Ketika Manusia Mempertuhankan Ibadah

Ketika Manusia Mempertuhankan Ibadah

“Diantara tanda bersandarnya seseorang pada amal ibadahnya ialah terjadinya degradasi harapan, saat terjatuh dalam kesalahan”. (al-Hikam)

Pecihitam.org – Sebagaimana yang telah dijanjikan Allah Swt memalui lisan Nabi Muhammad Saw, kebanyakan orang akan berfikiran, ketika melakukan ibadah seperti shalat, puasa, sadaqah dan lain sebagainya, Allah akan memberikan rahmat berupa pahala surga, diringankannya kesempitan, terkabulkannya keinginan, atau balasan-balasan lain.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Memang, balasan-balasan yang dijanjikan oleh Allah tersebut didukung dengan fakta yang terjadi, seperti kisah-kisah yang pernah dialami seseorang yang kemudian menjadi motifasi untuk menggerakkan tubuh ini, melakukan ibadah dan berbuat baik.

Sebagai contoh adalah shalat tahajjud, jika diistiqamahkan akan membuat seseorang serba diberi kenikmatan, bebas dari kesusahan dan terkabulnya hajat keinginan. Tentu saja, setelah dikuatkan dengan kisah-kisah yang disampaikan oleh orang-orang shaleh misalnya, akan membuat seseorang rajin melakukan shalat tahajjud dengan tujuan agar hajat keinginannya segera dikabulkan oleh Allah.

Itu semua tidaklah salah, namun terdapat sisi bahaya yang mana pada tingkat yang paling parah adalah timbulnya keyakinan bahwa, segala kesempitan dan kesusahan serta dikabulakannya hajat disebabkan oleh shalat tahajjud yang rajin ia lakukan.

Adapun kasus yang lebih umum terjadi, taqwa kepada Allah dengan menjalankan semua perintah dan menjauhi larangan-Nya hanya dijadikan ajang untuk mendapatkan kenikmatan surga dan menghindarkan diri dari jurang-jurang neraka saja. Sehingga timbul anggapan bahwa hanya dengan ibadah, seseorang akan mendapatkan surga dan dibebaskan dari neraka.

Anggapan inilah yang kemudian menjadi motifasi kuat bagi seseorang untuk melakukan ibadah sebanyak mungkin. Jika diibaratkan ini layaknya bisnis, seolah kita bekerja untuk Allah, melakukan shalat, menuaikan puasa, dan menghindari maksiat, demi mendapatkan imbalan surga, atau imbalan-imbalan lain, baik yang diberikan di dunia atau di akhirat nanti.

Baca Juga:  Tasawuf dan Thoriqoh Bukanlah Bid'ah, Ini Penjelasannya

Dari penjelasan di atas istilah kasarnya adalah mempertuhankan ibadah, menomorduakan Allah Swt. Inilah salah satu bentuk kekufuran yang bisa saja tak disadari sudah meracuni keimanan. Memang tipu daya syetan bisa sampai taraf yang demikian, hingga ibdahpun bisa dijadikan godaan.

Lantas bagaimana aqidah yang benar dalam masalah ini?

Syeikh Al-Bajuri dalam “Jauhar at-Tauhid” mengatakan:

فإن يثبنا فبمحض الفضل ** وإن يعذب فبمحض العدل

“Jika Allah memberi kita pahala, maka itu karena anugerah-Nya. Dan jika di memberi kita siksa, maka itu adalah bentuk keadilan-Nya”.

Ini adalah aqidah yang wajib diyakini oleh setiap muslim dan merupakan manhaj salafussalih.

Allah Swt adalah raja dari segala raja. Sedangkan manusia dan semua makhluk adalah hamba. Lantas, apakah pantas jika seorang hamba bekerja untuk sang Raja hanya untuk mendapatkan bayaran semata.

Logikanya adalah, mari kita banyangkan semua yang ada dalam diri seseorang, mulai dari keindahan tubuh, kecerdasan otak, kekuatan badan, dan segala bentuk potensi yang ada pemberian-Nya. Lalu, apakah yang dapat kita lakukan jika semua itu ditarik kembali oleh-Nya?

Memang benar, Allah menjajikan imbalan bagi orang yang mau beribadah, berbuat baik, menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya. Namun jika sekedar imbalan menjadi tujuan, sementara Allah sendiri sebenarnya sama sekali tidak membutuhkan ibadah yang dilakukan manusia, maka apakah yang akan didapat? Lalu, apa yang bisa kita perbuat, jika semua ibadah tersebut ditolak oleh Allah?

Baca Juga:  Shalat Menurut Syaikh Abdul Qadir al-Jilany

Mari kita angan-angan! Jika ada orang yang telah memberikan jasa besar kepada kita, lalu orang itu meminta kita melakukan sesuatu yang sebenarnya sesuatu itu tidak dapat membandingi jasa yang telah ia berikan. Namun kita malah meminta bayaran atas pekerjaan yang ia minta. Lalu dimanakah rasa terima kasih kita kepada orang yang telah berjasa besar tersebut?

Sama seperti Allah Swt telah memberi kita segala-galanya; nikmat hidup, kesehatan, anggota tubuh, rezeki yang kita makan setiap hari, dan semua yang kita miliki hari ini, kemarin dan masa yang akan datang. Apa tidak keterlauan saat Allah meminta kita beribadah kepada-Nya, kita malah menuntut-Nya memberikan imbalan.

Lagi pula cahaya iman dalam hati, kemampuan dan semangat melakukan ibadah, pengetahuan membedakan hak dan batil, serta kecenderungan hati kepada kebaikan dan menjauh dari keburukan, bukanlah hasil jerih payah, bukan pula inisiatif dari kita sendiri, melainkan semua adalah anugerah Allah Swt. La haula wala quwwata illa billah.

Masihkah terbayang dalam benak kita untuk meminta imbalan ibadah yang kita lakukan?

Maka, jangan sekali-kali menjadikan dan mengandalkan ibadah dan perbuatan baik untuk mendapat ridho dan pahala, serta apa yang telah dijanjikan Allah Swt. Kita harus yakin bahwa ridho Allah dan segala bentuk pemberian-Nya adalah murni kasih sayang, kedermawanan dan anugerah Allah Swt. Rasulullah Saw bersabda:

Baca Juga:  Beredar Video Ketua RT Ngamuk dan Larang Warganya Ibadah di Rumah

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : لن يدخل أحدكم الجنة عمله ، قالوا: ولا أنت يا رسول الله؟ قال: ولا أنا إلا أن يتغمدني الله برحمته (رواه البخاري)

“Amal salah satu dari kalian tidak akan memasuknya ke surga”. Para Sabahat bertanya: “Tidak pula engkau wahai Rasulullah?”. Rasulullah bersabda: “Tidak juga aku, kecuali Allah memberikan rahmat-Nya kepadaku”. (HR. Al-Bukhari)

Ibnu Atha’illah As-Sikadari dalam kitab al-Hikam menyebutkan:

“Diantara tanda bersandarnya seseorang pada amal ibadahnya ialah terjadinya degradasi harapan, saat terjatuh dalam kesalahan”.

Artinya adalah, saat kita mengharap ampunan dan ridho-Nya, lalu kita terpeleset dalam sebuah dosa, kemudian harapan tersebut berkurang atau hilang, maka dipastikan kita masih bersandar kepada amal ibadah, dan kita masih mempertuhankan ibadah tersebut. Wallahua’lam bisshawab.

Arif Rahman Hakim
Sarung Batik