Begini Tuntunan dan Larangan dalam Nalar Wahabi

Tuntunan dan Larangan dalam Nalar Wahabi

PeciHitam.org Ritus Ibadah agama Islam yang berkembang di Nusantara sangat unik dengan topologi yang dikembangkan oleh para walisongo. Pola pengembangan Islam di Nusantara memang terkenal dengan mengakomodir tradisi dan kebudayaan lokal sebagai media dakwah.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Selama berabad-abad lamanya, umat Islam di Nusantara hidup harmoni tanpa intimidasi atau tuduhan TBC (Takhayyul, Bid’ah Churafat) yang digemborkan oleh golongan Wahabi-salafi. Landasan normatif penggunaan tradisi dalam dakwah maupun ekspresi Ibadah dijelaskan oleh Ibnu Muflih al-Maqdisi.

Namun suara sumbang pembenci tradisi atas nama agama selalu disuarakan oleh golongan wahabi-salafi dengan jurus utama ‘mana tuntunannya?’ dan ‘mana larangannya?’. Nalar Tuntunan dan Larangan dalam alam pikir Wahabi sangat tidak konsisten bagi gerakan yang menamakan diri sebagai gerakan dakwah sunnah.

Tuntunan dan Larangan, Jargon Tuduhan Bid’ah

Arus utama dakwah Wahabi untuk menuduh syirik dan bid’ah tradisi yang  telah bernilai islam adalah ‘Mana Tuntunannya melakukan Tahlilan?’, ‘Jika Tahlilan itu Baik, Maka Rasulullah SAW sudah melakukannya!’, ‘Jika Tradisi slametan itu baik, Pasti Rasulullah atau Sahabat SAW melakukannya!’, ‘Jika Yasinan itu baik, pasti Rasulullah SAW melakukannya’.

Baca Juga:  Menjawab Tuduhan Salafi Wahabi Bahwa Ayah Rasulullah di Neraka

Jargon andalan mereka yang sekilas sangat meyakinkan bagi sebagian orang awam yang baru mengecap Islam tanpa memperhatikan perjalanan dakwah Islam di Nusantara. Jargon ini sangat ‘laku keras’ bagi golongan awam yang sangat membenci dakwah berbasis tradisi dan kebudayaan.

jika ditelisik lebih dalam, in-konsistensi penggunaan nalar Wahabi-Salafi sangat kacau. Terlihat dari ceramah-ceramah mereka yang selalu mengkampanyekan untuk menggunakan dalil Al-Qur’an dan Sunnah Shahih.

Mereka menganggap bahwa Tradisi yang sudah terisi nilai Islam seperti Yasinan, Tahlilan, Manaqiban, Slametan, Dibaan adalah sesat karena tidak ditemukan dalilnya.

Pun jika diberikan dalil, mereka tetap membuat  dalih bahwa tradisi Islam Nusantara tersebut adalah sesat. Sebagaimana dalil membaca surat Yasin berasal dari Hadits Riwayat Abu Dawud;

من قرأ سورة يس والصافات ليلة الجمعة أعطاه الله سؤله

Artinya; “Barangsiapa membaca surat Yasin dan al-Shaffat di malam Jumat, Allah mengabulkan permintaannya.” (HR Abu Daud dari al-Habr)

Umat Islam di Nusantara dari yang berasal dari warga nahdliyyin biasa mentradisikan membaca surat Yasin pada malam jumat. Landasan normatif tersebut tidak diterima karena Yasin dan Yasinan adalah dua hal berbeda.

Baca Juga:  Syeikh bin Baz: Perayaan Maulid Muhammad bin Abdul Wahab Itu Sunnah

Dan pada masa Nabi SAW tidak pernah ada tradisi Yasinan sebagaimana di Nusantara. Tentunya tuduhan ini hanya berasal dari sikap Benci kepada warga Nahdliyyin.

Tradisi dalam Khazanah Islam

Golongan Wahabi-Salafi menamakan dirinya pengamal Islam Kaffah dengan Dalil Shahih, namun melupakan bahwa mereka membuat  dalil sendiri untuk menyesatkan orang lain. Dengan jelas mereka membuat kaidah ‘Jika Ibadah Harus Tanya Tuntunannya’, ‘Jika dalam urusan Duniawi harus ditanyakan Larangannya’.

Kaidah tersebut dengan jelas tidak dapat ditemukan dalam al-Qur’an dan sunnah Shahih, hanya berasal dari akal-akalan golongan Wahabi-Salafi yang tidak suka dengan penggunaan tradisi dalam dakwah. Nalar sesat inilah yang selalu dijejalkan kepada orang awam untuk meraih pengikut.

Betapa menyakitkannya orang Islam yang sudah berislam dengan pola dakwah tradisi, namun kemudian disesat-sesatkan, dibid’ah-bid’ah bahkan tertuduh syirik.

Kesibukan Ulama Nusantara mengislamkan masyarakat, sedangkan mereka menyibukkan diri dengan menuduh Muslim sebagai pengamal syirik dan bid’ah.

Tuduhan golongan Wahabi-Salafi kepada Ulama Nusantara dan Muslim yang menggunakan tradisi dalam Ibadah tidak lain karena Kebencian, bukan kritik Ibadah. Sebagai penutup, kiranya dawuh Ibnu Muflih Al-Maqdisi al-Hanbali dapat dijadikan renungan;

Baca Juga:  Ghuroba; Islam Suatu Saat Akan Asing, Tapi Golongan Ini Bukan Salafi Wahabi!

وَقَالَ ابْنُ عَقِيلٍ فِي الْفُنُونِ لَا يَنْبَغِي الْخُرُوجُ مِنْ عَادَاتِ النَّاسِ إلَّا فِي الْحَرَامِ

‘Dikatakan oleh Ibnu Aqil dalam kitab al-Funun, bahwa tidak pantas—tidak seyogyanya keluar dari tradisi masyarakat, selama tidak menuju kepada keharaman.

Jargon Tuntunan dan Larangan yang sering menjadi andalan untuk menuduh Nahdliyyin bid’ah dan syirik tidak lebih dari omong kosong atas motif kebencian. Wahabi-Salafi menyeret Agama sebagai legitimasi pembenaran yang sangat menyakiti Muslim di Nusantara.

Ash-Shawabu Minallah

Mochamad Ari Irawan