6 Sumber Hukum Madzhab Maliki

6 Sumber Hukum Madzhab Maliki

PeciHitam.org – Imam Malik merupakan pencetus Madzhab Maliki mungkin tidak asing lagi bagi umat Islam. Salah satu tokoh madzhab paling populer ini dilahirkan pada tahun 93 H. Nama lengkap beliau adalah Malik bin Anas bin Malik Abi Amir Al-Ashbahy Al-Yamani. Ibunya adalah Aliyah binti Syarik Al-Azdiyah. Jadi ayah dan ibunya adalah orang Arab asli yang berasal dari Yaman.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Beliau menghabiskan sebagian besar hidupnya untuk tinggal di Madinah. Konon, Malik tidak pernah meninggalkan Madinah kecuali keperluan haji ke Makkah. Kondisi dan situasi yang bertolak belakang dengan kehidupan Abu Hanifah di Irak. Sebelum tinggal di Madinah, Malik tinggal di ‘Aqiq perkampungan milik kaum Ansar.

Guru beliau yang pertama adalah Abdur Rahman ibnu Hurmuz. Malik bin Anas begitu semangat untuk mengambil manfaat dari periwayatan Az-Zuhri, sebagaimana beliau mengambil manfaat dari ilmu Ibnu Hurmuz dan periwayatanya Nafi’.

Sejak muda, Malik bin Anas senantiasa memberikan penghormatan yang sempurna terhadap hadits-hadits Rasulullah saw. Tidaklah beliau mempelajari hadits-hadits tersebut melainkan dalam kondisi yang tenang dan kondusif, sebagai bentuk pemuliaan dan berupaya untuk menjaga keakuratannya. Oleh karena itu, beliau tidak pernah mempelajari hadits-hadits tersebut dalam keadaan berdiri, gelisah, ataupun dalam keadaan terganggu, hingga tidak ada sesuatu pun yang akan hilang (terlewat) darinya.

Baca Juga:  Sifat Para Rasul, I'tiqad Ahlussunnah wal-Jama'ah

Imam Malik wafat pada 14 Rabiul Awwal 179 H. Pada masa Khalifahan Ar-Rasyid dan dikuburkan di Baqi’ bersebelahan dengan Ibrahim, putra Nabi.

Menurut Ali Hasan dalam buku Perbandingan Madzhab, dasar-dasar hukum yang diambil dan dipergunakan oleh Imam Maliki sebagai landasan madzhab maliki di antaranya adalah:

1. Kitab Allah (Al-Quran)

Dalam berpegangan pada Al-Quran, beliau melakukan pengambilan hukum berdasarkan atas zhahir nash al-Quran atau keumumannnya, meliputi mafhum al mukhalafah dan mafhum al aula dengan memperhatikan illatnya.

2. Sunnah Rasul yang telah beliau pandang sah

Dalam berpegang kepada sunnah sebagai dasar hukum, Imam Malik mengikuti cara yang sama ketika berpegang kepada al-Quran. Apabila dalil syar’i menghendaki adanya pentakwilan, maka yang dijadikan pegangan adalah arti takwil tersebut. Apabila terdapat pertentangan antara makna zhahir Quran dengan makna yang terkandung dalam sunnah, maka yang dipegang adalah makna zhahir al-Quran. Tetapi apabila makna yang terkandung dalam sunnah tersebut dikuatkan oleh ijmak ahl madinah maka ia lebih mengutamakan makna yang terkandung dalam sunnah daripada zhahir al- Quran.

Baca Juga:  Ilmu Tauhid Dasar Ahlussunnah wal Jamaah; Hukum Akal

3. Ijma’ para ulama Madinah, tetapi kadang-kadang mereka menolak hadits apabila berlawanan atau tidak diamalkan oleh para ulama Madinah. Ijma’ ahl madinah ada beberapa macam, yaitu:

  • Ijma’ ahl Madinah yang asalnya dari al naql, hasil dari mencontoh Rasulullah, bukan hasil ijtihad ahl almadinah. Seperti penentuan tempat mimbar nabi Muhammad. Ijmak semacam ini dijadikan hujjah oleh Imam Malik.
  • Amalan ahl Madinah sebelum terbunuhnya Utsman bin Affan. Ijma’ ini dijadikan hujjah oleh Imam Malik, karena hal ini didasarkan bahwa belum pernah diketahui pada masa itu yang bertentangan dengan sunnah Rasullullah SAW.

3. Amalan ahl Madinah yang dijadikan pendukung atau pentarjih atas dua dalil yang saling bertentangan. Artinya apabila ada dua dalil yang bertentangan maka untuk mentarjih salah satu dari kedua dalil, ahl madinah itulah yang dijadikan sebagai hujjah

4. Amalan ahl Madinah sesudah masa keutamaaan yang menyaksikan amalan Nabi SAW. Amalan ahl madinah seperti ini bukan hujjah menurut mazhab Maliki.

Baca Juga:  Salafi Wahabi Sedikit Pun Tak Layak Mengaku Sebagai Ahlus Sunnah Wal Jamaah

5. Qiyas

Qiyas sebagai alat untuk menggali hukum. Maka ia mengqiyaskan masalah yang belum ada hukumnya dengan masalah yang hukum-hukumnya sudah termaksud dalam Al-Quran, sunnah, dan fatwa sahabat.

6. Istishlah (Mashalihul Mursalah)

Istishlah adalah mengekalkan apa yang telah ada karena sesuatu hal yang belum diyakini. Adapun Mashalihul Mursalah ialah memelihara tujuan-tujuan syara’ dengan jalan menolak segala sesuatu yang merusak makhluk.

Mohammad Mufid Muwaffaq