Mengenal Mbah Sonhaji Kebumen, Guru Mursyid KH. Abdurrahman Wahid alias Gus Dur

Mengenal Mbah Sonhaji Kebumen, Guru Mursyid KH. Abdurrahman Wahid alias Gus Dur

PeciHitam.org – Di sebuah kota kecil di pesisir selatan Jawa Tengah, tepatnya di Kabupaten Kebumen, terdapat seorang ulama kharismatik yang menjadi mursyid thariqah Naqsabandiyah Qadiriyah.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Mungkin tak banyak orang tahu. Guru mursyid alias guru spiritual KH Abdurrahman Wahid berasal dari Kebumen, tepatnya dari Jimbun, sebuah dusun di wilayah Kecamatan Sruweng.

Kyai Sonhaji memiliki postur tubuh yang kecil, berkulit bersih. Wajahnya cerah memancarkan kharisma. Itulah sekilas gambaran sosok KH Sonhaji (1916-2008). KH Sonhaji, di kemudian hari akrab disapa Mbah Son atau Mbah Jimbun.

Beliau merupakan seorang putra dari pasangan Kyai Chasbulloh dan Nyai Mairah. Mbah Sonhaji atau Mbah Jimbun, lahir pada tahun 1916 dengan nama Zainal Abidin.

Zainal kecil, belajar ilmu agama di Pesantren Jetis, dulu belum memiliki nama, sekarang dinamai Pondok Pesantren Al-Huda. Pesantren Al-Huda Jetis ini sekarang diasuh oleh KH. Wahib Mahfudz, cucu Mbah Abdurrahman, pendiri Pesantren Jetis.

Mbah Abdurahman juga merupakan kakek Mbah Sonhaji. Kemudian setelah menuai ilmu pertamanya di Pesantren Jetis, beliau melanjutkan rihlah ilmiahnya ke Pesantren Lirap dan Sumolangu (Kebumen).

Baca Juga:  Anwar Zahid, Ulama Humoris dengan Metode Dakwah yang Unik

Saat memasuki usia remaja, Zainal muda melanglang dari satu pesantren ke pesantren lain. Dirinya sempat berguru kepada KH Nahrowi di Watucongol dan KH Muhajir di Bendo Pare (Kediri). Sewaktu menimba ilmu atau nyantri di Pesantren Bendo, konon Zainal Abidin muda ini berganti nama menjadi Maqsud.

Sanad dan ijazah mursyid Tarekat Naqsabandiyah Qadiriyah diperoleh dari KH Syekh Usman Al-Ishaqi Jatipurwo (Surabaya). Usai menunaikan ibadah haji, beliau beralih nama Sonhaji Chasbullah, yakni Sonhaji bin Chasbulloh.

Beliau merupakan besan dari KH. M. Utsman bin Nadi al-Ishaqi Jatipurwo, disamping juga berguru thariqah hingga disempurnakan sampai mendapatkan “Ijazah Kemursyidan dan Izin” dari Mbah Utsman al-Ishaqi. Secara nasab beliau masih keturunan ulama-ulama besar, berdarah biru, yang bersambung ke para sunan (Wali Songo) penyebar Islam di Nusantara ini.

KH Sonhaji, atau Mbah (Son) Jimbun, semakin dikenal publik sejak namanya disebut langsung oleh Gus Dur sebagai guru tarekatnya pada sebuah acara keagamaan (Istigasah Kubra) di Gelora Bung Karno. Sejak itulah, Mbah Sonhaji ini terkenal dan dibahas dimana-mana biografi ketokohannya dalam bidang Tarekat Naqsabandiyah Qadiriyah.

Baca Juga:  Inilah 40 Ulama Ahli Hadits Beraqidah Asy'ariyah dan Kitabnya Bisa Anda Download

Setiap kali Gus Dur datang ke Kebumen, beliau selalu menyempatkan sowan menemui sang guru. Salah satu ajaran Mbah Jimbun yang melekat pada diri Gus Dur adalah kesederhanaan.

Ajaran tentang kesederhanaan hidup ini bukan hanya secara lisan, namun juga diajarkan melalui tindak laku beliau. Karena pembelajaran yang terbaik yaitu dari tauladan langsung melalui tingkah laku.

Semasa hidupnya, Mbah Jimbun dikenal sebagai sosok yang bersahaja. Bahkan, para tetangga sering menjumpai dirinya belanja sayuran sendiri di Pasar Tengok. Sebuah pemandangan yang terbilang langka sekarang ini. Meski notabenenya merupakan kyai yang memiliki banyak santri.

Mungkin jika Mbah Sonhaji menugaskan seorang santri untuk berbelanja, ia langsung sendiko dhawuh atau melaksanakan apa yang diperintahkan, namun Mbah Sonhaji lebih memilih untuk berbelanja ke pasar sendiri. Sungguh hal tersebut merupakan teladan yang amat konkret.

Meski terpisah jarak cukup jauh (Kebumen-Jakarta), hubungan guru dan murid itu terbilang hangat. Sesekali Gus Dur berkirim surat kepada sang guru. Demikian pun sebaliknya.

“Gus Dur kuwi wonge nggunake adab, arep mlebu thoriqoh liyo wae isih  sempat kirim surat; (Gus Dur itu orangnya beretika, mau masuk tarekan lain saja, minta izin dengan, berkirim surat, red),” kata Mbah Jimbun, seperti dituturkan kembali oleh Gus Hakim Lukman.

Baca Juga:  As-Syekh Sayyid Jamaluddin Akbar al-Husaini, Penyebar Islam di Sulawesi Selatan

Ulama sepuh ahli tawasuf asal Kebumen ini berpulang ke haribaan Allah (wafat) dalam usia 92 tahun, yakni Senin 17 Maret 2008.  Gus Dur menjadi santri tarekat yang berbaiat kepada Mbah Jimbun sebelum dirinya menjadi Presiden RI ke-4. Mengenang sosok Mbah Jimbun, terkenang pula sosok Gus Dur. Wallahu A’lam.

Mohammad Mufid Muwaffaq