Inilah Kumpulan Pendapat Para Perempuan NU dalam Hal Politik di Indonesia

Inilah Kumpulan Pendapat Para Perempuan NU dalam Hal Politik di Indonesia

Pecihitam.org- Pemikiran politik perempuan NU dikenal melalui pendapat dan tulisan-tulisan dari perempuan NU sendiri, seperti yang dilakukan oleh Shinta Nuriyah Wahid, Siti Musdah Mulia, Maria Ulfah Anshor, Khofifah Indar Parawansa, Lily Zakiyah Munir, dan Aisyah Hamid Baidlowi. Karya yang berupa buku-buku tersebut semuanya mewakili pemikiran yang mainstream.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Shinta Nuriyah Wahid, salah satu tokoh perempuan NU, yang juga istri KH Abdurrahman Wahid, memunculkan pemikiran bahwa ketimpangan gender bersumber dari relasi yang dibangun dalam keluarga.

Shinta menganggap ketidakadilan yang dialami perempuan disebabkan oleh ajaran agama misoginis yang dianggap sebagai kebenaran mutlak. Ajaran ini telah melestarikan ideologi patriarki yang memang dikembangkan untuk mempertahankan dominasi laki-laki terhadap perempuan.

Bersama Forum Kajian Kitab Kuning (FK3), Shinta menulis buku “Wajah Baru Relasi Suami-Istri: Telaah Kitab Uqud al-Lujjayn” yang berisi interpretasi ulang atas kitab Uqud al-Lujjayn yang ditulis oleh Muhammad Ibn Umar al-Banten al-Jawy pada tahun 1877.

Kitab ‘Uqud al-Lujjayn membahas hak dan tanggung jawab suami-istri yang dinilai misoginis terhadap perempuan. Dari 90 hadis dalam Uqud alLujjayn ternyata 50 di antaranya bermasalah, ada sembilan hadis di antaranya palsu dan 21 hadist hampir palsu atau tidak ada sandarannya (Nuriyah dkk, 2001: 12).

Baca Juga:  Apakah Sulam Alis dalam Hukum Islam bagi Wanita Diperbolehkan?

Tokoh perempuan NU yang lain, Aisyah Hamid Baidlowi dikenal dengan pemikirannya tentang kesetaraan gender di ruang publik. Dalam karyanya yang berjudul “Peran dan Tanggungjawab dalam Pemberdayaan Kaum Perempuan”, dibahas masalah kesenjangan pendidikan antara laki-laki dan perempuan, yang seharusnya tidak terjadi mengingat ada hadis yang menegaskan kesetaraan hak antara laki-laki dan perempuan untuk mencari ilmu (Munir, 1999: 126).

Pendidikan penting untuk perbaikan kehidupan perempuan, termasuk dalam upaya mewujudkan kesejahteraan keluarga. Di bidang ekonomi, perempuan juga didorong untuk menjadi kekuatan ekonomi dengan membentuk koperasi dan melakukan kegiatan ekonomi modern.

Sementara di bidang politik, perempuan juga diharapkan untuk meningkatkan partisipasinya, bukan hanya sebagai peserta pemilu, tetapi juga sebagai wakil rakyat (Munir, 1999: 130).

Baca Juga:  3 Jenis Darah Kewanitaan, yang Ketiga Tidak Menggugurkan Kewajiban Beribadah

Lyli Zakiyah Munir, dalam buku berjudul “Hak Azasi Perempuan dalam Islam: Antara Idealisme dan Realitas”, menegaskan pemikiran bahwa budaya patriarki telah menempatkan perempuan hanya sebagai pelengkap, sebagai pendamping suami, hal ini bertentangan dengan Islam yang menyatakan hubungan laki-laki dan perempuan adalah setara dan resiprokal.

Menurut Lyli, Islam tidak membebani perempuan dengan kewajiban di sektor produksi, tetapi lebih kepada tugas reproduksi. Peran ini menurutnya lebih penting karena hal ini merupakan penentu kualitas hidup manusia selanjutnya.

Namun demikian tidak menutup kemungkinan atas pilihan perempuan untuk bekerja di sektor produktif dan kemasyarakatan atas kerelaan dirinya sendiri (Munir, 1999: 53-55).

Khofifah Indar Parawansa adalah salah satu tokoh perempuan NU yang dikenal dengan pemikirannya tentang kesetaraan gender dan partisipasi perempuan dalam politik formal.

Pemikiran tentang kesetaraan gender secara khusus muncul dalam bukunya yang berjudul “Mengukur Paradigma Menembus Tradisi: Pemikiran Tentang Keserasian Jender”.

Baca Juga:  Keistimewaan Wanita, Makhluk Tuhan Simbol Akan Kasih Sayang

Untuk mewujudkan kesetaraan laki-laki dan perempuan, keadilan sosial dan penjaminan HAM, diperlukan perbaikan kualitas, status, dan peran perempuan dalam pembangunan untuk meningkatkan keadilan sosial dan hak-hak asasi manusia yang setara antara perempuan dan laki-laki.

Menurutnya, kualitas perempuan penting untuk mendukung pembangunan di Indonesia. Di sisi lain, upaya peningkatan kualitas perempuan terhalang dengan pendekatan pembangunan yang mengabaikan keserasian dan keadilan gender. Oleh karenanya perlu reorientasi pembangunan yang mengarah kepada keserasian dan keadilan gender (Parawansa, 2006).

Mochamad Ari Irawan