Islam NUsantara dan Perumpamaan Gandum

analogi islam nusantara

Pecihitam.org – Oleh beberapa kalangan Islam Nusantara dianggap sebagai sebuah istilah yang bermasalah karena ada dua hal. Pertama, oleh sebagian umat Islam, istilah Islam Nusantara dianggap menyalahi Islam yang satu. Islam dinilai haruslah satu, tidak ada varian-varian diantara Islam itu sendiri. Yang kedua, Islam Nusantara dianggap memicu perpecahan di tengah umat Islam. Sebagian umat Islam keberatan dengan istilah Islam Nusantara, karena mereka menganggap ini adalah paham yang salah. Padahal sebetulnya mereka yang salah paham terhadap Islam Nusantara itu sendiri.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Untuk memudahkan pemahaman terhadap Islam Nusantara Habib Husen Ja’far Al Hadar mengisahkan dan memberikan contoh yang mudah dipahami yang ia ambil dari salah satu kisah gurunya. Gurunya bercerita bahwa beliau sebagai salah satu lulusan pondok pesantren di Negara Arab. Ketika pulang ke Indonesia beliau menerapkan konsep serta sistem dakwah yang relatif berbeda dengan konsep dan sistem dakwah Islam dari teman-teman seangkatannya. Kemudian ia dikucilkan karena dianggap membawa konsep Islam yang berbeda.

Islam menurut gurunya di ibaratkan seperti gandum. Sebelum pulang ke Indonesia, seluruh lulusan pondok pesantren tersebut mendapat gandum dari sang gurunya. Gandum itu nantinya akan diberikan kepada orang Indonesia. Ketika sampai di Indonesia, murid-murid yang lain kemudian memberikan gandum itu tanpa perlu mengetahui apakah gandum itu akan disukai dan dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia.

Namun guru Habib Husen tidak langsung memberikan gandum itu. Beliau malah menyimpan gandum itu terlebih dahulu. Dan kemudian melihat bahwa realitas masyarakat disekitarnya tidak mengkonsumsi gandum. Oleh karena itu kemudian beliau berpikir ulang untuk membagikannya dalam bentuk gandum. Setelah beliau berkeliling, mengetahui orang-orang di sekitarnya suka mengkonsumsi roti. Sehingga gandum yang diberikan oleh gurunya dari Arab pun disebarkan kepada masyarakat sekitarnya, ketika sudah diolah menjadi roti terlebih dahulu.

Baca Juga:  Tradisi Sedekah Bumi sebagai Warisan Islam Nusantara

Inilah yang kemudian dipermasalahkan oleh kawan-kawannya. Beliau pun menjelaskan, bahwa gandum yang dibagikan dalam bentuk roti ditujukan hanya agar masyarakat disekitarnya lebih menerima gandum dan mau mengkonsumsinya. Sebab jika tidak dibagikan dalam bentuk roti, maka gandum tersebut akan ditolak oleh masyarakat sekitarnya. Karena mereka tidak terbiasa mengkonsumsi gandum.

Olahan gandum itupun bisa bermacam-macam. Bisa dalam bentuk roti, bisa bubur gandum dan lain sebagainya. Dan ketika gandum itu diolah menjadi roti, bukan berarti kemudian roti itu tidak lagi mengandung gandum dan menghilangkan nilai kegandumannya.

Oleh karena itu kritik terhadap Islam Nusantara yang dinilai telah menyalahi Islam yang satu sebenarnya tidak tepat. Sebab sebagaimana sebuah gandum ketika diolah menjadi bubur gandum ataupun roti, tidak berarti kehilangan kandungannya. Gandum tetap saja gandum hanya variannya saja berubah agar sesuai dengan konteks masyarakat sekitarnya. Begitu juga Islam Nusantara ketika Walisongo masuk ke Indonesia banyak realitas budaya masyarakat Indonesia yang sangat berbeda.

Islam pun kemudian diolah dan didakwahkan sesuai dengan nilai-nilai kebudayaan nusantara pada saat itu. Sehingga Islam yang ada di Indonesia berbeda dengan Islam yang ada di Arab. Akan tetapi perbedaan keduanya sama sekali tidak menyalahi Islam yang satu, yaitu islam dari Rasulullah SAW itu sendiri.

Kemudian masalah yang kedua ialah Islam Nusantara dianggap akan menjadi penyebab perpecahan di tengah perbedaan antara Islam Nusantara dengan Islam-Islam lainnya, misalnya dengan Islam di Arab. Sebenarnya keberatan ini juga tidak berdasar. Sebab ketika kemudian orang-orang yang suka pada roti dan suka kepada gandum, mereka kemudian tidak boleh berpecah belah di tengah perbedaan itu.

Orang-orang yang memakan bubur gandum menuduh bahwa orang yang memakan roti itu sebenarnya tidak memakan gandum hanya karena berbeda pengolahannya. Begitu juga Islam. Seharusnya Islam Nusantara dengan orang-orang yang memiliki karakteristik Islam yang berbeda, mereka seharusnya tidak saling sampai terpecah belah di tengah perbedaan. Dan itu memang terbukti dengan realitas masyarakat Indonesia. Kita sudah terbiasa dengan perbedaan misalnya Islam Muhammadiyah dan Islam Nahdlatul Ulama. Tapi kita tidak pernah terpecah belah di tengah perbedaan itu.

Baca Juga:  Ki Dalang Sunan Kalijaga, Cermin Islam Nusantara

Dan itu semua memang menjadi sunnatullah (ketentuan dari Allah) karena Allah kemudian mengajarkan dalam Al-Quran. Bahwa baik perbedaan maupun persatuan adalah dua hal yang menjadi sunnatullah dan ajaran dari Islam itu sendiri. Dalam Al-Quran ditegaskan bahwa Allah menciptakan manusia berbeda-beda bangsa, suku, dan lain sebagainya. Allah katakan perbedaan itu adalah sunnatullah. Oleh karena itu manusia harus saling mengenal sehingga bisa saling bersatu di tengah perbedaan itu sendiri.

Hal ini juga yang diajarkan oleh Imam-Imam mazhab dalam fiqh dan juga tokoh-tokoh Islam di Indonesia. Mereka mengajarkan di tengah perbedaan sebagaimana dikatakan oleh Syauki (penyair Arab). Bahwa di tengah perbedaan yang terjadi jangan sampai merobek rasa kasih sayang sebagai manusia diantara kita.

Sebuah kisah dari Prof Umar Syihab dalam sebuah karya nya menjelaskan secara utuh. Bahwa perbedaan di antara tokoh-tokoh di Indonesia maupun imam-imam di antara Imam fiqih itu tidak pernah menjadikan mereka terpecah-belah di tengah perbedaannya.

Diceritakan suatu ketika Buya Hamka (beliau seorang tokoh Muhammadiyah) diundang untuk ceramah di masjid As Said, masjid tersebut dibangun oleh kakek Prof. Umar Syihab. Di sana sebelum tiba waktu berceramah diawali dengan acara maulid. Buya Hamka pun ikut duduk mengikuti Maulid Nabi dan juga ikut berdiri ketika mahalul qiyam (bershalawat sambil berdiri). Ini dilakukan sebagai bentuk penghormatan kepada komunitas yang ada di sana.

Baca Juga:  PBNU Tegaskan Paham Islam Nusantara Bukan Agama Baru

Dan ketika Buya Hamka berceramah, ia bercerita tentang kisah yang juga dikisahkan oleh KH Hasyim Asy’ari dalam sebuah karyanya. Bahwa Imam Syafii di tengah perbedaan dengan Imam Abu Hanifah menolak konsep istihsan yang dikembangkan oleh Imam Abu Hanifah.

Namun di tengah perbedaan itu mereka tetap saling menghormati dan selalu dalam suasana yang hangat diantara mereka dalam satu kesatuan. Oleh karena itu, Imam Syafi’i pernah berziarah kepada Imam Abu Hanifah dan menghatamkan Al-Quran beberapa kali yang hadiah pahalanya ia berikan kepada Imam Abu Hanifah.

Maka perbedaan antara Islam Nusantara, Islam Berkemajuan, Islam Nahdlatul Ulama, Islam Muhammadiyah itu hanyalah varian tafsirnya. Perbedaan itu tidak berarti kemudian menyalahi Islam yang satu dan juga tidak seharusnya menjadi biang perpecahan. Karena diatas perbedaan, kita diajarkan oleh Rasulullah SAW untuk saling bersaudara, yang diibaratkan bahwa kita sebagai satu tubuh.

Mari renungkan, ditengah perbedaan antara mata dan kaki, namun ketika kaki tergelincir dan luka, maka mata juga akan menangis. Itulah rasa kasih di tengah perbedaan dan begitulah Rasullullah mengajarkan kita agar tetap berkasih sayang di tengah perbedaan di antara kita sebagai umat Islam. Wallahu’alam Bisshawab

Arif Rahman Hakim
Sarung Batik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *