Memahami Konsep Fana dari Sudut Pandang Buya Syakur

Memahami Konsep Fana dari Sudut Pandang Buya Syakur

Pecihitam.orgBuya Syakur, nama yang tahun-tahun belakangan mencuat ke publik sebab kecerdasannya membeedah Islam dengan sangat berbeda. Terma-terma vital dalam pemahaman Islam seperti “mukmin”, “bertakwa”, “kafir” dan lain sebagainya disajikan melalui kacamata “baru”.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Bahkan konsepi risalah dan perjuangan Nabi menegakkan kalimat tauhid olehnya dimaknai bukan sekadar berikrar “la ilaha illallahu” sebagaimana lazimnya pemahaman yang berkembang umum.

Lebih dari itu, kiai kampung asal Indramayu ini memaknai “kalimat tauhid” sebagai kalimat persatuan. Implikasinya, menurut beliau, menegakkan kalimat tauhid adalah menjunjung tinggi persatuan.

Semangat persatuan itulah yang diperjuangkan Nabi demi terciptanya tatanan masyarakat yang adil dan setara. Islam bukan sebatas agama seremonial, ia adalah agama yang sangat konsen terhadap keadilan sosial dan supremasi hukum.

Pengampu kajian rutin malam senin kitab Fathurrabbani al-Jilani ini kerap disebut mursyid. Sebagaimana diketahui, mursyid merupakan gelar bagi seorang guru sufi dalam tradisi tarekat-tasawuf. Walau enggan disebut sebagai mursyid, tak berlebihan orang menyebutnya demikian.

Baca Juga:  Menjadi Mursyid dalam Tradisi Tarekat

Sebab selain mengkaji teks Islam klasik bersama para santrinya, baik santri pesantrennya maupun santri kalong, dalam aktivisme keislamannya Buya Syakur juga melakoni tradisi sufi klasik yaitu khalwat.

Khalwat merupakan amalan para pesuluk atau sufi. Secara harfiah khalwat berarti menyepi dari keramaian, hiruk-pikuk duniawi. Inspirasi tradisi khalwat diungkapkan Syaikh Ali Jum’ah adalah dari laku spiritual Nabi Muhammad menyepi di gua Hira untuk bertahannuts (beribadah), Nabi Musa yang berkhalwat hingga empat puluh malam, juga dari laku ibadah khalwat Nabi Zakaria selama tiga hari. Maka, menurut Syaikh Ali Jum’ah, khalwat merupakan syariat Islam.

Biasanya khalwat dalam laku sufistik Buya Syakur dilakukan di tengah-tengah hutan. Para jemaat pengajian dan majlis dzikir beliau sebagai “murid” atau “salik” mengasingkan diri dari letih dan payahnya kerja-kerja duniawi, dari keluarganya selama tempo empat puluh hari.

Di tengah hutan itu mereka berpuasa dan berdzikir. Laku khalwat tersebut diamalkan pada bulan Dzulqa’dah hingga tiba Hari Raya Qurban. Sebagai seorang mursyid (sekali lagi, walau Buya Syakur enggan dipanggil demikian), Buya Syakur barang tentu sangat paham dunia sufisme, baik secara amaliah maupun teoretis.

Baca Juga:  Ilmu Laduni, Pengetahuan Langsung dari Allah yang Diilhamkan dalam Hati Seorang Hamba

Salah satu konsep dalam dunia sufisme ialah ihwal al-Fana. Bagaimana pandangan Buya Syakur tentang fana ini?

Dengan logika sederhana, fana atau meniadakan ke-aku-an dalam diri, oleh Buya Syakur dipaparkan dengan amsal bahagia dan sedih. Asal segala kesedihan, menurutnya, adalah rasa kepemilikan.

Sebagai contoh, ketika seseorang kehilangan mobilnya, mengapa ia sedih? Jika alasannya sebab itu mobil satu-satunya, lantas jika mobil yang dimilikinya itu dua, apakah masih sedih jika hilang satu?

Dengan analogi seperti ini, Buya Syakur memahamkan kita bahwa “rasa memiliki” lah pangkal dari kesedihan. Dan orang yang paling berbahagia adalah dia yang tidak memiliki apa-apa.

Lebih lanjut, Buya Syakur memaparkan bahwa hakikat kepemilikan adalah hak Allah Ta’ala. Sebagaimana dalil quranik menyebutkan bahwa “segala yang di langit dan di bumi ialah milik Allah Ta’ala”.

Baca Juga:  Belajar Tasawuf: Falsafah dari Pohon Tebu (manTeb ing kalBu)

Maka, sesungguhnya al-fana dalam tradisi sufisme adalah ketiadaan rasa memiliki, bahkan memiliki diri sendiri. Sebab hakikat kepemilikan adalah hak mutlak Sang Maha Memiliki, Allah Ta’ala. Untuk menuju maqam al-fana, urainya, butuh proses yang tidak mudah.

Di akhir kalamnya, ketika menjelaskan soal al-fana ini, Buya Syakur mengingatkan kepada para “murid”-nya;

aku tidak pernah memaksa kamu untuk mengikutiku ke tengah lautan. Tapi, ketika kamu mengikutiku ke tengah lautan, jangan pernah engkau bertanya mana tepinya.”

Wallahul muwaffiq.

*disarikan dari pengajian-pengajian Buya Syakur

Mutho AW

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *