Mitos dan Budaya dalam Tradisi Potong Rambut Gimbal di Dataran Tinggi Dieng

tradisi potong rambut gimbal

Pecihitam.org – Dieng adalah salah satu obyek wisata yang terdapat di daerah Jawa Tengah. Selain mempunyai banyak sekali tempat wisata, Dieng juga menawarkan berbagai tradisi dan budaya yang unik untuk dinikmati oleh para pengunjung. Salah satu tradisi yang unik di dataran tinggi Dieng adalah pemotongan rambut gimbal.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Dieng memang mempunyai sejarah tersendiri khususnya menjadi tempat bersemayamnya para raja-raja nusantara. Secara historis, Dieng pernah menjadi tempat berdirinya kerajaan Hindu sebelum abad ke-9. Selain itu, Dieng juga menjadi tempat yang tinggi dan bagus untuk menjadi salah satu tempat beribadah pada zaman dulu.

Selain sejuk, pemandangan yang asri serta mempunyai ketenangan yang sangat nyaman, Dieng menjadi salah satu tempat pilihan untuk topo broto (bertapa) oleh para raja. Salah satu raja yang pernah bertapa di dataran tinggi Dieng adalah Eyang Loano.

Selain mempunyai nilai sejarah yang tinggi, dataran tinggi Dieng juga mempunyai tradisi yang unik yang sekarang masih dilestarikan oleh masyarakat yaitu tradisi potong rambut gimbal.

Istilah lain dari pemotongan rambut gimbal adalah Rawutan. Ruwatan berasal dan kata ruwat atau mangruwat yang berarti membuat tidak kuasa, menghapuskan kutukan, menghapuskan kemalangan, noda, dan lain-lain.

Baca Juga:  "Wekel Ngaji lan Jama'ah": Petuah Kiai dalam Khazanah Islam Nusantara

Menurut legenda yang tumbuh pada masyarakat Dieng dan sekitamya, anak-anak berambut gimbal merupakan titipan Kyai Kolo Dete yang merupakan salah seorang punggawa pada masa Mataram Islam  abad-14.

Bersama dengan Kyai Walid dan Kyai Karim, Kyai Kolo Dete ditugaskan oleh Kerajaan Mataram untuk mempersiapkan pemerintahan di daerah Wonosobo Banjarnegara dan sekitamya. Kyai Walid dan Kyai Karim bertugas di daerah Wonosobo, sementara Kyai Kolo Dete bertugas di dataran tinggi Dieng dan sekitamya termasuk Desa Pejawaran yang masih dalam lingkup dataran tinggi Dieng.

Setelah tiba di dataran tinggi Dieng, Kyai Kolo Dete dan istrinya (Ni Roro Rence) mendapat wahyu dan Ratu Pantai Selatan. Pasangan Nim ditugaskan membawa masyarakat Dieng menuju kesejahteraan. Kemudian tolak ukur sejahteranya masyarakat Dieng akan ditandai dengan keberadaan anak-anak berambut gimbal.

Sejak itulah, muncul anak-anak berambut gimbal di kawasan dataran tinggi Dieng dan sekitamya. Masyarakat Dieng sangat mensakralkan anak yang berambut gimbal. Berbagai macam permintaan dimintaknya ketika sang anak hendak akan di potong rambut gimbalnya.

Baca Juga:  Inilah Kitab-Kitab Tafsir Al-Qur'an Karangan Para Ulama Nusantara

Namun anak gimbal seperti anak-anak lainya. Yang menjadi perbedaan adalah ketika upacara pemotongan rambut, sang anak diajak untuk untuk di potong dan dirawat supaya rambut gimbalnya bisa tumbuh dengan baik.

Adanya sebuah mitos yang mengatakan bahwa jika anak berambut gimbal tidak dijaga dengan baik, maka kesejahtraan masyarakat Dieng akan menurun. Hal tersebut didasari atas sejarah yang menyatakan bahwa kesejahtraan masyarakat Dieng tergantung jumlah anak yang berambut gimbal.

Pemotongan rammbut biasanya dilakukan pada pergantian tahun Islam atau dalam bulan Jawa disebut 1 Syuro. Maka tidak heran pada bulan atau tanggal sebelum acara pemotongan dilakukan, pengunjung atau wisatawan berbondong-bondong datang ke Dieng untuk melihat tradisi unik tersebut.

Banyaknya wisatwan yang datang untuk melihat dan menikamti upacara pemotongan rambut gimbal, ternyata dapat menjadi pendapatan bagi masyarakat Dieng.

Jika melihat sejarah, mitos dan realitas saat ini. Mitos yang bergembang di masyarakat memang sangat nyata. Artinya tradisi yang diajarkan oleh para leluhur dulu ternyata dapat menjadi pelajaran penting yang harus dijaga. Khususnya mitos yang berimplikasi pada nilai-nilai kebudayaan yang dapat menjadikan masyarakat sejahtera.

Baca Juga:  NU dan Muhammadiyah, Wajah Islam Moderat di Indonesia

Salah satu tradisi yang unik di dataran tinggi Dieng dapat menjadikan cerminan bagi masyrakat Indonesia. Percontohan dari tardisi dan budaya yang diwarisi oleh leluhur ternyata dapat menaikan nilai ekonomi dan pendapatan di masyarakat.

Tentunya setiap warga  Indonesia dapat melestarikan budayanya masing-masing. Melestarikan budaya dan tradisi leluhur dapat meningkatkan nialai-nilai kebangsaan dalam kearifan lokal juga dapat meningkatkan pendapatan tiap-tiap daerah.

M. Dani Habibi, M. Ag