Studi-Studi Teoritis Tentang Hubungan Islam Dan Negara

Studi-Studi Teoritis Tentang Hubungan Islam Dan Negara

Pecihitam.org- Studi-studi teoritis tentang hubungan Islam dan Negara yang dilakukan para ahli keislaman, kebanyakan berada dalam prespektif hubungan Negara dan masyarakat sehingga khasanah studi yang lebih kecil, yang membahas tentang hubungan interaksional antara ajaran Islam dengan kebijakan negara.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Teori hubungan negara dan agama di dalam Islam, antara lain dimaknai sebagai hubungan antara agama dan negara yang tak terpisahkan, seperti yang telah dikonsepsikan oleh para pemilik politik mazhab Syi’ah, Al-Maududi, Al – Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, dan beberapa tokoh yang lain.

Dalam pandangan para tokoh ini, wilayah agama dan negara tidak dapat dipisahkan, wilayah agama juga meliputi wilayah politik atau negara. Oleh karena itu menurut paradigma ini, negara merupakan lembaga politik dan keagamaan sekaligus. Pemerintah negara diselenggarakan atas dasar kedaulatan Tuhan karena kedaulatan itu memang berasal dari dan berada ditangan Tuhan. Pandangan inilah yang juga disebut sebagai fundamentalis Islam.

Menurut Al-Maududi syari’ah Islam tidak mengenal pemisahan antara agama dan politik antara agama negara. Syari’ah merupakan totalitas pengaturan kehidupan manusia yang tidak mengandung kekurangan sedikitpun. Negara harus didasarkan pada empat prinsip, yaitu mengakui kedaulatan Tuhan, menerima otoritas Nabi Muhammad, memiliki status wakil Tuhan (Khalifah), dan menerapkan musyawarah.

Negara merupakan sarana politik untuk mengaplikasikan hukum tuhan. Dalam kaitan ini, kebangkitan jama’ati Islami merupakam representasi al-Maududiyah di bidang politik yang bertujuan untuk menerapakan syariat dalam konteks kehidupan kenegaraan.

Baca Juga:  Hukum Bertato dalam Islam, Wudhunya Sah Tapi Sholatnya Tidak?

Pikiran-pikiran al- maududi banyak mengilhami praktik politik di Pakistan ketika dibimbing oleh Zia Ul Haq. Menurut Al- Maududi institusi negara islam terdiri dari kepala negara dan lembaga legislatif. Posisi pentignya terletak ditangan kepala negara yang disebut sebagai Imam, kholifah. Atau amir.

Pemikiran politik yang memandang hubungan agama dan negara bersifat simbiotik yaitu berhubungan secara timbal balik dan saling memerlukan. Dalam hal ini negara membutuhkan agama sebagai dasar atau pijakan kekuatan moral sehinga ia dapat menjadi mekanisme kontrol. Sementara disisi lain agama memerlukan agama sebagai sarana utnuk pengembangan agama itu sendiri.

Adapun yang sangat menonjol dalam studi religio-politik dalam wacana ini ialah pemikiran Al -Mawardi. Bukunya yang sangat terkenal dibidang keagaman bertitel Al Ahkam Asy Sulthaniyah. dalam pandangan Al- Mawardi kepemimpinan negara (imamah) merupakan instrument untuk meneruskan misi kenabian guna memelihara agama dan mengatur agama. Pemeliharaan dan pengaturan dunia adalah dua dimensi yang berhubungan secara simbiotik.

Dengan demikian, negara berada dibawah kontroll agama. Dalam pengangakatan kepala negara melalui pemilihan, ia membagi umat Islam menjadi dua kelompok, yakni ahl al- ikhtiyar dan ahl alimamah termasuk yang pertama diartikan sebagai kelompok masyarakat yang dapat memberi wewenang kepada kepala negara untuk mengatur masyarakta melalui proses pemilihan terlebih dahulu.

Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi, yaitu adil, berilmu pengertahuan, khususnya ilmu agama, tidak cacat fisik, laki-laki mempuyai wawasan politik.

Baca Juga:  Lailatul Ijtima’, Amalan Nahdliyin Dari Dulu Hingga Kini

Pemikiran lain yang cukup menonjol dalam wacana ini adalah Abdul Hamid Al- Ghozali. Menurutnya negara dibutuhkan oleh masyarakat berkaitan pemenuhan kebutuhan akan industri dan profesi sehingga kepala negara harus memiliki sumber legitimasi keagaman.

Industri yang diibutuhkan untuk kepentingan masyarakat ialah pertanian, pemintalan yang didukung oleh pembangunan dan politik sedangkan profesi politik yang dibutuhkan untuk kepentingan masyarakat ialah sub profesi pengukuran tanah sub profesi ketentaraan, sub profesi kehakiman sub profesi ilmu hukum. Begitu pentingnya sub profesi politik tersebut, Al-Ghozali menyatakan bahwa kedudukannya berada satu tingkat dibawah kenabian.

Disisi lain menurut Al-Ghozali pemilihan kepala negara bukanlah keharusan rasional, melainkan keharusan agama. Hal ini di dasarkan pada pemikiran bahwa kesejahteraan ukhrowi harus dilakukan melalui pengamalan dan pengahayatan didunia secar benar.

Inilah yang di jadikan argumen bahwa antara negara dan agama merupakan dua hal yang saling membutuhkan. Pemikiran politik yang memandang hubungan agama dan negara bersifat sekularistik. Pandangan ini menolak hubungan yang bersifat sibiotik maupun intregratik.

Dalam konteks keindonesiaan, menurut Adnan, hubungan agama dan negara dapat dibagi menjadi tiga kategori:

Pertama, Kelompok Akomodatif

Kelompok ini di pelopori oleh Nur Kholis Majid. Nur Kholis Majid berpandangan bahwa kahidupan spiritual diatur oleh agama dan kehidupan duniawi diatur oleh logika duniawi.

Pemikiran ini seolah mengandung elemen sekularistik, yaitu adanya upaya memisahklan antara agama dengan dunia, meskipun yang sebenarnya hanyalah perbedan wilayah: ada wilayah yang semata-mata urusan agama dan ada wilayah yang semata-mata duniawi.

Baca Juga:  Cairan Keluar dari Kemaluan Namun Tak Tahu Cairan Apa, Bagaimanakah Hukumnya?

Pemikiran seperti ini dapat mengalihkan perhatian masyarakat dari “Islam politik” ke “Islam kultural”. Sebagai akibatnya, Islam berwatak liberalis dan humanis yang menawarkan kebebasan dan kemanusiaan bagi penganutnya, dari pada watak politis yang menakutkan, utamanya bagi penyelenggara negara.

Kedua, Kelompok Moderat

Kelompok ini berpendirian bahwa Islam tidak hanya dipahami sebagai agama, tetapi juga sebagai ideologi.Islam adalah agama totalistik yang mengatur segala aspek kehidupan masyarakat, termasuk di dalamnya kehidupan sosial politik.

Ketiga, Kelompok Idealis-Radikal

Kelompok ini beranggapan bahwa Islam berada di atas semua ideologi sehigga untuk memperjuangkannya diperlukan cara-cara kekerasan dan sekaligus menolak ideologi Pancasila sebagai satu-satunya asas bagi kehidupan berorganisasi sosial masyarakat dan bahwa agama harus menjadi ideologi mengantikan Pancasila, pandangan ini dapat dilihat pada visi dan aksi Abdul Qadir Jaelani. (Lihat Nur Kholis Madjid, Islam Keindonesiaan Dan Kemodernan Jakarta : Para Madina, 1993, Hal. 23).

Mochamad Ari Irawan