Kisah Kepala Sayyidina Husein Dirawat Pendeta Nasrani dan Batu Berdarah

Batu Sayyidina Husein

Pecihitam.org – Berikut adalah sejarah singkat tentang kepala Sayyidina Husein dirawat pendeta Nasrani dan Batu berdarah tempat meletakkan kepalanya. Sejarah ini di kutip dari sebuah buku yang ditulis oleh Sheikh Ibrahim Nasralla yang diberjudul “The Traces of Ale Mohammad in Aleppo” (Jejak-jejak Keturunan Muhammad di Aleppo).

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Tempat ini konon dulunya adalah sebuah biara yang terdiri dari 2 buah ruangan yang diberi-nama Mart Ruta Monastery, yaitu sebelum datangnya Islam ke kota ini. Untuk mengenal sejarah dari tempat ini maka kita harus memalingkan wajah ke masa lalu terlebih dahulu.

Setelah Tragedi Karbala, ketika rombongan Imam Ali Zainal Abiddin As-Sajjad (putera Sayyidina Husein) dan Zainab (adik sayyidina Husein) disertai rombongan kecil berisi wanita dan anak-anak datang dari Kufah dan Karbala ke Syam, rombongan itu berhenti di kota Aleppo untuk beristirahat di dekat biara ini. Para biarawan dan pendeta dari biara ini melihat dengan jelas sekali ada cahaya yang terang yang keluar dari kepala Imam Husein yang diarak oleh tentara Yazid yang mengawal rombongan dari keluarga Nabi itu. Kejadian itu terjadi pada tahun 61H.

Ketika para pendeta dan biarawan itu tahu bahwa para tawanan yang dibawa tentara Yazid itu ialah sisa-sisa keluarga Nabi (dimana banyak dari kaum lelakinya sudah syahid). Seorang kepala biarawan itu bertanya.,

“Kepala-kepala siapakah ini?”
“Ini adalah kepala-kepala cucu Nabi, keluarga Nabi, dan para pengikutnya”
“Celakalah kalian karena sudah memperlakukan keturunan Nabi seburuk ini”
“Aku akan pinjam kepala cucu Nabi itu biar dengan membayar tinggi sekalipun”

Bala tentara laknat itu tergiur dengan uang yang ditawarkan oleh kepala biara itu. Dan mereka menyerahkan kepala Imam Husein untuk bermalam di biara. Untuk itu, para pendeta dari biara itu mengeluarkan uang yang sangat banyak.

Baca Juga:  5 Periode Pemerintahan Khalifah Abbasiyah

Seorang pendeta yang memiliki pengetahuan luas mengambil kepala Imam Husein dari para pengawal (tentara Yazid) dan kemudian meletakkan kepala Sayyidina Husein itu di atas sebuah batu untuk dicuci dan disisir rambutnya serta diberi minyak wangi.

“Betapa besar penghargaan yang diberikan oleh seorang yang beragama Nasrani untuk kepala suci dari cucu Nabi”
“Betapa kecil penghormatan yang diberikan oleh kaum Muslimin waktu itu, kepada sisa keluarga Nabi yang ditawan dan dibelenggu”

Pendeta itu berdoa terus menerus di depan kepala Imam Husein hingga subuh menjelang pagi dan kemudian ia memberikan kembali kepala itu kepada para bala tentara Yazid. Sang pendeta sendiri konon katanya langsung memeluk Islam tidak lama setelah kejadian tersebut.
Sejak malam itu hingga beberapa hari kemudian darah segar senantiasa keluar dari batu tempat kepala Sayyidina Husein diletakkan itu. Dan setelah rombongan tawanan keluarga nabi itu pergi dari biara itu, kembali pendeta tersebut melantunkan doa-doa rintihan untuk mengenang sang cucu Nabi. Sementara itu batu itu tetap mengeluarkan darah segar.

Batu ini akhirnya memerah karena darah yang pernah tercurahkan dari kepala “Pemimpin Para Syuhada” dan tetap bersemayam di biara ini dari awal bulan Safar tahun 61H hingga tahun 333H. Ketika Raja Sifoddowie Hamdani (seorang pengikut Ahlul Bait Nabi) memasuki kota Aleppo dan memutuskan untuk menjadikan kota Aleppo itu menjadi ibu kota, Raja itu seringkali menjenguk batu itu. Dan sampai detik itu masih pula mengeluarkan darah segar. Ia akhirnya memutuskan untuk membangun tempat itu untuk menghormati batu yang mengeluarkan darah itu sebagai tanda kebesaran Allah di muka bumi ini.

Baca Juga:  Tragedi Karbala, Potret Buram Sistem Khilafah

Pada pertengahan abad keempat Hijriah, bangunan megah yang ditujukan untuk menghormati batu itu berdiri. Dan sejak saat itu lah tempat tersebut mulai sering di ziarahi bagi para pecinta cucu Nabi (Imam Husein as). Tempat itu dikenal sekarang sebagai “Masjid Al-Nuqtah” atau kurang lebih artinya “Masjid Tempat Darah Tercurah”.

Pada tahun 1333H ketika para penguasa Ottoman (Khilafah Utsmaniyyah) menguasai kawasan ini, mereka melarang orang-orang yang hendak berziarah ke tempat ini dan mereka malah menggunakan tempat ini untuk menyimpan amunisi serta senjata selama masa perang. Akhirnya pada suatu masa, Kekhalifahan Ottoman mengalami kemunduran dan lemah dalam segala bidang, pada saat itulah tentara sekutu bermaksud untuk menyerang kota Aleppo. Timbullah kekacauan di mana-mana pada waktu itu (20 Muharam 1337 H). Masjid yang dipenuhi oleh amunisi senjata dan mesiu ini tiba-tiba meledak. Bangunan nan indah ini hancur porak-poranda dan kepingannya berserakan di mana-mana.

Keajaiban terjadi, batu berdarah itu tetap berada di tempatnya dan beberapa batu yang besar berkumpul di sekelilingnya, seolah-olah ingin melindungi batu tersebut. Sungguh itu merupakan suatu tanda kebesaran Illahi. Kemudian beberapa orang ulama mengambil batu itu dan membawanya ke Masjid Zakaria yang ada di kota itu.

Setelah dipindah batu tersebut menunjukkan beberapa keanehan. Yaitu seringkali bergerak-gerak sehingga membuat ketakutan para alim ulama dan santrinya. Hingga akhirnya mereka memutusakan untuk menempatkan batu itu di atas punggung seekor kuda dan kemudian membiarkan kuda itu membawanya kemana ia suka.

Kuda itu membawa batu suci tersebut ke tengah-tengah kota Aleppo menuju tempat dimana batu itu dulu ditempatkan, yaitu di Masjid Al-Nuqtah yang ketika itu masih dalam keadaan porak-poranda. Karena tempat itu rusak, kuda itu (seolah-olah memiliki kehendak sendiri) membawa batu itu ke tempat pemakaman bayi Imam Husein yang bernama Muhsin. Kemudian batu itu akhirnya disimpan di sisi makam tersebut.

Baca Juga:  Kepemimpinan Khulafaur Rasyidin: Nilai-Nilai Yang Bisa Terapkan Di Indonesia

Tempat suci itu tetap dalam keadaan hancur selama masa-masa sulit setelah peperangan berlangsung hingga tahun 1379 H. Pada tahun itu ada sebuah organisasi bernama Jafari Islamic Rebuilding Society yang berencana untuk membangun kembali masjid itu sesuai dengan bentuk aslinya dulu. Dengan rahmat dan kebesaran Allah, serta keinginan kuat dari berbagai orang yang bersedia menyumbangkan harta dan tenaganya serta bantuan moril dan materil dari para alim ulama, akhirnya mereka bisa membangun kembali Masjid itu dengan sebagaimana bentuknya yang lama. Anehnya mereka tetap bisa menggunakan batu-batuan yang dulunya digunakan untuk membuat Masjid bersejarah itu. Dengan batuan yang sama (yang dulu berserakan setelah ledakan) mereka berhasil membangun Masjid itu seperti sedia kala, seperti yang bisa kita lihat sekarang ini. Allahumma Shali ‘ala Sayyidina Muhammad wa‘ala ali sayyidina Muhammad.

Arif Rahman Hakim
Sarung Batik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *