dengan meaning of understanding, sehingga banyak yang gagal faham sebagaimana yang dialami oleh Ketib Anom Kudus.
Proses transformasi yang dilakukan oleh Mbah Mutamakkin tentu didukung dengan ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadits sebagaimana yang ia tulis di dalam Arsyul Muwahhidin dan buku Pakem Kajen. terlebih lagi ia merupakan salah satu tokoh pembaharuan sufistik di tanah Jawa yang neo-sufistik.
Penulis: Abdul Rosyid, M.A. (Dosen IAIN Kediri)
Editor: Baldan
- Mengenal Imam Abu al-Hasan al-‘Ijli Pengarang Kitab al-Tsiqat - 09/03/2024
- Menteri Agama RI Luncurkan PMB PTKIN 2024 - 20/01/2024
- Gagasan tentang Pluralisme Menurut Para Sufi, Filsuf dan Faqih - 18/01/2024