Pecihitam.org – Problema ini sering sekali menimpa antara anak dan orang tua. Ketika anak dilema karena berbeda pendapat namun berbentur dengan kata durhaka kepada orang tua atau orang tua yang memaksakan kehendaknya.
Memang sudah kewajiban seorang anak untuk hormat kepada orang tua dan tidak boleh membantahnya. Bahkan dalam Al-Qur’an surat Al-Isra’ disebutkan tentang larangan membantah orang tua sekalipun hanya berkata “ah”.
وَقَضَىٰ رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا ۚ إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia, dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang diantara keduanya atau kedua-duanya berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. (QS.Al-Isra’:23)
Mengatakan “ah” menurut Al-Quran adalah perbuatan dosa, maka sebaiknya kita selalu mengikuti perintah kedua orang tua kita. Lantas bagaimana secara hukum jika orang tua yang salah dan anak membantah pendapat atau perintah tersebut?
Ketika konteksnya orang tua memberi ajaran yang salah dan menurut hukum syariat agama itu menyimpang, maka seorang anak boleh saja membantah perintah orang tua tersebut, karena tidak sesuai dengan norma yang ada.
Walaupun kita wajib mengikuti perintah orang tua, maka ketika ada orang tua yang memerintahkan anaknya untuk mencuri, menghina dan hal-hal buruk lainnya itu kita tidak wajib menurutinya, selain itu akan membahayakan orang lain, juga membahayakan diri sendiri. Namun penolakan atau perlawanan tersebut tetap dengan kata dan sikap yang halus dan sopan.
Kemudian juga dalam keadaan tertentu, seorang anak terkadang memiliki pandangan serta tujuan yang berbeda-beda, sehingga tidak sedikit dari mereka yang bersebrangan pendapat dengan orang tuanya. Ketika ada niatan atau peluang untuk meluruskan permasalahan yang ada, terkadang seorang anak masih terbentur norma kepada orang tua karena orang tua merasa paling benar.
Syekh M Ibrahim Al-Baijuri mengatakan bahwa usaha untuk meluruskan masalah meskipun dari anak terhadap orang tua merupakan tindakan terpuji menurut syariat. Kalau pun meminjam istilah durhaka terhadap orang tua, maka tindakan anak terhadap kedua orang tuanya ini merupakan “durhaka terpuji.”
وأما إذا كان لإحقاق حق وإبطال باطل أي لإظهار حقيقة الحق وإظهار بطلان الباطل فممدوح شرعا ولو من ولد لوالده فيكون عقوقا محمودا
Artinya, “Adapun bila itu bersifat mengungkapkan yang hak dan menyatakan kebatilan, yaitu menjelaskan hakikat yang hak dan menjelaskan kebatilan sesuatu yang batil, maka itu terpuji menurut syariat, sekali pun itu dilakukan oleh anak terhadap kedua orang tuanya, maka itu terbilang ‘durhaka’ yang terpuji,” (Lihat Syekh M Ibrahim Al-Baijuri, Syarah Tuhfatul Murid ala Jauharatut Tauhid, [Indonesia, Daru Ihyail Kutubil Arabiyyah: tanpa catatan tahun] halaman 124).
Adapun tindakan mendedebat, menyanggah, membantah, mengkritik, meluruskan, menjelaskan duduk perkara, atau menyatakan yang hak, dan memisahkannya dari yang batil menjadi tercela menurut agama apabila berisi tentang sesuatu yang merendahkan orang lain dan mengangkat diri kita sendiri. Ini membuat tindakan tersebut menjadi tercela sebagaimana keterangan berikut ini:
كالمراء) هو لغة الاستخراج يقال ما روى فلان فلانا إذا استخرج ما عنده وعرفا منازعة الغير فيما يدعي صوابه ومحل كونه مذموما إذا كان لتحقير غيرك وإظهار مزيتك عليه
Artinya, “[Jauhi tindakan tercela] (seperti berdebat), secara bahasa artinya mengeluarkan sebagaimana kalimat, ‘Fulan mengeluarkan fulan,’ yaitu ketika si fulan meminta mengeluarkan sesuatu yang ada pada fulan. Secara adat, debat itu berselisih [debat atau sanggah] orang lain perihal sesuatu yang didakwakan kebenarannya. Tindakan ini menjadi tercela karena terletak pada sikap meremehkan orang lain dan menyatakan keistimewaan kita atas orang lain itu” (Lihat Syekh M Ibrahim Al-Baijuri, Syarah Tuhfatul Murid ala Jauharatut Tauhid, [Indonesia, Daru Ihyail Kutubil Arabiyyah: tanpa catatan tahun] halaman 124).
Sehingga bisa kita ambil sisi tengahnya yaitu, secara hukum boleh memerangi keburukan dan boleh membantah atau tidak menerima pendapat orang tua yang salah. Namun bukan dengan cara membentak atau menyalah-nyalahkan. Menyanggahlah dengan perkataan yang halus, tanpa menyinggung hati orang tua.
Dan jika pun orang tua tidak menerima pendapat kita, seorang anak sebaiknya cukup diam saja dan tidak perlu memaksakan kehendak untuk menghindari terjadinya konflik antara anak dan orang tua. Karena bagaimanapun menghormati orang tua lebih utama dari pada memaksakan kehendak. Demikian semoga bermanfaat. Wallahua’lam bisshawab.