Mengenal Sayyid Qutb dan Sepak Terjangnya dalam Pemikiran Islam

Mengenal Sayyid Qutb dan Sepak Terjangnya dalam Pemikiran Islam

PeciHitam.org – Sayyid bin Qutb bin Ibrahim dilahirkan di Mausyah, salah satu wilayah propinsi Asyuth pada tanggal 9 Oktober 1906. Ayahnya, Qutb bin Ibrahim, adalah seorang nasionalis yang memiliki kesadaran politik dan semangat nasional yang tinggi dan merupakan aktivis Partai Nasional pimpinan Mustafa Kamil.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Ayahnya seorang yang taat beragama dan fokus mendidik anak-anaknya dalam bidang agama. Sebagai pengurus partai tentu memberikan bekas mendalam bagi Sayyid Qutb kecil dan membuatnya sedikit banyak mengerti tentang keadaan politik yang terjadi di Mesir.

Namun, pengaruh yang besar berkaitan dengan al-Quran justru datang dari ibunya, wanita yang sangat senang membaca dan mendengarkan al-Quran. Beliau mampu menghafal al-Quran dalam usia sepuluh tahun. Qutb menempuh pendidikan formalnya yang pertama di desanya.

Pada usia tiga belas tahun, sesudah terjadinya revolusi rakyat Mesir, Sayyid Qutb berangkat menuju Kairo untuk melanjutkan studi. Di sana, ia tinggal bersama pamannya, Ahmad Husayn Utsman, seorang wartawan.

Berkat pamannya ia berkenalan dengan seorang sastrawan besar yang dikemudian hari menjadi panutan dan banyak memengaruhi pemikirannya juga membawanya memasuki dunia politik dengan bergabung dalam Partai Wafd, Abbas Mahmud al-Aqqad.

Pada tahun 1930 beliau masuk sebagai mahasiswa Institut Dar al-Ulum setelah sebelumnya menyelesaikan tingkat Tsanawiyah di Tajhiziyah Dar al-Ulum. Sayyid Qutb lulus dari perguruan tersebut pada tahun 1933 dengan meraih Lc. dalam bidang sastra dan Diploma dalam bidang Tarbiyah.

Baca Juga:  Kisah Abidah al-Madaniyah, Seorang Budak yang Menjadi Ulama

Minat Sayyid Qutb terhadap sastra nampaknya merupakan pilihan tepat, karena lewat bidang inilah namanya mulai diperhitungkan sebagai penulis dan kritikus sastra. Bahkan, semasa duduk di bangku kuliah, ia banyak menulis puisi dan artikel di berbagai surat kabar. Bukunya yang pertama, Muhimmah al-Sya‘ir fi al-Hayah, mulanya adalah hasil ceramahnya semasa menjadi mahasiswa tingkat tiga.

Kecenderungan Sayyid Qutb untuk mengkaji al-Quran lebih dalam mulai tampak pada tahun empat puluhan. Mulanya Sayyid Qutb memberikan perhatian dengan menggunakan keahliannya di bidang sastra untuk mengetahui dan mengungkapkan keindahan bahasa al-Quran. Hasil kajiannya itu kemudian diterbitkan dalam dua bukunya al-Taswir al-Fanni fi al-Quran dan Masyahid al-Qiyamah fi al-Quran.

Dengan terbitnya dua buku ini, dapat dikatakan Qutb mulai melakukan pergeseran pemikiran dari yang semula pemikir bebas (hasil pengaruh al-‘Aqqad) menjadi pemikir yang cenderung pada bidang keagamaan. Ini merupakan langkah awalnya dalam menggeluti al-Quran dan Islam secara intensif.

Kritikan-kritikan yang dilontarkan Sayyid Qutb dalam tulisannya dibeberapa buku dan artikelnya yang ditulis di koran tentu membuat gerah pihak pemerintah. Merasa tidak nyaman dengan keberadaan Qutb dan tulisan-tulisannya yang penuh dengan kritikan, akhirnya mereka mengirim Qutb ke Amerika sebagai utusan kebudayaan untuk mempelajari sistem pendidikan di sana.

Baca Juga:  Badiuzzaman Said Nursi, Tokoh Pembaharu Islam Turki

Pengiriman Sayyid Qutb ke Amerika ini, menurut al-Khalidi, mempunyai tujuan ganda: melepaskan diri dari pengaruh Qutb serta merusak dan menyesatkannya dengan harapan sekembalinya dari Amerika ia akan menjadi manusia baru yang mengikuti sistem dan pemikiran Barat.

Sekembalinya dari Amerika, Qutb justru semakin kokoh membela Islam dan mengkritik pemerintah dan sistem Barat. Dengan mengamati langsung kehidupan di Amerika, Sayyid Qutb semakin meyakini Islam sebagai solusi dan ajaran terbaik. Di sisi lain, ia juga semakin mengetahui betapa ajaran dan sistem yang berasal dari Barat tidak dapat memberikan ketenangan, bahkan menyesatkan.

Sayyid Qutb memandang al-Ikhwan al-Muslimin merupakan wadah yang tepat untuk memuluskan jalan menuju apa yang ia cita-citakan. Qutb berharap, bergabungnya ia bersama al-Ikhwan al-Muslimin dapat mewujudkan keinginannya, yaitu suatu visi Islam sejati yang dipadu dengan niat dan kemampuan untuk membuat visi itu menjadi realitas praktis di Dunia.

Krisis politik yang terjadi di Mesir dan kekuasaan Inggris yang mencengkram, membuat tulisan dan ceramah Qutb lebih lantang dalam mengkritik dan lebih keras menyerukan slogan “Mesir untuk orang Mesir” yang telah dimulai sejak 1880 sebagai tanda perlawanan untuk menentang pihak luar, yaitu Eropa.

Baca Juga:  KH. Wahid Hasyim, Ulama, Politisi dan Aktivis yang Berwawasan Luas

Menjelang Revolusi 1952, hubungan Sayyid Qutb dengan para pemimpin pergerakan semisal Gamal Abd al-Nasser dan Muhammad Najib semakin erat. Kedudukan Sayyid Qutb ini membuatnya menjadi orang yang diperhitungkan.

Bahkan, rumahnya di al-Halwan menjadi tempat pertemuan para pemimpin pergerakan. Bahkan Muhammad Najib, pemimpin tertinggi Dewan Revolusi, meyebutnya sebagai Pencetus Revolusi, Pemimpin dari para Pemimpinnya, dan Ketua dari para Ketuanya.

Mohammad Mufid Muwaffaq