Renungan dari Abu Nawas; Kebohongan Bisa Menjadi Kebenaran

renungan

Pecihitam.org – Sebuah tulisan yang cukup untuk di renungkan dikala waktu senggang, mungkin agak menggelitik namun tetap dalam kesopanan. Renungan itupun dimulai dengan percakapan dua tokoh besar, yang saling melengkapi dalam pemikirannya yang sampai saat ini relevan untuk di pelajari.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Sosok Abu Ali al-Hasan bin Hani al-Hakami (756-814) di kenal dengan nama Abu Nuwas atau Abu Nawas. Salah satu penyair sastra arab klasik pada awal periode Abbasiyah.

Dan sosok Lucretius, lengkapnya Titus Lucretiu Carus (99-55 SM), adalah seorang penyair Romawi dan pengarang epik filsafat De Rerum Natura (Tentang Sifat Alam Semesta).

Sebuah cerita menarik dan dapat dijadikan renungan dari kisah Abu Nawas. Demikian ceritanya. Suatu hari, Abu Nawas berjalan di tengah pasar sambil menengadah melihat ke dalam topinya.

Orang banyak memperhatikannya dengan wajah heran. Apakah Abu Nawas telah gila ? Apalagi dia melihat ke dalam topinya sambil tersenyum. Salah seorang menghampiri dan bertanya, “Wahai saudaraku, apa yang sedang kamu lihat di dalam topi itu?”

“Aku sedang melihat surga, lengkap dengan barisan bidadari,”jawab Abu Nawas. “Coba aku lihat! Aku tidak yakin kamu bisa melihat seperti yang saya lihat,” kata orang itu.

“Mengapa?” tanya Abu Nawas, dan menambahkan, “Hanya orang beriman dan saleh saja yang bisa lihat surga di topi ini. Orang itupun kemudian tergoda dan melihat ke dalam topi.

Baca Juga:  Ketika Abu Nawas Menyuruh Khalifah Mencari Telur Unta

Sejenak dia berkata, “Benar. Aku melihat surga di topi ini dan juga bidadari,” Orang itu berteriak dan di dengar orang banyak, Abu Nawas tersenyum.

Banyak orang yang kemudian tergoda dan ingin sekali melihat surga di dalam topi. Tapi, Abu Nawas mengingatkan, “Hanya orang beriman dan saleh yang bisa melihat surga di dalam topi ini.

Yang tidak beriman tidak akan melihat apa pun,”. Satu demi satu orang melihat ke dalam topi Abu Nawas itu.

Ada yang dengan tegas menyatakan melihat surga, dan ada juga yang lalu, mengatakan, Abu Nawas berbohong. Abu Nawas tetap tenang saja sambil menebar senyum.

Akhirnya, yang tidak melihat surga di dalam topi itu melapor kepada Raja dengan menyatakan, Abu Nawas menyebarkan kebohongan. Raja pun memanggil Abu Nawas untuk menghadapnya.

“Abu Nawas benarkah kamu bilang, orang dapat melihat surga di dalam topimu?” tanya sang raja.

“Benar. Raja, tetapi yang bisa melihat hanya orang yang beriman dan saleh. Yang tidak bisa melihat artinya dia tidak beriman dan tidak saleh,” jawabnya tenang.

“Oh begitu? Coba saya buktikan, apakah benar ceritamu itu,” kata Raja, yang lalu melihat ke dalam topi. Setelah melihat ke dalam topi, Raja terdiam.

Baca Juga:  Media Sosial; Sekedar Berinteraksi, Edukasi, Hingga Menambah Ketaqwaan

Dalam hati sang Raja berkata “Benar, tidak tampak surga di dalam topi ini. Tetapi, kalau aku bilang tidak ada surga, orang banyak akan mengatakan bahwa aku tidak beriman. Tentu saja reputasiku akan hancur.”

Lalu Raja berkata, “Benar! Saya sebagai saksi, di dalam topi Abu Nawas kita bisa melihat surga dengan sederetan bidadari.”

Setelah Raja mengatakan hal itu, orang yang mendengarnya menerima cerita Abu Nawas karena khawatir berbeda dengan Raja, dan yang lebih penting akan dicap sebagai tidak beriman.

Bersenjatakan “surga”, Abu Nawas mampu membuat orang yang takut kehilangan jabatan, kehilangan kekuasaan, tidak populer, dan dianggap tidak beriman membuang akal sehat, mematikan akal sehat, dan melakukan kebodohan.

Karena itu, masuk akal yang dikatakan oleh Lucretius, “tantum religio potuit suadere melorum”, betapa hebatnya agama sampai bisa mendorong berbuat jahat.

Kejahatan karena agama dalam sejarah manusia banyak terjadi dimana – mana, di seluruh dunia, termasuk di negeri kita.

Dunia pernah diwarnai dengan perang 30 Tahun (1618-1648) antara Katolik dan Protestan di wilayah yang sekarang menjadi Jerman, perang di Irlandia Utara antara Protestan dan Katolik, perang Salib, konflik Sunni dan Syiah di Irak, Konflik Hindu dan Muslim di India, dan masih banyak lagi, termasuk kekejaman-kekejaman karena agama.

Baca Juga:  5 Persiapan Penting dalam Menyambut Puasa Ramadhan

Fanatisme agama yang berlebihan, yang kelewatan batas, telah meruntuhkan toleransi antar manusia yang aneka ragam ini. Agama digunakan sebagai senjata untuk melegalkan semua cara termasuk untuk tujuan-tujuan politik.

Demi agama, orang bisa menyakiti orang lain, seperti yang terjadi di Myanmar, Suriah, Nigeria, Pakistan, Afghanistan, Somalia dan jangan lupa termasuk Indonesia.

Kalau keberadaan agama harus dibela dengan kekerasan, apa sumbangannya terhadap peradaban manusia? Bukankah Toleransi, saling mengahargai, saling menghormati, persaudaraan, merupakan ungkapan keberadaan manusia?

Benar yang di katakan oleh Lucretius, “Seluruh hidup merupakan perjuangan dalam kegelapan.” Dan, kegelapan itu sekarang menguasai Bumi karena munculnya pemimpin-pemimpin yang tidak peduli pada kemanusiaan, hak asasi manusia, populis dan xenophobia. Wallahua’lam bisshowab

Arief Azizy

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *