Larangan Memvonis Kafir Sesama Muslim, Kajian Kitab Mafahim Yajibu An Tushahhaha (Bag. I)

memvonis kafir sesama muslim

Pecihitam.org– Tidak hanya di nusantara, paham Wahabi yang gemar memvonis kafir (takfir) terhadap sesama muslim mendapatkan tantangan. Di negeri asalnya (Saudi Arabia) pun tak sedikit ulama yang menantang keras pemikiran kaku Wahabi.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Kitab Mafahim Yajibu An Tushahhaha karya Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki Al-Hasani merupakan satu dari sekian kitab penolakan terhadap pemikiran Wahabi yang kaku.

Dan tulisan ini merupakan kajian salah satu bagian awal dari kitab beliau yang membahas tentang larangan memvonis kafir secara membabi buta terhadap sesama muslim.

Daftar Pembahasan:

Sekilas Biografi Sayyid Muhammad Al-Maliki

As Sayyid Prof. Dr. Muhammad bin Sayyid ‘Alawi bin Sayyid ‘Abbas bin Sayyid ‘Abdul ‘Aziz al-Maliki al-Hasani al-Makki al-Asy’ari asy-Syadzili lahir di kota suci Makkah pada tahun 1365 H.

Pendidikan pertamanya adalah Madrasah Al-Falah, Makkah, dimana ayah beliau Sayyid Alawi bin Abbas al Maliki sebagai guru agama di sekolah tersebut yang juga merangkap sebagai pengajar di halaqah di Haram Makki, dekat Bab As-salam.

Ayah beliau, Sayyid Alwi bin Abbas Almaliki (kelahiran Makkah th 1328H), seorang alim ulama terkenal dan ternama di kota Makkah.

Disamping aktif dalam berdawah baik di Masjidil Haram atau di kota-kota lainnya yang berdekatan dengan kota Makkah seperti Thoif, Jeddah dll, Sayyid Alwi Almaliki adalah seorang alim ulama yang pertama kali memberikan ceramah di radio Saudi setelah salat Jumat dengan judul “Hadist al-Jumah”.

Begitu pula ayah beliau adalah seorang Qadhi yang selalu dipanggil masyarakat Makkah jika ada perayaan pernikahan.

Selama menjalankan tugas da’wah, Sayyid Alwi bin Abbas Al-Maliki selalu membawa kedua putranya Muhammad dan Abbas.

Mereka berdua selalu mendampinginya ke mana saja ia pergi dan berceramah baik di Makkah atau di luar kota Makkah.

Adapun yang meneruskan perjalanan dakwah setelah beliau wafat adalah Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki dan Sayyid Abbas selalu berurusan dengan kemaslahatan kehidupan ayahnya.

Sebagaimana adat para Sadah dan Asyraf ahli Makkah, Sayyid Alwi Al-Maliki selalu menggunakan pakaian yang berlainan dengan ulama yang berada di sekitarnya. Beliau selalu mengenakan jubah, serban (imamah) dan burdah atau rida yang biasa digunakan dan dikenakan Asyraf Makkah.

Sekilas tentang Kitab Mafahim Yajibu An Tushahhaha

Dari namanya, kitab Mafahim Yajibu An Tushahhaha bermakana Paham-paham yang Harus Diluruskan.

Kitab ini menjawab kegelisahan kaum Ahlussunah wal Jamaah atas gelombang penyesatan dan pengkafiran di Jazirah Arab khusunya di Kota Mekkah Al-Mukarramah yang dilakukan oleh kaum Salafi-Wahhabi.

Baca Juga:  Kitab Riyadhus Shalihin Imam Nawawi (Taman Orang-orang Shalih)

Dalam kitab ini, Abuya Sayyid Muhammad berusaha membuktikan atas kesalahan doktrin-doktrin serta pemahaman yang dilakukan oleh kaum Salafi-Wahabi yang akhirnya berujung pentakfiran dan penyesatan atas golongan yang lain khususnya Ahlussunnah Wal Jama’ah.

Larangan Memvonis Kafir Sesama Muslim

Banyak orang keliru dalam memahami substansi faktor-faktor yang membuat seseorang keluar dari Islam dan divonis kafir.

Anda akan menyaksikan mereka segera memvonis kafir seseorang hanya karena ia memiliki pandangan berbeda.

Vonis yang tergesa-gesa ini bisa membuat jumlah penduduk muslim di dunia tinggal sedikit. Kami, karena husnuddzon, berusaha memaklumi tindakan tersebut serta berfikir barangkali niat mereka baik.

Dorongan kewajiban mempraktekkan amar ma’ruf nahi munkar mungkin mendasari tindakan mereka.

Sayangnya, mereka lupa bahwa kewajiban mempraktekkan amar ma’ruf nahi munkar harus dilakukan dengan cara-cara yang bijak dan tutur kata yang baik (bi al-Hikmah wa al-Mau’idzoh al–Hasanah).

Jika kondisi memaksa untuk melakukan perdebatan, maka hal ini harus dilakukan dengan metode yang paling baik sebagaimana disebutkan dalam QS. an-Nahl ayat 125:

ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ

”Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.”

Praktek amar ma’ruf nahi munkar dengan cara yang baik ini perlu dikembangkan karena lebih efektif untuk menggapai hasil yang diharapkan.

Menggunakan cara yang negatif dalam melakukan amar ma’ruf nahi munkar adalah tindakan yang salah dan tolol.

Jika Anda mengajak seorang muslim yang sudah taat mengerjakan shalat, melaksakan kewajiban-kewajiban yang ditetapkan Allah, menjauhi hal-hal yang diharamkan-Nya, menyebarkan dakwah, mendirikan masjid, dan menegakkan syi’ar-syi’ar-Nya untuk melakukan sesuatu yang Anda nilai benar sedangkan dia memiliki penilaian berbeda dan para ulama sendiri sejak dulu berbeda pendapat dalam persoalan tersebut kemudian dia tidak mengikuti ajakanmu lalu kamu menilainya kafir hanya karena berbeda pandangan denganmu maka sungguh kamu telah melakukan kesalahan besar yang Allah melarang kamu untuk melakukannya dan menyuruhmu untuk menggunakan cara yang bijak dan tutur kata yang baik.

Al-‘Allamah Al-Imam As-Sayyid Ahmad Masyhur bin Thoha al-Haddad mengatakan, “Telah ada konsensus ulama untuk melarang memvonis kufur pada ahlul qiblat (ummat Islam) kecuali akibat dari tindakan yang mengandung unsur meniadakan eksistensi Allah, kemusyrikan yang nyata yang tidak mungkin ditafsirkan lain, mengingkari kenabian, prinsip-prinsip ajaran agama Islam yang harus diketahui ummat Islam tanpa pandang bulu (ma ‘ulima min ad-din bi adh-dharurat), mengingkari ajaran yang dikategorikan mutawatir atau yang telah mendapat konsensus ulama dan wajib diketahui semua ummat Islam tanpa pandang bulu.”

Baca Juga:  Kitab Fathul Qorib, Kitab Pemula Fiqih Madzhab Syafii

Ajaran-ajaran yang dikategorikan wajib diketahui semua ummat Islam seperti masalah ke-Esaan Allah, kenabian, diakhirinya kerasulan dengan Nabi Muhammad saw, kebangkitan di hari akhir, hisab (perhitungan amal), balasan, surga dan neraka bisa mengakibatkan kekafiran orang yang mengingkarinya dan tidak ada toleransi bagi siapapun umat Islam yang tidak mengetahuinya kecuali orang yang baru masuk Islam, maka ia diberi toleransi sampai mempelajarinya kemudian sesudahnya tidak ada toleransi lagi.

Mutawatir adalah hadits yang diriwayatkan sekelompok perawi yang mustahil melakukan kebohongan kolektif dan diperoleh dari sekelompok perawi yang sama.

Kemutawatiran bisa dipandang dari :

  1. Aspek isnad seperti hadits

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ, قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ

“Barangsiapa berbohong atas namaku maka carilah tempatnya di neraka” (HR. Muslim)

  1. Aspek tingkatan kelompok perawi

Seperti kemutawatiran al-Qur’an yang kemutawatirannya terjadi di muka bumi ini dari wilayah barat hingga timur dari aspek kajian, pembacaan, dan penghafalan serta ditransfer dari kelompok perawi satu kepada kelompok lain dari berbagai tingkatannya sehingga ia tidak membutuhkan isnad.

Kemutawatiran ada juga yang dikategorikan mutawatir dari aspek praktikal dan turun-temurun (tawuturu ‘amalin wa tawarutsin) seperti praktik atas sesuatu hal sejak zaman nabi sampai sekarang, atau mutawatir dari aspek informasi (tawaturu ‘ilmin) seperti kemutawatiran mu’jizat-mu’jizat.

Karena mu’jizat-mu’jizat itu meskipun satu persatunya malah sebagian ada yang dikategorikan hadits ahad namun benang merah dari semua mu’jizat tersebut mutlak mutawatir dalam pengetahuan setiap muslim.

Memvonis kufur seorang muslim di luar konteks yang telah disebutkan adalah tindakan fatal.

Dalam sebuah hadits disebutkan:

إِذَا قَالَ الرجلُ لأَخِيه : يَا كَافِرُ فَقَدْ بَاءَ بِهِ أَحَدُهُمَا

“Jika seorang laki-laki berkata kepada saudara muslimnya; Hai kafir, maka vonis kufur telah jatuh pada salah satu dari keduanya.” ( HR.Bukhari)

Vonis kufur tidak boleh dijatuhkan kecuali oleh orang yang mengetahui seluk-beluk keluar masuknya seseorang dalam lingkaran kufur dan batasan-batasan yang memisahkan antara kufur dan iman dalam hukum syari’at Islam.

Tidak diperkenankan bagi siapapun memasuki wilayah ini dan menjatuhkan vonis kufur berdasarkan prasangka dan dugaan tanpa kehati-hatian, kepastian dan informasi akurat.

Baca Juga:  Kitab Al Muhadzab Karya Imam Abu Ishaq Ibrahim al Syairazi

Jika vonis kufur dilakukan dengan sembarangan maka akan kacau dan mengakibatkan penduduk muslim yang berada di dunia ini hanya tinggal segelintir.

Demikian pula, tidak diperbolehkan menjatuhkan vonis kufur terhadap tindakan-tindakan maksiat sepanjang keimanan dan pengakuan terhadap syahadatain tetap terpelihara.

Dalam sebuah hadits dari Anas ra. Rasulullah saw. bersabda:

ثَلَاثٌ مِنْ أَصْلِ الْإِيمَانِ : الْكَفُّ عَمَّنْ قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَلَا نُكَفِّرُهُ بِذَنْبٍ وَلَا نُخْرِجُهُ مِنْ الْإِسْلَامِ بِعَمَلٍ ، وَالْجِهَادُ مَاضٍ مُنْذُ بَعَثَنِي اللَّهُ إِلَى أَنْ يُقَاتِلَ آخِرُ أُمَّتِي الدَّجَّالَ لَا يُبْطِلُهُ جَوْرُ جَائِرٍ وَلَا عَدْلُ عَادِلٍ وَالْإِيمَانُ بِالْأَقْدَارِ

“Tiga hal merupakan pokok iman; menahan diri dari orang yang menyatakan tiada Tuhan kecuali Allah, tidak memvonis kafir akibat dosa dan tidak mengeluarkannya dari agama Islam akibat perbuatan dosa. Jihad berlangsung terus semenjak Allah mengutusku sampai akhir umatku memerangi Dajjal. Jihad tidak bisa dihapus oleh kelaliman orang yang lalim dan keadilan orang yang adil dan meyakini kebenaran takdir”. (HR. Abu Daud)

Al-Imam Al-Haramain pernah berkata:
“Jika ditanyakan kepadaku: Tolong jelaskan dengan detail ungkapan-ungkapan yang menyebabkan kufur dan tidak”. Maka saya akan menjawab,” Pertanyaan ini adalah harapan yang bukan pada tempatnya. Karena penjelasan secara detail persoalan ini membutuhkan argumentasi mendalam dan proses rumit yang digali dari dasar-dasar ilmu Tauhid. Siapapun yang tidak dikarunia puncak-puncak hakikat maka ia akan gagal meraih bukti-bukti kuat menyangkut dalil-dalil pengkafiran”.

Kesimpulan

Berangkat dari paparan di atas, kami ingatkan untuk menjauhi pengkafiran secara membabi buta di luar poin-poin yang telah dijelaskan di atas. Karena tindakan pengkafiran bisa berakibat sangat fatal.

Hanya Allah swt. yang memberi petunjuk ke jalan yang lurus dan hanya kepada-Nya lah tempat kembali.

Semoga kita bisa memahami tentang larangan memvonis kafir terhadap sesama muslim. Amin!

Faisol Abdurrahman