Menjawab Ketakutan Salafi Wahabi Terhadap Simbol Agama Lain

Menjawab Ketakutan Salafi Wahabi Terhadap Simbol Agama Lain

PeciHitam.orgMasjid, Bulan Sabit, Mihrab, Minbar, Kubah, kalimat Tauhid merupakan salah satu bentuk simbol dalam Islam. Khusus dalam kalimat Tauhid, di era modern banyak terjadi ihtitaf, hijeking atau pembajakan terhadap nilainya.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Karena banyak digunakan sebagai simbolisasi gerakan ekstrimis yang mengatas namakan Islam.

Pun simbol lainnya, beberapa waktu yang lalu terjadi kegaduhan terhadap simbol-simbol yang diklaim sebagai biang kemusyrikan. Sebagaimana kasus pemenggalan Simbol Salib karena merasa terganggu dengan benda yang  menancap dipemakaman umum tersebut.

Walaupun klarifikasi menyebutkan bahwa pemenggalan tersebut adalah kesepakatan keluarga dan masyarakat setempat.

Setidaknya buih pemikiran tersebut tidak terlepas dari nalar salafi wahabi yang  sangat tidak menyukai segala bentuk simbol non-muslim.

Bisa jadi bentuk tiang jemuran dan kerangka layang-layang akan tertuduh biang musyrik dan pemurtadan.

Islam dan Tauhid

Nilai ajaran agama Samawi yang tidak pernah berubah dari masa Nabi Adam AS sampai Nabi Muhammad SAW adalah Tauhid, meng-Esa-kan Allah SWT. Pokok utama Islam juga tidak terlepas dari masalah teologi tersebut.

Bahwa seorang yang beriman haruslah meyakini bahwa hanya Allah SWT sebagai Tuhan, dan janjiNya adalah;

من قال لا إله إلا اللهُ دخل الجنَّةَ

Artinya; Barangsiapa yang mengatakan Laa ilaaha illallah pasti masuk surga”

Keyakinan kepada Allah SWT tereja-wantahkan dalam sebuah kalimat agung yaitu, syahadatain, dua kalimat  syahadat. Dua kalimat syahadat adalah pengakuan atas Allah SWT sebagai Tuhan dan Muhammad SAW sebagai utusanNya.

Baca Juga:  Kewajiban Bekerja dalam Islam, Pahalanya Seperti Jihad di Jalan Allah

Keyakinan ini meniscayakan adanya pengakuan atas semua perangkat yang berkaitan dengan keduanya, yaitu al-Quran dan Hadis.

Lunturnya keyakinan ini, Allah SWT sebagai Tuhan dan Muhammad SAW sebagai Utusan, maka akan membawa konsekuensi disebut Murtad. Penekanan dalam soal Iman adalah masalah hati, Nabi Muhammad SAW sendiri tetap melakukan shalat setelah Isra’ Mi’raj dalam keadaan Ka’bah penuh berhala.

Faktanya tentang simbolisasi dalam Islam dan masalah ketauhidan tetap harus memperhatikan kontekstualisme. Pun tidak pernah ada keraguan bahwa yang Nabi Muhammad SAW hadap adalah Ka’bah menafikan deretan berhala yang terdapat di dalamnya.

Masalah Memasuki Rumah Ibadah Non-Muslim

Berkaca dari kontekstualisme masa sekarang, banyak rumah ibadah non-muslim, baik aktif atau non-aktif dijadikan destinasi wisata harus dipahami dengan proporsional.

Pandangan Ulama sekelas Ibnu Qudamah dan yang sepemahaman dengan beliau membolehkan rumah ibadah non-Muslim seperti Gereja dan lainnya sebagai tempat sujud.

Syaratnya adalah harus bersih, tidak terkena najis atau kotor bukan merubah status menjadi Masjid terlebih dahulu. Kebersihan adalah syarat standar yang diperlukan seorang Muslim sebelum melakukan shalat baik di masjid atau tempat lainnya.

Baca Juga:  Benarkah Wali Allah tidak Pernah Mati? Ini Penjelasannya

Pandangan Ibnu Qudamah tentang kesahan shalat di Rumah Ibadah Non-Muslim merujuk pada kisah Umar bin Khattab RA;

وَرَوَى ابْنُ عَائِذٍ فِي ” فُتُوحِ الشَّامِ “، أَنَّ النَّصَارَى صَنَعُوا لَعُمَر حِينَ قَدِمَ الشَّامَ، طَعَامًا، فَدَعَوْهُ، فَقَالَ: أَيْنَ هُوَ؟ قَالُوا: فِي الْكَنِيسَةِ، فَأَبَى أَنْ يَذْهَبَ، وَقَالَ لَعَلِيٍّ: امْضِ بِالنَّاسِ، فَلِيَتَغَدَّوْا. فَذَهَبَ عَلِيٌّ بِالنَّاسِ، فَدَخَلَ الْكَنِيسَةَ، وَتَغَدَّى هُوَ وَالْمُسْلِمُونَ، وَجَعَلَ عَلِيٌّ يَنْظُرُ إلَى الصُّوَرِ، وَقَالَ: مَا عَلَى أَمِيرِ الْمُؤْمِنِينَ لَوْ دَخَلَ فَأَكَلَ، وَهَذَا اتِّفَاقٌ مِنْهُمْ عَلَى إبَاحَةِ دُخُولِهَا وَفِيهَا الصُّورُ، وَلِأَنَّ دُخُولَ الْكَنَائِسِ وَالْبِيَعِ غَيْرُ مُحَرَّمٍ

Ketika pada masa pemerintahan Umar bin Khattab, Syam ditaklukan dan ditemukan banyak pemeluk agama Nasrani yang berada diSyam. Maka kaum Nasrani berinisiati untuk menyambut Umar bin Khattab dengan jamuan makan besar.

Tempat perjamuan tersebut dipusatkan di Gereja orang Nasrani sebagaimana kebiasaan ketika itu.

Menghadapi situasi tersebut Umar bin Khattab menolak untuk menghadiri perjamuan dan memerintahkan Ali bin Abi Thalib RA untuk menghadirinya.

Maka Ali bin Abi Thalib RA memenuhi undangan tersebut menggantikan Umar dan menyantap hidangan yang disediakan. Kemudian Ali berkata: Aku tidak tahu kenapa Umar menolak datang?”

Dalam pandangan Ibnu Qudamah riwayat ini menjadi bukti kebolehan memasuki rumah Ibadah Non-Muslim. Maka dalam konteks modern, anggapan kaum salafi wahabi yang terdapat dalam akun Manhaj_salaf1 tentang keharaman rekreasi ke Candi adalah tidak sesuai dengan pendapat Ulama.

Baca Juga:  Apakah Takdir Bisa Dirubah? Ini Penjelasannya

Selama memasuki rumah ibadah non-muslim (baik Candi, Sinagog, Gereja dan lainnya) tidak menjadikan tergunjang imannya maka tidak menjadi masalah.

Karena keimanan tidak serta merta luntur karena melihat simbol agama lain. Ash-Shawabu Minallah

Mohammad Mufid Muwaffaq