Pecihitam.org – Di mata Gus Dur, standar untuk menjadi muslim yang baik, seseorang tak perlu ikut berjuang mendirikan negara Islam. Menurutnya, ada lima standar atau syarat menjadi muslim yang baik berdasarkan ayat-ayat suci dalam Al-Quran yang apabila diperjuangkan, maka seseorang sudah dapat digolongkan sebagai muslim yang baik dan taat.
Syarat syarat yang menjadi muslim yang baik tersebut antara lain:
- menerima prinsip-prinsip keimanan
- melaksanakan rukun Islam secara utuh
- menolong mereka yang membutuhkan pertolongan
- menegakkan profesionalisme
- bersikap sabar dalam menghadapi berbagai cobaan.
Pada dasarnya, benih-benih penolakan Gus Dur terhadap konsep negara Islam telah ia gaungkan sejak awal tahun 1980-an, ketika ia menulis sebuah artikel di Koran Tempo yang berjudul Islam: Punyakah Konsep Kenegaraan?
Gus Dur mengutip pendapat seorang tokoh kontroversial dari Mesir, Ali Abd AlRaziq, yang pemikirannya sangat memengaruhi pandangan Gus Dur. Gus Dur mengutip tiga argumentasi yang diajukan Raziq (yang pada waktu itu berbeda dengan pandangan Al-Azhar) untuk menolak adanya negara Islam, yakni:
- Al- Quran tidak mengenal sesuatu yang sifatnya doktrin.
- Nabi Muhammad tidak memperlihatkan watak dan kecenderungan yang politis.
- Nabi Muhammad tak pernah merumuskan mekanisme formal pergantian pejabat.
Namun penolakan terhadap konsep negara Islam semakin intens Gus Dur lakukan pada awal tahun 2000-an sebagai respon atas menguatnya desakan terhadap pendirian negara Islam pasca jatuhnya rezim Orde Baru yang dilakukan oleh kalangan Islam formalis yang cenderung berorientasi radikal.
Gus Dur dikenal sebagai salah satu tokoh yang selalu berani dan nekad melawan arogansi kalangan Islam radikal. Menurut pendapat para ahli, Islam radikal memiliki karakteristik, yakni :
Pertama, mereka berpendapat bahwa Islam bukan hanya agama (din), melainkan juga negara (daulah) dan dunia (dunya), sehingga mereka menganggap bahwa Islam yang kaffah belum terwujud bila kekhalifahan Islam belum didirikan. Mereka menolak dengan tegas dasar negara Pancasila sebagai landasan ideologi negara.
Kedua, mereka cenderung menafsirkan teks agama secara literal dan legal-ekslusif berdasarkan kepentingan ideologis dan platform politik mereka. Siapapun yang berbeda dengan penafsiran mereka, maka akan dimusuhi dan dianggap sebagai sesat dan kafir.
Ketiga, mereka cenderung menjadikan masa lalu sebagai zaman yang ideal dan juga menjadikan kaum salaf terdahulu sebagai referensi utama dalam berislam.
Keempat, kalangan Islam radikal cenderung sangat anti terhadap pluralisme dan juga anti terhadap berbagai gagasan modern yang dianggap tidak islami.
Kelima, mereka cenderung memaksakan apa yang mereka yakini dan dalam batas tertentu, mereka tak segan-segan menempuh jalan kekerasan demi menegakkan keyakinan mereka, termasuk pada sesama kaum muslim.
Gus Dur kerap memasang badan melawan arogansi kalangan Islam radikal karena dalam banyak kasus, mereka sering melakukan berbagai aksi kekerasan terhadap kalangan minoritas, salah satunya adalah kaum Ahmadiyah.
Aksi kekerasan pada kaum Ahmadiyah oleh kalangan Islam radikal terjadi karena didorong oleh adanya fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang menyatakan bahwa Ahmadiyah adalah aliran sesat dalam Islam.
Akibatnya, berbagai fasilitas masjid, sekolah, dan rumah milik kaum Ahmadiyah dibakar dan dirusak oleh kalangan Islam radikal yang dimotori oleh Front Pembela Islam (FPI).
Dan celakanya, pemerintah yang seharusnya menjadi pelindung warganya, hanya tinggal diam, untuk tidak mengatakan melakukan pembiaran terhadap aksi vandalis tersebut.
Melihat kejadian tersebut, Gus Dur tak tinggal diam. Ia mengecam keras FPI dan juga berbagai elemen Islam radikal lainnya karena telah membatasi kebebasan beragama suatu kelompok yang telah dijamin oleh undang-undang dan juga telah mencabik-cabik kebhinekaan negeri ini.
Sebagai bentuk perlindungannya terhadap kaum Ahmadiyah, ia menawarkan rumahnya di Ciganjur sebagai tempat berlindung bila negara tak mampu lagi melindungi mereka. Di kesempatan lain, ia berpesan kepada ratusan anggota Anshor, sayap kepemudaan NU, agar tetap konsisten membela dan melindungi hak-hak kaum minoritas.
Karena pembelaannya yang konsisten terhadap hak-hak kaum minoritas, maka tak ayal, Gus Dur sering menjadi target pengkafiran oleh kalangan Islam radikal. Namun dengan slogan hidupnya “gitu aja kok repot,” Gus Dur tetap jalan terus menegakkan pendiriannya membela kalangan minoritas.
Gusdur meyakini bahwa pandangan kaum Islam radikal bukanlah pandangan mayoritas umat Islam Indonesia. Baginya, mayoritas umat Islam Indonesia adalah umat yang sangat moderat, toleran, dan lebih memilih menjadi silent majority, yang terwakili dalam ormas NU dan Muhammadiyah. Sebaliknya, kalangan Islam radikal adalah kelompok yang minoritas, hanya saja mereka hobinya teriak-teriak menjual dan mengatasnamakan umat Islam.