Kajian Aqidah Aswaja; Lima Kuantitas yang Mustahil Ada pada Allah Swt

Kajian Aqidah Aswaja; Lima Kuantitas yang Mustahil Ada pada Allah Swt

Pecihitam.org – Dalam kajian aqidah Aswaja dikenal “al-‘aqaid al-khamsin”. Yakni 20 sifat wajib Allah Swt, 20 sifat mustahil Allah Swt, satu sifat jaiz Allah Swt, 4 sifat wajib rasul, 4 sifat mustahil rasul, dan satu sifat jaiz rasul. Jumlahnya ada 50 sifat. Itu mengapa disebut al-‘aqaid al-khamsin.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Memahami dan meyakini aqidah adalah wajib hukumnya bagi setiap mukallaf, yakni setiap muslim yang berakal dan baligh. Sebagaimana ditegaskan oleh Syekh Ahmad al-Nahrawi Mesir:

يجب على كل مكلف الجزم بعقائد التوحيد وكان الايمان متوقفا على الجزم بذلك فمن لم يجزم بذلك فهو كافر

Artinya: Wajib hukumnya bagi segenap mukallaf untuk teguh meyakini akidah tauhid. Dimana keimanan itu sepaket dengan keyakinan kuat atas akidah tauhid. Orang yang tidak meyakini dengan teguh akidah tauhid, maka ia telah kafir.

Salah satu sifat wajib bagi Allah Swt adalah sifat “wahdaniyah”. Yakni wajib bagi Allah Swt bersifat esa. Baik keesaan zat dan sifat-Nya, maupun keesaan dalam perbuatan-Nya. Sifat “wahdaniyah” meniscayakan ketiadaan sifat “ta’addud”, yaitu Allah tidak maha esa atau berbilang. Mustahil Tuhan lebih dari satu.

Dalam kajian aqidah aswaja terkait tentang sifat esa ini, Syekh Ahmad al-Nahrawi menjelaskan bahwa oleh sebab Allah Swt itu maha esa (al-wahdaniyah), maka mustahil ada “al-kamum al-khamsah”.


واذا ثبتت له تعالى الوحدانية انتفت عنه الكموم الخمسة المشهورة وهي الكم المنفصل في الذات والكم المتصل فيها والكم المنتصل في الصفات والمتصل فيها والكم المنفصل في الافعال

Artinya: Ketika sifat esa itu melekat pada Allah Ta’ala, maka mustahil ada pada diri-Nya “kamm” lima yang masyhur itu. Yakni (1) “kam munfashil” pada zat, (2) “kam muttashil” pada zat, (3) “kam munfashil” pada sifat, (4) “kam muttashil” pada sifat, dan (5) “kam munfashil” pada perbuatan-Nya.

“Al-kamum al-khamsah” itu saya istilahkan dengan “lima kuantitas”. Sebab, Allah Swt maha esa, Dia tidak memiliki kuatitas sebagaimana makhluk. Keesaan-Nya pun bukan “esa” atau “tunggal” sebagaimana ada dalam benak manusia.

Baca Juga:  Mengucap Kalimat Tauhid Saja Tidaklah Cukup, 5 Hal Ini Juga Harus Dipenuhi

Penjelasan “lima kuantitas” yang mustahil ada pada Allah Swt adalah berturut-turut sebagai berikut ini:

Kam munfashil pada zat-Nya. Kuantitas pertama ini berarti ada wujud lain yang menyerupai wujud Allah Swt. Tentu ini sangat kontradiktif dengan sifat esa Allah Swt. Maka jelas “kam munfashil” pada zat-Nya mustahil ada.

Kam muttashil pada zat-Nya. Kuantitas kedua ini berati zat Allah Swt tersusun dari unsur-unsur atau partikel sebagaimana wujud kita manusia tersusuh dari unsur daging, tulang, darah, dan sebagainya. Ini pula mustahil ada pada zat-Nya. Zat Allah Swt tidak tersusun dari unsur apa pun.

Kam munfashil pada sifat-Nya. Kuantitas ketiga ini berarti ada sifat manusia atau makhluk lain yang sama dengan sifat Allah Swt. Ini mustahil. Keesaan Allah Ta’ala bukan hanya berarti Dia adalah zat yang esa, tapi juga berarti tidak ada makhluk apa pun yang memiliki sifat yang sama dengan-Nya.

Kam muttashil pada sifat-Nya. Kuantitas keempat ini berarti sifat-sifat Allah Ta’ala berbilang atau lebih dari satu. Misalnya, sifat iradah (berkehendak) Allah ada dua, atau Allah memiliki dua sifat qudrah (kuasa). Itu mustahil.

Baca Juga:  Qudrah, Sifat Wajib Yang Ke-Tujuh Bagi Allah SWT

Allah Swt menghendaki segala sesuatu dengan “satu” sifat iradah. Allah maha “kuasa” menciptakan langit dan bumi, ya dengan “satu” sifat qudrah.

Kam munfashil pada perbuatan-Nya. Kuantitas kelima atau terakhir ini berarti bahwa makhluk memiliki perbuatan, atau kemampuan untuk berbuat sesuatu. Sungguh ini keyakinan keliru. Segala perbuatan adalah milik Allah Swt. Allah lah yang maha menciptakan.

Mengapa? Sebab manusia dengan segala sifat dan perilakunya adalah ciptaan Allah Ta’ala. Kita memang bisa berjalan, berbicara, menulis, dan lain sebagainya atas kehendak dan kemampuan kita. Namun, hakikatnya semua itu adalah perbuatan-Nya.

Sebab, kehendak dan kemampuan kita untuk “berbuat” pun secara hakikat adalah ciptaan-Nya. Allah lah yang menciptakan “kehendak” dan “kemampuan” kita untuk melakukan atau mengerjakan sesuatu.

Untuk lebih jelas, simak paparan Imam Nawawi al-Bantani berikut ini:

واماالعبد مختار بحسب الظاهر لان اختياره بخلق الله تعالى فالعبد مختار ظاهرا مجبور باطنا … خلافا للمعتزلة القائلين إنه مختار ظاهرا وباطنا وللجبرية القائلين إنه مجبور ظاهرا وباطنا

Artinya: Seorang hamba secara dhahir ia memiliki ikhtiar (untuk berbuat). Namun karena ikhtiarnya itu adalah ciptaan Allah Swt, maka seorang hamba secara dhahir ia berikhtiar tetapi secara batin ia “majbur” atau tidak punya otoritas untuk berbuat sesuatu.

Berbeda dengan kaum Mu’tazilah yang berkata bahwa seorang hamba itu berikhtiar (apa pun yang dikerjakaannya atas otoritas pribadi) baik secara dhahir maupun batin.

Juga, berbeda dengan kaum Jabariyah yang menyatakan bahwa seorang hamba tidak memiliki otoritas untuk berbuat sesuatu baik secara dhahir maupun batin.

Bisa disimpulkan, kita muslim Sunni (Aswaja) memiliki keyakinan kita bisa berusaha dan berikhtiar, punya kehendak, dan mampu berbuat sesuatu. Namun, itu secara dhahir, sebab hakikatnya ikhtiar kita, kehendak kita, dan kemampuan kita pun adalah ciptaan Allah Swt.

Baca Juga:  Teologi Negatif: Upaya Para Filusuf Muslim Menalar Esensi Tuhan

Sehingga “kam munfashil” pada perbuatan-Nya adalah mustahil. Mustahil ada makhluk yang mampu berbuat sesuatu. Sebab hakikatnya kemampuan itu pun ciptaan Allah Ta’ala. Hanya Allah lah yang maha mampu melakukan apa pun.

Wallahu khalaqakum wa ma ta’malun: Allah lah yang menciptakan kamu sekalian dan apa yang kamu kerjakan. Marilah kita sandarkan segala apa yang kita kerjakan pada Allah Swt. Semoga kajian akidah ini bermanfaat.

Wallahul muwaffiq.


*Kitab rujukan: al-Raddul Farid ‘ala ‘Aqaidi Ahlit Tauhid karya Syekh Ahmad al-Nahrawi Mesir dan syarahnya, kitab Fathul Majid karya Imam Nawawi al-Bantani dalam bab sifat wahdaniyah.

Mutho AW