Tingkatan Hadits Berdasarkan Kualitas Hadisnya (Bagian 1)

Tingkatan Hadits Berdasarkan Kualitas Hadisnya (Bagian 1)

PeciHitam.org – Para ulama hadits membagi hadits berdasarkan banyak kriteria. Ada yang berdasarkan jumlah perawi, ada yang berdasarkan kekuatan dan kelemahan periwayatan, dsb. Hal tersebut nantinya akan mempengaruhi tingkatan hadits dalam kajian ilmu hadits.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Namun yang akan kami bahas adalah pembagian hadits berdasarkan kekuatan dan kelemahan periwayatanya.

Klasifikasi Hadits berdasarkan pada Kuat atau Lemahnya Khabar (Berita)

Berdasarkan kuat lemahnya periwayatan hadits, tingkatan hadits dapat dibagi menjadi 2 (dua), yaitu hadits maqbul (diterima) dan mardud (tertolak). Hadits maqbul dibagi menjadi dua, yaitu hadits yang shahih dan hasan. Sedangkan yang tertolak disebut juga dengan dhaif.

Hadits yang diterima (maqbul), dibagi menjadi 2 (dua):

A. Hadits Shahih

Menurut Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam kitab Nukhbatul Fikar, hadits shahih adalah adalah hadits yang dinukil (diriwayatkan) oleh rawi yang adil, sempurna ingatan, sanadnya bersambung-sambung, tidak ber’illat dan tidak janggal.

Dalam kitab Muqaddimah At-Thariqah Al-Muhammadiyah disebutkan bahwa definisi hadits shahih itu adalah hadits yang lafadznya selamat dari keburukan susunan dan maknanya selamat dari menyalahi ayat Quran.

Kriteria Hadis Shahih

  1. Rawinya bersifat adil, artinya seorang rawi selalu memelihara ketaatan dan menjauhi perbuatan maksiat, menjauhi dosa-dosa kecil, tidak melakukan perkara mubah yang dapat menggugurkan iman, dan tidak mengikuti pendapat salah satu mazhab yang bertentangan dengan dasar syara’
  2. Sempurna ingatan (dhabith), artinya ingatan seorang rawi harus lebih banyak daripada lupanya dan kebenarannya harus lebih banyak daripada kesalahannya, menguasai apa yang diriwayatkan, memahami maksudnya dan maknanya
  3. Sanadnya bersambung (tidak putus) artinya sanad yang selamat dari keguguran atau dengan kata lain; tiap-tiap rawi dapat saling bertemu dan menerima langsung dari yang memberi hadits.
  4. Hadits itu tidak ber’illat (penyakit yang samar-samar yang dapat menodai keshahihan suatu hadits)
  5. Tidak janggal, artinya tidak ada pertentangan antara suatu hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang maqbul dengan hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang lebih rajin daripadanya.
Baca Juga:  Hadits Shahih Al-Bukhari No. 179 – Kitab Wudhu

B. Hadits Hasan

Menurut Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Nukhbatul Fikar, hadits hasan adalah hadits yang dinukilkan oleh orang yang adil, yang kurang kuat ingatannya, yang muttashil (bersambung sanadnya) sampai kepada nabi SAW dan yang tidak cacat dan tidak punya keganjilan.

Menurut At-Tirmizy dalam Al-I’lal mendefinisikan hadits hasan sebagai hadits yang selamat dari syuadzudz dan dari orang yang tertuduh dusta dan diriwayatkan seperti itu dalam banyak jalan. Sedangkan Al-Khattabi mengartikan hadits hasan sebagai hadits yang orang-orangnya dikenal, terkenal makhrajnya (tempat meriwayatkan hadits) dan dikenal para perawinya.

Sedangkan menurut Jumhur Ulama, hadis hasan sebagai hadits yang dinukilkan oleh seorang yang adil (tapi) tidak begitu kuat ingatannya, bersambung-sambung sanadnya dan tidak terdapat ‘illat serta kejanggalan matannya.

Baca Juga:  Hadits Shahih Al-Bukhari No. 620 – Kitab Adzan

Hadits Hasan dibagi menjadi dua, antara lain:

  1. Hasan Lidzatihi yaitu hadits hasan yang telah memenuhi syarat-syaratnya. Atau hadits yang bersambung-sambung sanadnya dengan orang yang adil yang kurang kuat hafalannya dan tidak terdapat padanya sydzudz dan illat.
  2. Hadits Hasan lighairihi yaitu hadits hasan yang sanadnya tidak sepi dari seorang mastur (tak nyata keahliannya), bukan pelupa yang banyak salahnya, tidak tampak adanya sebab yang menjadikan fasik dan matan haditsnya adalah baik berdasarkan periwayatan yang semisal dan semakna dari sesuatu segi yang lain.

Singkatnya, hadits hasan li ghairihi ini awalnya adalah hadits dhaif (lemah), namun karena ada ada mu’adhdhid, maka derajatnya naik sedikit menjadi hasan li ghairihi. Andaikata tidak ada ‘Adhid (hadis lain yang posisinya lebih kuat), maka kedudukannya dhaif.

Baca Juga:  Pembukuan Hadits pada masa Umar bin Abdul Aziz dan Tuduhan Orientalis

Hadits Shahih dan Hadits Hasan ini diterima oleh para ulama untuk menetapkan hukum (Hadits Makbul). Hadits hasan bisa naik derajatnya menjadi shahih jika sebuah hadits hasan li dzatihi diriwayatkan lagi dari jalan yang lain yang kuat keadaannya, naiklah dia dari derajat hasan li dzatihi kepada derajat shahih. Karena kekurangan yang terdapat pada sanad pertama, yaitu kurang kuat hafalan perawinya telah hilang dengan ada sanad yang lain yang lebih kuat, atau dengan ada beberapa sanad lain.

Untuk pembahasan lanjutan mengenai tingkatan hadits, akan kita bahas pada artikel selanjutnya.

Mohammad Mufid Muwaffaq

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *