Kisah Teladan Kyai Faqih dan Kyai Hasyim Asyari Dalam Perbedaan Pendapat

perbedaan pendapat ulama

Pecihitam.org – Akhir-akhir ini, dalam dunia maya terutama media sosial banyak berita yang membenturkan pendapat para ulama yang berbeda-beda. Tujuan mereka satu yaitu memecah belah warga Nahdliyin dan umat Islam melalui jejaring sosial. Padahal perbedaan pendapat di kalangan ulama adalah wajar, karena masing-masing memiliki dalil atau dasarnya sendiri. Hal tersebut sebagaimana para ulama salafus shalih yang juga saling ada perbedaan pendapat dalam memutuskan masalah, seperti Imam ar Rofi’i dan Imam an Nawawi, al Ghazali dan Ibn Rusyd dan juga ulama-ulam yang lain.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Sama dengan penerus para ulama terdahulu, ulama NU kini juga sering kita temui saling perbedaan pendapat dalam menyikapi suatu permasalahan. Namun, mereka tetap bersatu bersama-sama membangun NU. Bukan cuma ulama NU yang sekarang, pada awal berdirinya NU terdapat perbedaan pendapat dan pandangan di antara mereka. Sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Hadratusyaikh KH. Hasyim Asy’ari dan KH. Faqih Maskumambang Gresik. Perbedaan pendapat dan sikap pandangan beliau-beliau itu efeknya sampai sekarang dirasakan di Pondok Pesantren Tebuireng Jombang.

Daftar Pembahasan:

Sebuah Kisah Teladan

Kiai Faqih, Maskumambang, Gresik, ternyata memiliki hubungan yang sangat akrab dengan Hadratusyaikh Kiai Hasyim karena senasib dan seperjuangan dalam mencari ilmu serta dengan guru yang sama. Terlebih, ketika Ormas NU didirikan pada 16 Rajab 1344 H/31 Januari 1926 di Kota Surabaya, keakraban mereka pun semakin tinggi.

Mereka berdua didaulat oleh para kiai untuk menduduki jabatan dalam Organisasi tersebut. Yaitu Hadratusyaikh dilantik sebagai Rais Akbar dan Kiai Faqih sebagai Wakil Rais Akbar. Keakraban mereka dalam menjalankan roda organisasi bukannya tanpa perbedaan. Mereka pernah tidak sepaham dalam menanggapi satu masalah yang berhubungan dengan hukum pemakaian kentongan.

Setidaknya, sejak tahun 1918, 1926 dan bertahan hingga kini, NU tiap bulannya sudah menerbitkan Jurnal Ilmiah. Tradisi keilmuwan yang kuat dari para ulama atau kiai NU inilah sebenarnya yang menjadi cikal bakal ormas Islam terbesar di Indonesia ini. Dalam terbitan perdana sebuah jurnal ilmiah bulanan Nahdlatul Ulama tersebut, Hadratusyaikh menuliskan fatwa bahwa penggunaan kentongan (alat dari kayu yang dipukul hingga berbunyi nyaring) tidak diperkenankan untuk memanggil shalat dalam hukum Islam. Dasar dari pendapat beliau itu adalah bahwa penggunaan alat itu tidak ditemukan dalilnya.

Hadratussyaikh, begitu beliau biasa disebut memang dikenal sebagai seorang ulama yang sangat menguasai ilmu hadis, karena itu sangat wajar apabila beliau berpendapat seperti itu, karena memang tidak ditemukan dalil shorih (jelas) mengenai kebolehan penggunaan alat tersebut. Ada sebuah argumen beliau, adanya dalil tersebut hanya menjelaskan tentang kentongan yang mirip dengan lonceng yang biasa dipakai kaum Nashrani sebagai pengingat di setiap waktu ibadahnya.

Baca Juga:  Begini Fungsi Akal dan Wahyu Menurut Pandangan Berbagai Aliran dan Tokoh

Hal itu sebagaimana yang bisa kita baca kini dalam kitab ar Risalah al Musammah bi al Jasus fi Bayani Hukmi an Naqus, bahwa Kiai hasyim menjelaskan bahwa beliau pernah mendengar dari gurunya yaitu Syaikh Muhammad Syu’aib ibnu Abdurrahman al Maghribi tentang kentongan. Dalam penjelasan tersebut diterangkan bahwa kentongan itu merupakan alat yang digunakan umat Nashrani sebagai pengingat di setiap waktu ibadahnya.

Pendapat tersebut disanggah oleh Kiai Faqih, Maskumambang, Gresik. Dalam penerbitan bulan berikutnya jurnal tersebut, Kiai Faqih menyatakan bahwa kentongan boleh digunakan,. Alasan beliau adalah kentongan diqiyaskan (disamakan) dengan beduk sebagai alat pemanggil shalat, jika bedug boleh digunakan tentunya kentongan juga boleh digunakan. Segera setelah uraian Kiai Faqih itu muncul, KH M. Hasyim Asy’ari segera memanggil para ulama se-Jombang dan para santri senior beliau, untuk berkumpul di Pesantren Tebuireng, Jombang. Beliau lalu memerintahkan kedua artikel itu untuk dibacakan kepada para hadirin. Setelah itu, beliau menyatakan mereka dapat menggunakan salah satu dari kedua alat pemanggil itu dengan bebas.

Yang beliau minta hanyalah satu hal, yaitu hendaknya di Masjid Tebuireng, Jombang kentongan itu tidak digunakan selama-lamanya. Pandangan beliau itu mencerminkan sikap sangat menghormati pendapat Kiai Faqih Maskumambang tersebut. Dalam bulan Maulid/Rabi’ul Awal berikutnya, KH. Hasyim Asy’ari diundang untuk memberikan ceramah di Pesantren Maskumambang. Tiga hari sebelumnya, para utusan Kiai Faqih Maskumambang menemui para ketua/pemimpin takmir masjid dan surau yang ada di kabupaten Gresik dengan membawa pesan beliau:
“Selama Kiai M. Hasyim Asy’ari berada di kawasan kabupaten tersebut, semua kentongan yang ada harus diturunkan dari tempat bergantungnya alat itu”. Sikap ini diambil beliau karena penghormatan beliau terhadap Kiai Hasyim Asy’ari.

Setelah selesai melaksanakan tugas, para santri pun menghadap kembali kepada sang Kiai. Salah satu santri maju kehadapan Kiai Faqih dan berkata dengan polosnya. “Maaf Kiai, amanat Kiai kepada kami untuk menurunkan kentongan selama kedatangan Kiai Hasyim Asy’ari sudah kami laksanakan.” Sontak saja KH. Faqih menjadi sangat malu. Pasalnya Kiai yang disinggung dalam amanat beliau itu sudah duduk sedari tadi. Tiada lain beliau adalah KH. M. Hasyim Asy’ari. Rupanya para santri tidak tahu bahwa yang berada di hadapan Kiai mereka adalah KH. M. Hasyim Asy’ari itu. Dengan tersenyum menyimpan malu, KH. Faqih pun berkata kepada para santrinya: “Ya sudah, sini kalian semua cium tangan Kiai Hasyim Asy’ari.”

Dari kisah di atas, kita tahu bahwa Kiai Hasyim ketika itu begitu teguh terhadap pendapatnya. Ketika ulama-ulama yang lain bertolak belakang dengan Hadratusyaikh, beliau dan juga ulama yang lain tetap dapat saling menghormati. Minimal, Kiai Hasyim tidak melarang secara umum, namun hanya melarang secara khusus terhadap pesantren beliau yaitu Pesantren Tebuireng. Oleh karena itu pula, sampai sekarang Pesantren Tebuireng tidak pernah memakai kentongan sebagai pengingat akan masuknya waktu shalat. Hanya menggunakan bedug sebagai iringan pra-adzan.

Baca Juga:  Inilah 5 Hal yang Menjadi Keprihatinan Ulama Terhadap Keilmuan Islam Sekarang Ini
Argumentasi Kyai Hasyim Asyari

Berkenaan dengan pendapat beliau, mungkin di antara kita banyak yang masih penasaran akan pendapat Hadratussyaikh yang memang kontroversi itu. Di tengah-tengah banyaknya pendapat yang membolehkan kentongan, beliau tetap teguh pada pendapat yang mengharamkanya. Untuk lebih jelasnya mari kita simak paparan ringkasnya.

Menurut Hadratusyaikh, sebagaimana yang diterangkan dalam kitabnya; ar Risalah al Musammah bi al Jasus fi Bayani Hukmi an Naqus, bahwa para ulama sebelum beliau berbeda pendapat terkait hukum menabuh kentongan dan bedug sebelum dan sesudah adzan. Ada sebagian ulama yang memperbolehkan bahkan menghukuminya sunnah, ada pula yang menghukuminya haram bahkan menghukumi murtad.

Agak mengejutkan, dalam polemik istinbat hukum ini, Hadratussyaikh lebih memilih pendapat bahwa hal tersebut adalah haram, meskipun sebelumnya beliau mengakui bahwa beliau mendukung pendapat yang memperbolehkannya. Sebelum menjelasakan argumen tentang keharaman kentongan, Hadratussyaikh mula-mula mendefinisikan apa yang disebut an naqus (kentongan). Beliau menukil beberapa pendapat terkait definisi dari kentongan, diantaranya adalah:

Pertama, menurut al Majdu al Lughawiy dalam al Qomus, kentongan adalah kayu besar lagi panjang di mana di salah satu sisinya pendek. Barang ini dinamakan dengan al wabl (kentongan); Kedua, dalam Kamus Misbah al Munir, an naqus adalah kayu yang besar, panjang dan berlubang yang dipukul (dibunyikan) orang Nasrani sebagai penanda waktu ibadah mereka. Ketiga, dalam al Munjid, an-naqus adalah potongan panjang dari besi dan kayu yang dibunyikan orang Nasrani untuk pertandanya masuknya waktu ibadah mereka. Kadang kata an nâqûs juga dipakai dalam penyebutan al Jarsu (lonceng). Meskipun definisi dari Naqus berbeda-beda, ada titik kesamaan bahwa alat tersebut digunakan orang Nasrani untik menandai masuknya waktu ibadah mereka.

Baca Juga:  4 Sikap Menyambut Tahun Baru Masehi Menurut KH. Said Agil

Selain dari segi definisi, Hadratussyaikh membangun argumentasi keharaman kentongan dengan beberapa tahap yang beliau urutkan dalam kitab tersebut. Bab Pertama memaparkan hadits-hadits shahih yang menjelaskan bahwa menabuh kentongan merupakan bentuk syi’ar dari orang-orang Nasrani, sedangkan adzan merupakan salah satu bentuk syiar dalam Islam. Sehingga menabuh kentongan sebelum adzan merupakan bentuk pencampuran antara syiar agama non-Islam dan agama Islam yang tidak diperbolehkan.

Pada bab kedua beliau memaparkan pendapapat para ulama fikih yang menyatakan bahwa kentongan merupakan bentuk kemungkaran yang haram dilakukan seperti halnya babi dan khamr (minuman keras). Hal ini sama dengan pendapat as Syairaziy dan Zakariya al Anshariy yang menyatakan keharaman memperlihatkan kemungkaran yang merupakan bentuk syiar dari non-muslim semisal khamr, babi, kentongan/lonceng.

Pesan Moral

Dalam buku “Islamku, Islam Anda, Islam Kita”, halam 256-257, KH. Abdurrahman Wahid (Gusdur) mengatakan: “Meyakini sebuah kebenaran, tidak berarti hilangnya sikap menghormati pandangan orang lain, sebuah sikap tanda kematangan pribadi kedua tokoh tersebut. Begitulah tata karma dalam perbedaan pendapapat yang ditunjukkan oleh para pendahulu kita, suatu sikap yang harus diteladani dan dilestarikan.”

Keteladanan dalam perbedaan pendapat kedua ulama di atas tentu sangat butuh diteladani oleh warga NU dan umat Islam saat ini, khususnya dalam tingkatan elitnya. Seyogyanya kisah teladan ini bisa menjadi cerita menarik untuk disampaikan kepada generasi-generasi muda dan anak-anak muslim era sekarang ini, agar mereka paham bahwa tak ada salahnya berpendapat, namun bisa juga menghormati pendapat orang lain.

Arif Rahman Hakim
Sarung Batik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *