PeciHitam.org – Kabupaten Purworejo memiliki beberapa pesantren besar yang masing-masing memiliki sejarah panjang dalam menyebarkan ajaran Islam. Salah satunya ialah Pondok Pesantren Al-Iman Purworejo.
Sebelumnya, pesantren ini dinamai Pesantren Al-Islamiyah yang pertama kali didirikan oleh seorang guru dari Mbah Sholeh Darat Semarang, yaitu Mbah Ahmad Alim. Mbah Alim bahkan sudah merintis pesantren ini, jauh sebelum adanya Kabupaten Purworejo.
Makamnya berada di Desa Bulus, Purworejo. Mbah Ahmad Alim pertama kali datang membuka hutan belantara untuk dijadikan pesantren. Datangnya Mbah Ahmad Alim disebabkan karena dibuang oleh pihak Belanda.
Dengan dibukanya hutan belantara ini akhirnya daerah ini pun menjadi hunian masyarakat. Mbah Alim seringkali menjumpai hewan bernama Bulus sehingga dinamakan Desa Bulus sekitar abad 18-19.
Mbah Ahmad Alim masyhur sebagai seorang sufi yang masih keturunan Sunan Gresik, Jawa Timur. Kepemimpinan Mbah Ahmad Alim dalam memajukan pesantrennya membuat masyarakat semakin banyak untuk berguru padanya.
Setelah Mbah Kyai Ahmad Alim wafat, kepemimpinan pesantren tersebut diteruskan oleh salah satu menantunya, yaitu Raden Sayyid Ali. Beliau dipilih karena kedalaman ilmu yang dimilikinya. Selain itu, nasabnya yang mulia juga merupakan salah satu pertimbangan.
Putra-putra Mbah Alim pada masa Pangeran Diponegoro, tepatnya sekitar abad ke-18 pindah dari Bulus dan mendirikan sebuah pesantren yang bernama Pondok Pesantren Maron, Solotiang, dan Pondok Pesantren Al-Anwar Purworejo.
Setelah Sayyid Ali, kepemimpinan pesantren Al-Iman kemudian dilanjutkan oleh anaknya, yaitu Sayyid Muhammad. Kemudian diteruskan oleh Sayyid Dahlan. Kepemimpinan Kyai Sayyid Dahlan berakhir sekitar tahun 1935.
Setelah itu pondok pesantren al-Iman sempat vakum. Hal ini disebabkan karena pindahnya pengasuh pesantren ini ke daerah Kauman, yaitu dekat masjid Jami’ Purworejo.
Kepindahan ini merupakan permintaan dari Bupati Cokronegera untuk dinobatkan menjadi imam dan kyai di Kauman. Masjid Jami’ Purworejo saat itu mengalami kekosongan. Sehingga mau tidak mau, atas permohonan sang Bupati maka dilaksanakanlah.
Namun berdampak negative pada pesantrennya sendiri. Setelah lama vakum, pesantren ini tidak memiliki aktivitas. Akhirnya setelah tugasnya selesai, beliau kembali ke Pesantren al-Iman, dan membangun serta menggerakkan kembali, dengan bantuan Khadratul Walid sekitar tahun 1955.
Khadratul Walid merupakan bapak dari KH Hasan Agil Ba’bud yang sekarang menjadi pengasuh pesantren tersebut. Bersamaan dengan itu, pesantren yang dulunya bernama al-Islamiyah kemudian diganti namanya menjadi al-Iman.
Hal ini sesuai dengan latar belakang beliau yang notabenenya dulu Khadratul Walid, pernah belajar pada Ustadz Segaf Al-Jufry di Magelang yang memiliki madrasah bernama al-Iman. Nama inilah yang menginspirasi Khadratul Walid.
Singkat cerita, setelah masa kepemimpinan Khadratul Walid, pesantren ini dilanjutkan oleh Sayyid Agil, adik dari Khadratul Walid. Setelah dibangun oleh Khadratul Walid itulah, mulai berdiri madrasah model klasikal, model formal namun tetap mempertahankan konsep diniyahnya.
Kurikulum yang diterapkan dalam madrasah ini mengkolaborasikan antara keilmuan klasik (salaf) dan modern (khalaf). Ditandai dengan dimasukkannya pelajaran umum, seperti bahasa Inggris, Indonesia.
Meski telah ditambah dengan kurikulum modern, namun soal mata pelajaran khas pesantren, tetap dipertahankan demi menjaga traidisi ala pendidikan salaf. Kegiatan di pesantren ini dimulai pada Adzan Subuh, para santri sudah bersiap untuk berjamaah di Masjid Pesantren. Barulah setelah jamaah shubuh, pengajian dimulai.
Kegiatannya meliputi hafalan al-Quran bagi tingkat Tsanawiyah. Sementara santri yang lebih senior mengaji kitab dengan tata cara bandongan. Adapun para santri senior juga mengaji kitab-kitab induk, seperti Bukhari, Muslim, dan Ihya Ulumuddin.
Pada setiap malam Jumat, dilaksanakan kegiatan pembacaan shalawat al-Barzanji. Selain itu, focus utama yang diajarkan di Pesantren al-Iman tertitik pada al-Quran dan Nahwu Sharaf.
Fokus kajian ini bukan tanpa alasan, sebab jika santri sudah tahu nahwu dan sharaf, maka dia bisa memahami kitab. Sedangkan al-Quran merupakan pegangan yang paling utama dalam agama Islam. Sekarang ini, Pondok Pesantren al-Iman memiliki kurang lebih seribu santri.