PeciHitam.org – Golongan Salafi Wahabi selalu mengutip hadis yang diriwayatkan oleh Albani. Bahkan, mereka melakukan klaim bahwa Albani merupakan ulama Hadis Abad ini, benarkah demikian?
Sementara itu, para ulama telah menetapkan kriteria yang sangat ketat tentang sosok seorang al-muhaddits, agar hanya orang- orang yang benar-benar memenuhi kriteria sajalah yang layak menyadang gelar ini.
Imam as-Sakhawi misalnya mengungkapkan tentang siapakah ahli hadis itu sebenarnya. Beliau mengatakan sebagai berikut:
“Menurut sebagian imam hadis, orang yang disebut dengan ahli hadis (muhaddits) adalah orang yang pernah menulis hadis, membaca, mendengar, dan menghafalkan. Serta mengadakan rihlah (perjalanan) ke berbagai tempat untuk menelusuri jejak hadis, mampu merumuskan beberapa aturan pokok hadis, dan dapat mentahkik dengan benar kitab-kitab musnad, illat, tarikh yang kurang lebih mencapai 1000 buah karangan. Jika demikian adanya (syarat-syarat ini sudah terpenuhi) maka tidak diingkari bahwa dirinya adalah ahli hadis. Tetapi jika ia hanya mengenakan jubah megah di kepalanya, dan berkumpul dengan para penguasa pada masanya, atau menghalalkan dirinya memakai perhiasan mutiara dan marjan atau memakai pakaian yang berlebihan, dan hanya mempelajari hadis al-Ifki wa al-Buhtan, maka sesungguhnya ia telah merusak harga dirinya, bahkan ia tidak memahami apa yang dibicarakan kepadanya, baik sebagian atau seluruhnya. Ia tidak pantas menyandang gelar seorang muhaddits. Bahkan, ia bukan manunia, karena dengan kebodohannya ia telah memakati yang haram yang bukan haknya) Jika ia menghalalkannya, maka ia telah keluar dari Agama Islam
Oleh karena itu, yang layak menyandang gelar ini adalah arang-orang yang benar-benar ahli di bidangnya, seperti Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Dawud, Imam Nasa’i, Imam ibnu Majah, Imam Daruquthni, Imam al-Hakim Naisaburi, Imam ir Hibban, dan lain sebagainya yang benar benar bergelut dalam bidang hadis.
Bukan sosok seperti Nashiruddin al-Albani yang ucapannya selalu kontradiksi dan kontroversial. Apakah masuk akal dan tidak berlebihan jika kita menyamakan seorang yang tidak pernah menulis hadis, membaca, mendengar, menghafal, meriwayatkan, melakukan perjalanan mencari hadis dengan Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Dawud dan ulama hadis lainnya?
Jika kita runut kebelakang, pernahkah Nashiruddin al-Albani pernah memberikan kontribusi pada perkembangan ilmu hadis? Bukankah yang terjadi bukan pembelaan dan penegakan Sunnah Nabi, tapi malah sebaliknya, fitnah, kekacauan, kerancuan, dan kesesatan-kesesatan yang timbul perbuatannya, sebagaimana contoh-contoh di atas.
Sehubungan dengan itu, agama tidak boleh diambil dengan hanya membaca kitab-kitab saja tanpa berlandaskan Konsep talaqqi (berguru secara langsung) dengan orang Orang yang ahli, yakni para ulama yang benar-benar ulama, tsiqah (terpercaya), dan jujur.
Ini dikarenakan, kemungkinan besar kitab-kitab tadi terdapat unsur-unsur pemalsuan dan penipuan terhadap agama. Jika seseorang membaca kitab-kitab tanpa berguru, bisa jadi justru mengakibatkan kebimbangan, atau ia mengalami kebuntuan dalam memahaminya, sehingga ia dapat tersesat, atau mengambil kesimpulan yang bertentangan dengan yang dimaksud oleh pengarang kitab tersebut.
Para ulama terdahulu telah mengamalkan tradisi talaqqi dan belajar melalui para guru, bukan hanya membaca sendiri (ini bukan berarti para ulama terdahulu tidak pernah membaca dan mendaras kitab)
Sekali lagi, belajar autodidak tidak menjamin seseorang lurus dalam pemaham annya terhadap apa yang dia pelajari. Apalagi jika orang itu ingin benar-benar mumpuni dalam spesialisasi dalam bidang ilmu tertentu, semestinya ia melakukan kroscek melalui guru yang membimbingnya. Namun, tidak demikian dengan Albani.
Nabi Saw. bersabda:
يا أيها الناس، إنما العلم بالتعلم، والفقه بالتفقه – رواه البخاري والبيهقي والطبراني وغيرهم
“Wahai manusia, sesungguhnya belajar ilmu (agama) itu dengan ta’allum (belajar kepada guru), sedangkan belajar ilmu fiqh itu dengan tafaqquh (belajar kepada ulama fiqh).” (HR. Bukhari, Baihaqi, Thabarani, dan lainnya).
Dari hadis ini, hendaknya kita mulai melakukan instropeksi diri, sudahkah kita mencari guru yang benar? Jika belum, maka mari bersama sama mencari guru yang sejalan dengan khittah dan pemikiran Nahdlatul Ulama.