Pecihitam.org – Para ulama sepakat bahwa syarat sebuah hadis untuk dinilai sebagai hadis yang berasal dari Nabi Muhammad saw adalah intishalus sanad (bersambung sanad). Banyak hadis yang matan hadis tersebut adalah sahih namun dianggap bermasalah sanadnya. Saya sebutkan satu hadis yang matannya diterima, namun ditolak sanadnya.
Pertama, “Hadis tentang siapa yang mengenal dirinya maka sungguh ia mengenal tuhannya[1] saya kutipkan teks arabnya.
مَنْ عَرَفَ نَفْسَهُ فَقَدْ عَرَفَ رَبَّهُ، قَالَ: «مَنْ عَرَّفَ نَفْسَهُ لِرَبِّهِ عَرَّفَ رَبَّهُ لِنَفْسِهِ»
Artinya: barang siapa yang mengenal dirinya maka ia sungguh ia telah mengenal Tuhan-Nya, maksudnya “siapa yang mengenal Tuhan untuk tuhan-Nya maka ia mengenal tuhan-Nya untuk dirinya.
Sesuai pencarian saya di maktabah syamilah ungkapan tersebut tidak didapati di dalam kitab hadis manapun, baik kutub tis’ah maupun di luar kutub tis’ah. Karena itu bagi ulama hadis, itu dianggap bukan hadis karena tidak bisa dipertanggungjawabkan keotentikannya.
Ungkapan di atas memang tidak populer di kalangan ulama hadis, sebab para ulama hadis menganggap itu bukan hadis, ia hanyalah ungkapan hikmah yang memiliki makna yang dalam.
Bagi ulama hadis untuk menyebut itu sebagai hadis, salah satu syarat utamanya adalah intishalus sanad (bersambung sanadnya). Ungkapan tersebut populer di kalangan para ulama-ulama tarekat/tashawuf dan di kalangan para filusuf.
Ketika para ulama berbicara tentang ma’rifah terhadap Tuhan atau pengenalan terhadap Tuhan, maka ungkapan ini seringkali digunakan sebagai dalil.
Manusia adalah tajalli/pancaran tuhan di muka bumi, dan tajalli yang paling sempurna adalah manusia itu sendiri bila dibandingkan dengan makhluk-makhluk lainnya.
Bagi ulama Sufi, alam terkecil dari ciptaan tuhan adalah alam di luar diri manusia, sementara alam tebesar ciptaan tuhan adalah manusia itu sendiri.
Di luar diri kita ada api, angin, air, tanah. Misalnya, Angin membuat suasana menjadi sejuk. Api itu membakar barang-barang yang ada, Air melepaskan dahaga bila kita haus, tanah tempat kita berpijak, bercocok tanam. Manusia memiliki segala unsur tanah, api, angin, air, sementara tidak sebaliknya.
Hewan hanya memiliki nafsu tidak memiliki akal, malaikat tidak memiliki nafsu, sementara manusia memiliki nafsu dan akal. Karena itu, ulama sufi berpendapat bahwa alam terbesar ciptaan Allah adalah manusia. Tidak ada wadah di alam semesta yang mampu “menampung” Allah swt kecuali hati orang-orang mukmin. Begitu menurut sebuah riwayat.
Pembuktian tentang Tuhan, itu melalui beberapa pendekatan. Salah satunya adalah teori tentang kausalitas (hukum sebab akibat). Kita mengenal matahari melalui sinarnya. Matahari tidak akan “dikenali” tanpa melalui sinarnya.
Untuk mengenal Tuhan, maka kita mengenalnya melalui ciptaannya. Tidak mungkin kita ada tanpa ada yang mengadakan. Saya ada karena “diadakan” oleh ibuku, ibuku ada karena adanya nenekku dst.
Alam semesta dengan keteraturannya yang sedemikian teratur, begitu indah, tertata dengan rapih tidak mungkin teratur, tertata, rapih dengan sendirinya, pasti ada yang mengatur, menata dan merapikannya.
Lukisan alam semesta yang begitu indah, dan sangat menakjubkan tidak mungkin terjadi begitu saya. Pasti ada yang mendesain lukisan alam semesta yang indih ini. Begitu gambaran sederhana tentang teori kausalitas (hukum sebab akibat).
Orang tua biasa kita dulu biasa berkata bahwa, “sappai puangngu diwatakkalemu, aja musappai puangngu risaliwenna watakkalemu.” Bukankah seluruh alam yang diluar dari manusia, manusia memilikinya, maka buat apa mencari di luar kalau sudah ada dalam diri kita sendiri?
Teori kausalitas ini adalah teori sederhana dalam ma’rifah terhadap Tuhan, walaupun teori ini masih dianggap kurang sempurna. Sebab kita mempersepsi Tuhan melalui ciptaannya, bagi ulama sufi mereka ingin mengenal tuhannya bukan melalui bangunan konsepsi semata tetapi mereka ingin mengenal tuhan melalui penyaksian (ma’rifah syuhudi).
Seperti Jalaluddin Rumi ingin mengenal tuhan lewat penyaksian bukan melalui konsepsi. Imam al-Ghazali yang awal mengandrungi filsafat, kalam kemudian berpindah ke tasawuf sebab merasakan kekeringan spiritual, di tasawuf kemudian ia merasakan kehadiran tuhan bukan dengan konsepsi tetapi dengan kesaksian. Dari ushuli ke hudhuri, dari konsepsi ke penyaksian. Bersambung. Wallahu A’lam bis Shawab
[1] Abu Na’im Ahmad bin Abdullah, Hilyatul Auliya wa Thabaqa>t al-Ashfiya, Juz 10, H. 208.
- Anak Yatim, Mereka yang Sering Terlupakan - 02/05/2020
- Inilah Beberapa Pahala Memberi Buka Puasa di Bulan Ramadhan - 30/04/2020
- Khotbah Nabi Muhammad Saw Saat Memasuki Bulan Ramadhan - 27/04/2020