Larangan Menghina dan Memerangi Sesama Muslim: Kajian Kitab Mafahim Yajibu An Tushahha (Bag. III)

Menghina sesama muslim

Pecihitam.org– Melanjutkan kajian kitab Mafahim Yajibu An Tushahha yang mana pada dua bagian sebelumnya telah dibahas larangan memvonis kafir dan perbedaan antara Muhammad bin Abdul Wahhab dengan para pengikutnya perihal vonis kafir tersebut.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Maka pada kajian ketiga ini, akan diulas bagian lain dari kitab karya Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki yang berisi tentang Menghina Orang Islam Adalah Tindakan Fasik dan Memeranginya Adalah Tindakan Kufur

Daftar Pembahasan:

Larangan Menghina dan Memerangi Sesama Muslim

Ketahuilah bahwa membenci, memboikot dan berseberangan dengan kaum muslimin adalah haram. Memaki orang Islam adalah tindakan fasiq dan memeranginya adalah tindakan kufur jika menilai tindakan tersebut adalah halal.

Dari itu, jika hari ini kita dihadapkan dengan kondisi dengan fakta sebagian kaum muslimin berbeda dengan yang lainnya, termasuk dalam pilihan dan pandangan politik, jangan sampai ada caci maki.

Tidak boleh membenci, menghina sesama muslim. Jangan sampai saling menghujat karena perebedaan ini. Menuding muslim lainnya munafik, antek komunis.

Apalagi sampai mengancam dan merencanakan untuk mencelakai saudara seiman hanya karena sebagian kecil perebedaan, sementara dalam banyak hal yang lebih besar kita sepakat.

Ambillah Hikmah dari Kisah Berikut

Pada bagian ketiga dalam kitab Mafahim Yajibu An Tushahha, Sayyid Muhammad mengutup kisah mengenai Khalid bin Walid bersama pasukannya ketika menuju Bani Jadzimah untuk mengajak mereka masuk Islam cukup digunakan untuk menolak pemahaman harfiah (literal) yang mudah memaki sesama muslim.

Saat Khalid tiba di tempat mereka, lalu disambutnya. Kemudian Khalid mengeluarkan instruksi, “Peluklah agama Islam!”.

“Kami adalah kaum muslimin”, jawab mereka.

“Letakkan senjata kalian dan turunlah.” lanjut Khalid.

“Tidak, demi Allah. Karena setelah senjata diletakkan pasti ada pembunuhan. Kami tidak bisa mempercayai kamu dan orang-orang yang bersama kamu.” jawab mereka kembali.

Baca Juga:  Kitab Al Muhadzab Karya Imam Abu Ishaq Ibrahim al Syairazi

“Tidak ada perlindungan buat kalian kecuali jika kalian mau turun,” Kata Khalid.

Akhirnya sebagian kaum menuruti perintah Khalid dan sisanya tercerai berai.

Dalam riwayat lain redaksinya sebagai berikut:

Ketika Khalid tiba bertemu mereka, mereka menyambutnya. Lalu Khalid bertanya, “Siapakah kalian? Apakah kaum muslimin atau kaum kafir?”.

“Kami adalah kaum muslimin yang menjalankan sholat, membenarkan Muhammad, membangun masjid di tanah lapang kami dan mengumandangkan adzan di dalamnya.” Jawab mereka.

Dalam lafadz hadits, mereka tidak bisa mengucapkan Aslamna, akhirnya mereka mengatakan Shaba’na Shaba’na.

“Untuk apa senjata yang kalian bawa?, tanya Khalid.

“Ada permusuhan antara kami dan sebuah kaum Arab. Oleh karena itu kami khawatir kalian adalah mereka hingga kami pun membawa senjata.” Jawab mereka.

“Letakkan senjata kalian!” Perintah Khalid. Mereka pun mengikuti perintah Khalid untuk meletakkan senjata. “Menyerahlah kalian semua sebagai tawanan!” Lanjut Khalid.

Kemudian Khalid menyuruh sebagian dari kaum untuk mengikat sebagian yang lain dan membagikan mereka kepada pasukannya.

Ketika tiba waktu pagi, juru bicara Khalid berteriak : “Siapapun yang memiliki tawanan bunuhlah ia!”. Maka Banu Sulaim membunuh tawanan mereka. Namun kaum Muhajirin dan Anshor menolak perintah ini. Mereka malah melepaskan para tawanan.

Ketika tindakan Khalid ini sampai kepada Nabi saw., beliau berkata, “Ya Allah, saya tidak bertanggung jawab atas tindakan Khalid.” Beliau mengulang ucapan ini dua kali.

Ada pendapat yang menyatakan bahwa Khalid mengira mereka mengatakan shaba’na shaba’na dengan angkuh dan menolak tunduk kepada Islam.

Hanya saja yang disesalkan Rasulullah saw. adalah ketergesa-gesaan dan ketidakhati-hatiannya dalam menangani kasus ini sebelum mengetahui terlebih dulu apa yang dimaksud dengan shaba’na shaba’na.

Nabi saw. sendiri pernah mengatakan: “Sebaik-baik hamba Allah adalah saudara kabilah Qurays; Khalid ibn Walid, salah satu pedang Allah yang terhunus untuk menghancurkan orang-orang kafir dan munafik”.

Baca Juga:  Kitab Mukhtashar Al Muzani Karya Yahya Al Muzani Murid Imam Syafii

Persis seperti apa yang dialami Khalid adalah peristiwa yang menimpa Usamah ibn Zaid kekasih dan putra kekasih Rasulullah saw. berdasarkan hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari dari Abi Dzibyan.

Abi Dzibyan berkata, “Saya mendengar Usamah ibn Zaid berkata, “Rasulullah saw. mengirim kami ke desa al-Huraqah. Kemudian kami menyerang mereka di waktu pagi dan berhasil mengalahkan mereka. Saya dan seorang laki-laki Anshar mengejar seorang laki-laki Bani Dzibyan.”

Ketika kami berdua telah mengepungnya tiba-tiba ia berkata, “La Ilaha illallah”. Ucapan laki-laki ini membuat temanku orang Anshar mengurungkan niat untuk membunuhnya namun saya menikamnya dan diapun mati.

Ketika kami tiba kembali di Madinah, Nabi saw. telah mendengar informasi tentang tindakan pembunuhan yang saya lakukan.

Beliau saw. pun berkata, “Wahai Usamah! Mengapa engkau membunuhnya setelah dia mengatakan La Ilaha illallah?”.

“Dia hanya berpura-pura,” Jawabku. Nabi mengucapkan pertanyaannya berulang-ulang sampai-sampai saya berharap baru masuk Islam pada hari tersebut.

Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Rasulullah saw. berkata kepada Usamah, “Mengapa tidak engkau robek saja hatinya agar kamu tahu apakah dia sungguh-sungguh atau berpura-pura?”.

“Saya tidak akan pernah lagi membunuh siapapun yang bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah”. Kata Usamah.

Sayyidina Ali ra. pernah ditanya mengenai kelompok-kelompok yang menentangnya, “Apakah mereka kafir?”. “Tidak,” jawab Ali,

“Mereka adalah orang-orang yang menjauhi kekufuran”. “Apakah mereka kaum munafik?”.

“Bukan, orang-orang munafik hanya sekelebat mengingat Allah sedang mereka banyak mengingat Allah”.

“Terus siapakah mereka?” Ali kembali ditanya. “Mereka adalah kaum yang terkena fitnah yang mengakibatkan mereka buta dan tuli”, jawab Ali.

Baca Juga:  Kitab Shahih Bukhari Karangan Imam Al Bukhari

Kesimpulan

Begitulah, agama ini dengan keras melarang menghina apalagi memerangi sesama muslim.

Rasul pernah menyampaikan pesan berikut dengan lantang di atas mimbar

دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ حَرَامٌ عَلَيْكُمْ، كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا فِي شَهْرِكُمْ هَذَا، فِي بَلَدِكُمْ هَذَا

Sesungguhnya darah dan harta kalian, haram bagi sesama kalian. Sebagaimana haramnya hari ini, haramnya bulan ini di negeri kalian ini. (HR. Muslim)

Sikap keahtian-hatian Nabi yang diajarkan kepada para sahabat untuk senantiasa menjaga darah dan nyawa orang yang sudah bersahadat walupun terkesan ada indikasi modus.

Juga bijkanya sikap Ali bin Abu Thalib dalam menyikapi sebagian kaum muslimin yang agak menyimpang dengan tidak menjustnya munafik apalagi kafir.

Semua itu mesti kita teladani. Karena Nabi, juga Ali bin Abi Thalib merupakan uswah dan qudwah bagi kita hari ini.

Semoga gejolak yang ada serta perbedaan pendapat dalam hal apa pun tidak menggoyahkan persatuan kita kaum muslimin.

مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِي تَوَادِّهِمْ، وَتَعَاطُفِهِمْ، وَتَرَاحُمِهِمْ، مَثَلُ الْجَسَدِ، إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى

“Perumpamaan kaum mukmin dalam sikap saling mencintai, mengasihi dan menyayangi, seumpama tubuh, jika satu anggota tubuh sakit, maka anggota tubuh lain akan susah tidur atau merasakan demam” (HR. Muslim)

Faisol Abdurrahman