Pengurus Masjid Minta Gaji, Bagaimana Cara Tasharufnya?

pengurus masjid minta gaji

Pecihitam.org – Dewasa ini, khususnya di perkotaan banyak sekali masyarakat karena kesibukannya atau karena tidak ada kemampuan mengurus masjid mengangkat seseorang untuk mengurusnya. Sedangkan yang harus dikerjakan antara lain mengurus kebersihan masjid, menjadi muadzin, mengimami salat, khutbah, dan lainya. Kemudian dengan hal tersebut akhirnya pengurus masjid minta gaji sebagai ganti atas pekerjaan yang dilakukannya. Pertanyaannya bolehkah pengurus masjid minta gaji dan mengambil gaji dari kas masjid mushola dengan pekerjaan itu?

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Dalam pandangan hukum fikih, status wakaf tanah atau bangunan yang sudah diwakafkan untuk menjadi masjid, madrasah, pondok, dan lain-lain, adalah harta yang sudah terlepas dari hak kepemilikan manusia. Artinya, harta tersebut telah berpindah menjadi hak milik Allah SWT. Dan konsekuensi yang dihasilkan tidak dapat dijual, diwariskan, atau diberikan pada siapapun.

Dalam tata cara tasharuf ( pengelolaan dan pembelanjaannya ), setiap orang muslim berhak memanfaatkannya sesuai dengan tujuan pewakafan tersebut. Seperti untuk sholat, dibuat wakaf masjid, mushola, dibuat sekolah, pondok pesantren dan seterusnya.

Baca Juga:  Kabupaten Dharmasraya Larang Natal, Warga Nasrani di Flores Malah Bangun Masjid Untuk Umat Islam

Sedangkan kekayaan masjid dan musholla yang terkandung didalamnya seperti uang kas masjid, pola pembelanjaannya dibedakan sesuai dengan sumber dari mana dana tersebut dihasilkan.

Secara terperinci dapat dijelaskan dalam beberapa perincian sebagai berikut:
Bila kekayaan tersebut dihasilkan dari sedekah dan hibah, maka bentuk tasharuf atau pembelanjaannya disesuaikan dengan tujuan pemberi sedekah atau hibah. Hal tersebut dapat diketahui dari ucapan atau akad pemberi atau juga indikasi-indikasi yang ada. Indikasi tersebut diantaranya seperti melihat tradisi umum yang berlaku di masyarakat. Hal ini dapat berlaku jika dalam tradisi, pemberian itu dimaksudkan untuk kemaslahatan masjid secara umum atau secara khusus, semisal hanya untuk pembangunan saja.

Bila kekayaan itu dari hasil barang atau benda yang di wakafkan pada masjid (roi’ul mauquf ‘ala al masjid). Seperti kebun yang diwakafkan untuk kepentingan masjid (bukan dijadikan masjid), maka hukumnya dipilah lagi:

Pertama, bila kepentingan masjid itu yang dikehendaki mutlak atau untuk meramaikan masjid. Maka pembelanjaannya untuk pembangunan masjid, menara, ongkos, dan gaji penjaga masjid. Sedangkan untuk gaji muadzin dan imam atau biaya beli karpet, lampu, para ulama berbeda pendapat.

Baca Juga:  Hukum Franchise, Pebisnis Wajib Tahu!

Kedua, bila yang dikehendaki dengan kepentingan masjid adalah untuk kemaslahatan masjid. Maka boleh dibelanjakan untuk semua keperluan di atas dengan kesepakatan para ulama. Maka jika pengurus masjid minta gaji bisa diambilkan dari pembelanjaan ini.

Selanjutnya untuk mengetahui kepentingan ini adalah dengan menyesuaikan kehendak orang yang mewakafkan (waqif) ketika mewakafkan barang tersebut. Namun, apabila waqif memutlakkan kepentingan yang dikehendaki, maka tata cara pembelanjaannya mengikuti tradisi (urfy) yang berlaku. Yang pada prinsipnya adalah arah pembelanjaannya lebih mendekati tujuan waqif. Dengan demikian, uang kas masjid atau mushola boleh digunakan untuk gaji penjaga. Apabila tidak menyalahi tujuan pemberi atau tujuan waqif yang dapat diketahui dengan ungkapan atau indikasi (qarinah) ketika terjadi pemberian atau pewakafan.

Namun yang perlu digaris bawahi jika pengurus masjid minta gaji adalah bahwa standar gaji yang berhak ia peroleh dari uang kas masjid ditentukan dengan syarat sebagai berikut:

  1. Tidak kaya/ masih membutuhkan.
  2. Menurut Imam Rofi’i, besar gaji diukur sesuai dengan kebutuhan nafkahnya. Sedangkan menurut pendapat Imam Nawawi, setidaknya diukur dengan dua perkara, yaitu biaya nafkah dan ongkos umum sebagai penjaga masjid. Dan pendapat inilah yang dinilai paling ihthiyat (hati-hati).Walllahu a’lam bisshowab.
Baca Juga:  Masjid di Maros Akan Dibuka Saat New Normal

Referensi Al Syarwani Juz VI, I’anah at Thalibin Juz III, dan al Mahalli Juz III.

Arif Rahman Hakim
Sarung Batik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *