PeciHitam.org – Sejak mewabahnya virus Covid-19, segala aktivitas yang mengundang kerumunan memang dilarang atau wajib dihindari. Hal ini juga berdampak pada shalat Jumat sebagai kewajibab muslim laki-laki dewasa, merdeka, sehat, dan mukim setiap pekan.
Adapun golongan yang tidak wajib menjalankan shalat Jumat, disebutkan dalam hadis berikut:
الْجُمُعَةُ حَقٌّ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ فِي جَمَاعَةٍ إِلَّا أَرْبَعَةً عَبْدٌ مَمْلُوكٌ أَوْ امْرَأَةٌ أَوْ صَبِيٌّ أَوْ مَرِيضٌ
Shalat Jumat itu wajib bagi setiap Muslim dengan berjamaah, kecuali empat (golongan), yaitu; hamba sahaya, wanita, anak-anak dan orang yang sakit. (HR. Abu Daud)
Empat golongan di atas, merupakan pengecualian bagi yang tidak mendapatkan kewajiban menjalankan shalat Jumat. Namun di saat pandemic seperti kemarin, memang benar-benar darurat. Sehingga shalat Jumat pun ditiadakan untuk sementara waktu.
Sampai akhirnya pemerintah memberlakukan new normal, yaitu semua kegiatan atau aktivitas baik itu peribadatan, ekonomi, sosial dan sebagainya dapat dilakukan. Namun tetap dapat mengikuti prosedur dan protocol medis dengan tetap memakai masker, jaga jarak, cuci tangan dan sebagainya.
Daftar Pembahasan:
Shalat Jumat Saat New Normal
Shalat Jumat pun kembali dapat digelar dengan tetap memperhatikan prosedur dan protocol kesehatan. Pemberlakuan kembali shalat Jumat tersebut masih menyisakan problematika. Jika mengikuti anjuran untuk menjaga jarak shaf, maka kemungkinan masjid tidak bisa menampung jamaah.
Seperti halnya masjid dalam satu pabrik, instansi, dan perkantoran yang berisi ratusan staf dan karyawan. Banyak hal yang menjadi sorotan. Sehingga beberapa waktu lalu, Kementerian Agama menggagas Shalat Jumat dilakukan dua gelombang.
Hal ini mendapatkan respon dari MUI, yang menolak opsi tersebut. MUI menjelaskan sebagai berikut:
Pelaksanaan Shalat Jumat dua gelombang (lebih dari satu kali) di tempat yang sama pada waktu yang berbeda hukumnya tidak sah, walaupun terdapat ‘udzur syar’i (alasan yang dibenarkan secara hukum).
Solusi untuk situasi saat ini ketika masjid tidak bisa menampung jamaah shalat Jumat karena adanya jarak fisik (physical distancing) adalah bukan dengan mendirikan shalat Jumat secara bergelombang di satu tempat, tapi dibukanya kesempatan mendirikan salat Jumat di tempat lain, seperti mushala, aula, gedung olahraga, stadion, dan sebagainya.
Shalat Jumat dua gelombang juga tidak tepat karena dikhawatirkan malah menimbulkan kerepotan bahkan bisa menimbulkan bahaya bagi para jamaah.
Ketika menunggu giliran shalat Jumat gelombang berikutnya, misalnya. Tentu tidak ada tempat yang aman dan memadai untuk menunggu sehingga justru berpeluang terjadinya kerumunan yang bertentangan dengan protokol Kesehatan.
Sikap MUI Terhadap Usulan Shalat Jumat Dua Gelombang
Sikap MUI atas gagasan Kemenag tersebut akan kami bahas kemungkinan pertimbangannya, antara lain:
Pertama, Memperbanyak Tempat Shalat Jumat
Di Pasuruan, cara ini telah ditempuh dan disahkan oleh para ulama dan habaib. Atas pertimbangan, jangan sampai meninggalkan shalat Jumat, tetapi memperbanyak tempat shalat Jumat, seperti di Mushalla dan langgar meskipun jamaahnya tidak sampai 40 orang. Tidak hanya di masjid Jami’ sebagaimana biasanya.
Di antara syarat sahnya jumat, mazhab Syafi’i menetapkan tidak bolehnya ada pelaksanaan shalat Jumat yang berbilang di suatu tempat, kecuali jika daerah itu sangat besar dan sulit untuk mengumpulkan jamaah di satu tempat.
Adapun dalil dari syarat ini, yaitu Rasulullah SAW, para sahabat, Khulafa Rasyidin, dan para tabi’in tidak pernah melakukan shalat jumat kecuali satu shalat jumat saja dalam satu daerah.
Membatasi shalat Jumat pada satu pelaksanaan saja diperkirakan akan mencapai tujuan utama, yaitu menampakan simbol-simbol persatuan dan persamaan opini. Demikian pula hal yang sama ditetapkan oleh kalangan mazhab Hanbali.
Demikian pula dengan mazhab Maliki, mereka menetapkan, bila shalat jumat dikerjakan berbilang, maka masjid yang mengerjakan shalat jumat yang pertama itulah yang sah, sedangkan yang lain diwajibkan shalat dzuhur bagi semua jamaah.
Intinya, pendapat mayoritas ulama (mahab Maliki yang termasyhur, lalu mazhab Syafi’i dan Hambali), melarang pelaksanaan shalat jumat secara berbilang kecuali kedaruratan.
Adapun mazhab Hanafi, memiliki pendapat dan fatwanya sendiri mereka mengatakan, boleh melaksanakan shalat jumat lebih dari satu shalat jumat dalam sebuah kota dibeberapa tempat untuk menghindari kesulitan yang terjadi.
Diharuskannya shalat jumat bersatu disatu tempat jelas akan menyulitkan, disebabkan jauhnya jarak bagi sebagian besar jamaahnya. Kemudian tidak ditemukan dalil-dalil yang melarang untuk membagi-bagi pelaksanaan shalat jumat dan tidak pula disebutkan kondisi yang mendesak atau alasan kebutuhan yang dapat mencegah terjadinya pelaksanaan salat jumat secara berbilang, apalagi dikota-kota besar.
Imam Ibnu Qudamah rahimahullah berkata, “Kesimpulannya, suatu daerah/ kota yang sangat luas, jika menyulitkan penduduknya untuk berkumpul di satu masjid, dan itu boleh jadi karena berjauhannya tempat tinggal mereka atau sempitnya masjid (yang ada) –seperti di Baghdad, Ashbahan, dan kota lain yang luas– maka boleh shalat Jumat didirikan di beberapa masjid kalau dibutuhkan.”
Syekh Abu Bakar Dimyathi, guru dari para ulama tanah Jawa, menulis dalam catatan kitabnya:
ﻭﻗﺎﻝ اﻟﺴﻴﻮﻃﻲ: ﻛﺜﻴﺮا ﻣﺎ ﻳﻘﻮﻝ ﺃﺻﺤﺎﺑﻨﺎ ﺑﺘﻘﻠﻴﺪ ﺃﺑﻲ ﺣﻨﻴﻔﺔ ﻓﻲ ﻫﺬﻩ اﻟﻤﺴﺄﻟﺔ، ﺇﺫ ﻫﻮ ﻗﻮﻝ ﻟﻠﺸﺎﻓﻌﻲ ﻗﺎﻡ اﻟﺪﻟﻴﻞ ﻋﻠﻰ ﺭﺟﺤﺎﻧﻪ. اﻩ ﻭﺣﻴﻨﺌﺬ ﺗﻘﻠﻴﺪ ﺃﺣﺪ ﻫﺬﻳﻦ اﻟﻘﻮﻟﻴﻦ ﺃﻭﻟﻰ ﻣﻦ ﺗﻘﻠﻴﺪ ﺃﺑﻲ ﺣﻨﻴﻔﺔ
“Al-Suyuthi berkata, ‘Banyak dari ulama Syafi’iyyah taqlid kepada Abu Hanifah dalam soal jamaah shalat Jumat terdiri dari empat orang. Padahal pendapat ini merupakan salah satu dari pendapat al-Syafi’I yang memiliki keunggulan dalil. Dengan demikian, mengikuti salah satu dari dua pendapat al-Syafi’I lebih utama dari pada (pindah) taqlid kepada Abu Hanifah” (Hamisy Hasyiah I’anah al-Thalibin 2/70)
Kedua, Diganti dengan Shalat Dzuhur
ﻭﺃﺟﻤﻌﻮا ﻋﻠﻰ ﺃﻥ ﻣﻦ ﻓﺎﺗﺘﻪ اﻟﺠﻤﻌﺔ ﻣﻦ اﻟﻤﻘﻴﻤﻴﻦ ﺃﻥ ﻳﺼﻠﻮا ﺃﺭﺑﻌﺎ
“Para ulama telah membuat consensus (ijma’) bahwa orang yang tertinggal melakukan shalat Jumat bagi para muqimin (bukan musafir), maka wajib shalat Dzuhur” (Ibnu al-Mandzir, al-Ijma’, 1/40)
Ketiga, Pendapat yang Melarang Shalat Jumat Bergelombang/Shift
حَتَّى إِذَا كَانَ يَوْمُ الْجُمْعَةِ لَمْ يُقِمْهَا إِلاَّ فِيْ مَسْجِدِهِ وَلَمْ يُرَخِّصْ عَلَيْهِ الصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ مَعَ فَرَطِ حُبِّهِ لِلتَّيْسِيْرِ عَلَى أُمَّتِهِ فِيْ أَنْ يُقِيْمُوْهَا فِيْ مَسَاجِدَ مُتَعَدِّدَةٍ أَوْ يُصَلِّيَ بِمَنْ يَتَيَسَّرُ لَهُ الْحُضُوْرُ أَوَّلَ الْوَقْتِ وَيَأْذَنُ فِيْ أَنْ تُقَامَ بَعْدَهُ جُمْعَةٌ وَجُمْعَةٌ وَثَالِثَةٌ وَهَكَذَا لِبَاقِيْ الَّذِيْنَ لاَ يَسْتَطِيْعُ أَنْ يَحْضُرُوْا، وَكَانَ ذَلِكَ أَيْسَرَ عَلَيْهِمْ لَوْ كَانَ
“Sehingga jika sudah datang hari Jumat, maka beliau SAW tidak melaksanakan shalat Jumat kecuali di masjidnya. dan Nabi meskipun sangat ingin memberikan kemudahan kepada umatnya tidak memberi dispensasi untuk mendirikan shalat Jum’at di banyak mesjid, atau shalat bersama orang yang bisa datang kepadanya di awal waktu, dan mendirikan shalat jumat kedua, ketiga dan seterusnya bagi mereka yang tidak bisa datang (di awal waktu). Padahal cara itu lebih mudah bagi mereka seandainya memang diperkenankan.” (Tanwir Al-Qulub, 189)
Empat, Pendapat yang Membolehkan Bergelombang
Masalah seperti ini pernah ditemukan di negeri Eropa, masjid tidak memadai dan sulit memperbanyak tempat salat namun jamaah shalat Jum’at dari Muslim imigran cukup banyak. Akhirnya ada yang menggunakan cara bershift/ susulan seperti ini:
ﻣﺎ ﻳﻔﻌﻠﻪ اﻟﻨﺎﺱ ﻣﻦ ﺇﻋﺎﺩﺓ اﻟﺠﻤﻌﺔ ﻓﻲ ﻣﺴﺠﺪ ﻭاﺣﺪ ﺑﺤﺠﺔ ﺃﻥ اﻟﻨﻈﺎﻡ ﻓﻲ اﻟﻤﺪﺭﺳﺔ ﻻ ﻳﻤﻜﻦ اﻟﻤﺘﺄﺧﺮﻳﻦ ﻣﻦ ﺃﺩاء اﻟﺠﻤﻌﺔ ﻣﻊ اﻷﻭﻟﻴﻦ، ﻓﻬﺬا ﻋﻠﻰ ﻣﺬﻫﺐ اﺑﻦ ﺣﺰﻡ ﻭﻣﻦ ﻭاﻓﻘﻪ ﻻ ﺑﺄﺱ ﺑﻪ، ﺣﻴﺚ ﻳﺮﻯ ﺃﻥ ﻣﻦ ﻓﺎﺗﺘﻪ اﻟﺠﻤﻌﺔ ﻭﻭﺟﺪ ﻣﻦ ﻳﺼﻠﻲ ﻣﻌﻪ ﻭﻟﻮ ﻭاﺣﺪاً ﻓﺈﻧﻪ ﻳﺼﻠﻲ ﻣﻌﻪ ﺟﻤﻌﺔ، ﺃﻣﺎ ﺇﻥ ﻟﻢ ﻳﺠﺪ ﺃﺣﺪاً ﻓﺈﻧﻪ ﻳﺼﻠﻲ ﻇﻬﺮاً
“Apa yang dilakukan oleh sebagian orang yang mengulang shalat Jumat di satu masjid dengan dalih aturan sekolah tidak memungkinkan bagi orang yang terlambat untuk melakukan shalat Jum’at bersama gelombang pertama maka menurut pendapat Ibnu Hazm tidak apa-apa. Ibnu Hazm berpendapat jika ada orang yang ketinggalan shalat Jumat dan masih menemukan orang untuk diajak shalat Jumat, meski satu orang, maka ia shalat Jumat bersamanya. Jika tidak menemukan sama sekali maka ia shalat Dzuhur.” (Qism Al-Fiqh 79/29)
Kelemahan dari cara nomor empat ini untuk diterapkan di negara kita adalah karena pendapat madzhab Dzahiri (di luar empat Madzhab). Di samping itu juga menyalahi Ijma’ mayoritas umat Islam, serta masih mudahnya menemukan tempat untuk dijadikan tempat shalat.
Solusinya terdapat pada cara pertama, yaitu melakukan shalat Jumat di banyak tempat meskipun tidak sampai 40 orang. Jika tidak memungkinkan, maka diganti shalat Dzuhur. Ash-Shawabu Minallah.