Sejarah Tarekat Naqsabandiyah dan Kedekatannya dengan Penguasa

tarekat naqsyabandiyah

Pecihitam.org – Dalam sebuah riwayat dari Syekh Sirhindi, dikisahkan satu ketika Raja Timur Lenk yang perkasa bersama pasukan raksasanya melintasi daerah Bukhara. Saat itu karpet-karpet dari Khanqah milik Syekh Naqsyabandi tengah ditata dan dibersihkan oleh murid-muridnya.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Tak disangka, penguasa Asia Tengah yang konon di kenal kejam itu memberhentikan pasukannya. Bahkan Timur Lenk, yang namanya berarti “besi bengkok” itu, berdiri di sana menunggu hingga murid Syekh Naqsyabandi menyelesaikan pekerjaannya. Ini menunjukkan betapa takzimnya penguasa Timuriyah itu kepada Syekh Naqsyabandi dan tradisi spiritualnya.

Karena takzimnya juga konon Timur Lenk sampai membangunkan makam Khwaja Ahmad Yiswi, pir-i Turkistin (guru spiritual bangsa Turki), yang merupakan bagian dari mata rantai sanad guru-guru Naqsyabandi.

Syekh Naqsyabandi memiliki nama Muhammad bin Muhammad, bergelar Bahauddin Naqsyabandi yang kalau diterjemahkan secara bebas bisa berarti “pengukir agama yang indah”. Beliau lahir pada tahun 717 Hijriyah di Qashrul Arifah, kurang lebih 4 mil dari Bukhara (tempat kelahiran Imam Bukhari).

Pada awalnya Bahauddin Naqsyabandi belajar tasawuf kepada Syekh Muhammad Baba as-Samasi, akan tetapi secara penahbisan beliau mengambil tarekat kepada Amir Kulal, wakil dari Syekh Baba Samasi. Sehingga, dalam mata rantai keilmuan tarekat Naqsabandiyah bisa dirunutkan ke atas seperti ini:

Syekh Bahauddin Naqsyabandi > Syekh Amir Kulal > Syekh Baba Samas > Syekh Ali Ramitani > Syekh Mahmud Faghnawi > Syekh Arif Riwakari > Syekh Abdul Khaliq Ghujdwani > Syekh Yusuf Hamadani > Syekh Abu Ali Farmadhi> Syekh Abul Hasan Kharqani > Abu Yazid Bustami > Imam Ja’far Shadiq > Qasim bin Muhammad bin Abu Bakr > Salman al-Farisi > Abu Bakr Shiddiq > Rasululllah Muhammad Saw.

Baca Juga:  Kasyf, Ketika Hati Bersih dan Hijab-hijab Tersingkap

Syekh Bahauddin Naqsyabandi pernah mengabdi kepada Sultan Khalil penguasa Samarkand, selama 12 tahun. Ketika sang penguasa digulingkan pada tahun 748 H/ 1347 M, beliau kemudian mengungsi ke Ziwartun.

Di sana Syekh Bahauddin Naqsyabandi menjadi penggembala ternak selama tujuh tahun, dan kemudian bekerja dalam proyek perbaikan jalan selama tujuh tahun lagi. Pengabdian ini merupakan bagian dari pelatihan rohaninya, sebelum memasuki lingkungan tarekat secara lebih intens.

Meski Syekh Bahauddin Naqsyabandi dikenal dekat dengan penguasa dan memiliki pengaruh yang besar terhadap mereka, beliau tetap menjaga jarak terhadap pergaulan kalangan bangsawan. Syekh hidup secara sederhana dari hasil kepemilikan sepetak tanah yang dikerjakan orang lain.

Suatu ketika Syekh Bahauddin Naqsyabandi ditanya, mengapa tidak memiliki hamba, laki-laki atau perempuan? Beliau menjawab, “Rasa memiliki tidak mungkin bersatu dengan kewalian.”

Syekh Bahauddin Naqsyabandi dikenal sangat disiplin dan memerhatikan latihan moral dan spiritual murid-muridnya. Syah Waliyullah pernah menyatakan bahwa disiplin yang tinggi, yang diterapkan Syekh Naqsyabandi kepada para muridnya, didasarkan pada karakter bangsa Turki yang menjadi induk kebudayaan yang membesarkannya.

Namun begitu, menurut Jami’, Syekh Bahauddin Naqsyabandi biasa mengatakan bahwa jalan tarekat yang ditempuhnya adalah al-urwah al-wutsqa, seperti yang ditempuh Rasulullah Saw dan para Sahabatnya.

Syekh Bahauddin Naqsyabandi juga mengatakan, “Sangatlah mudah mencapai pengetahuan tertinggi dalam hal tauhid, tapi sangat sulit mencapi makrifat.”

Hal ini menunjukkan prinsip yang sangat halus terkait perbedaan antara (sekadar) pengetahuan yang dipelajari dengan pengalaman spiritual yang didapatkan secara langsung melalui pelatihan diri (rohani).

Baca Juga:  Mengenal Konsep Ma’rifah dalam Dunia Tasawuf

Tarekat Naqsabandiyah termasuk tarekat yang menganjurkan keterlibatan dalam pembangunan spiritual dengan pembangunan mental bernegara. Banyak guru-guru tarekat ini, seperti diteladankan Syekh Naqsyabandi sendiri, yang sangat dekat, hingga punya pengaruh yang besar, terhadap para penguasa. Seperti kisah Timur Lenk di atas, contohnya.

Timur Lenk, sang penguasa besar Asia Tengah itu sejak kecilnya dikenal saleh, ramah dan mudah bersimpati. Ini agak bertolak belakang dengan karakternya setelah ia dewasa, yang sering dinyatakan sebagai penjajah yang kejam dan bengis.

Terlepas dari gambaran dirinya yang kejam, Timur Lenk juga dikenal sebagai pengayom seni peradaban Islam, misal seperti karya arsitektural yang megah dan hiasan kaligrafi Alquran yang monumental dan indah. Ini menandakan pengaruh besar Syekh Naqsyabandi yang menjadi guru spiritual bangsa Turki dan Mongol kala itu.

Begitu pula ketika Babur (w. 1530 M) sang pendiri Kerajaan Mughal melakukan invasi besar-besaran ke India, salah seorang Syekh tarekat Naqsabandiyah bernama Ubaidillah Ahrar, ikut mengirimkan murid-muridnya dalam ekspedisi militer itu.Itu sebabnya kemudian tarekat ini berkembang dan maju pesat di India.

Syekh Ahrar (1403-1490 M) sendiri adalah guru spiritual ayah Babur, Umar Syekh Mirza. Ketika Umar Syekh berkonflik dengan pangeran-pangeran Timuriyah lainnya, mereka selalu meminta penyelesaiannya di hadapan Syaikh Ahrar. Dan Pangeran-pangeran itu selalu tunduk dan patuh kepada sang Syekh Ahrar.

Sampai masa kepemimpinan tarekat Syekh Ahmad Sirhindi yang bergelar Mujaddid Alf-i Tsani (pembaharu milenium kedua), tarekat ini tetap dikenal sebagai pelindung spiritual para penguasa muslim India.

Para pemimpin Tarekat Naqsabandiyah terhadap penguasa memang selalu dekat namun mereka menjaga jarak. Bahkan para syekh tidak hidup dari pemberian penguasa, sebaliknya para sultanlah yang selalu meminta dari mereka.

Baca Juga:  Abu Hasan al Syadzili dan Berdirinya Tarekat Syadziliyah (Bagian 1)

Kebanyakan para syekh Naqsyabandi hidup sederhana dan mandiri dari hasil usaha sendiri. Syekh Ahrar yang konon sebagai Syekh terkaya dalam sejarah Naqsyabandiyah, pernah menyumbang pajak dari usaha pertanian yang dikelola atas namanya mencapai 80.000 maund gandum. Jumlah yang terbilang banyak pada masanya. Padahal, itu baru sepuluh persen dari hasil usahanya.

Meski demikian, sosok Syekh Ubaidillah Ahrar sangat bersahaja. Ketika datang orang miskin yang sakit kepadanya, beliau sendiri yang merawat dan membersihkan tempat tidur mereka yang kotor.

Bagi Syekh Ubaidillah Ahrar berkhidmat pada kemanusiaan adalah pintu menuju tingkatan spiritualitas paling tinggi. Tidak hanya kepada yang miskin, beliau juga berkhidmat kepada para sultan dengan berdiri di sisi mereka dan menasihatinya.

Bahkan Kesultanan Mughal India itu semakin tumbuh dan berkembang karena pengaruh Syekh Ubaidillah Ahrar dan para penerusnya. Bagi mereka, para sultan itu ibarat anak kecil yang harus selalu didampingi dan dinasihati, agar tidak menjadi tirani bagi orang-orang yang lemah.

Arif Rahman Hakim
Sarung Batik