Perginya Sang Pejuang Pendidikan

Perginya Sang Pejuang Pendidikan prof malik fadjar

Pecihitam.org – Tak hanya warga Muhammadiyah yang merasakan kehilangannya, tetapi seluruh rakyat Indonesia merasa kehilangan putera terbaiknya. Ia sosok pendidik sejati, pengalamannya di dunia pendidikan tak diragukan. Tulisan-tulisan nya akan menjadi rujukan hingga saat ini

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Saya pertama mengenalnya lewat buku. Penulis terpesona salah satu tulisannya Pendidikan sebagai Praksis Pembangunan Bangsa. Ia lugas dalam menulis dan mudah dimengerti isi kontennya. Pemikiran sangat reflektif dalam soal pendidikan.

Penikmatnya sangat memikat hati penulis selayaknya berterima kasih kepada Prof. H.A Malik Fadjar seorang cendekiawan muslim yang dimiliki Indonesia.

Sebagai generasi saat ini- praktis saya tak mengenal beliau secara langsung. Tetapi, banyak tokoh-tokoh Muhammadiyah yang saya kenal melalui dosen ketika kuliah s-1 Prof. Amin Abdullah. Tokoh-tokoh itu diantaranya, Buya Syafii Maarif, Munir Mulkhan, Din Syamsudin, termasuk Prof. H.A Malik Fadjar.

Memiliki nama lengkap Abdul Malik (nama sejak kecil). Dilahirkan di Yogyakarta 22 Februari 1939, ayahnya bernama Fadjar Martodiharjo dan ibunya bernama Hj. Salamah Fadjar.

A. Malik Fadjar yang biasa dipanggil “Malik” tumbuh dan berkembang di tengah-tengah keluarga terdidik (Educational Village Family).

Ayahnya serorang guru Agama. Sehingga dari sang ayahnya banyak belajar ilmu agama dan keagamaan. Salah satu ajaran penting ditransmisikan oleh ayahnya kepada semua anak-anaknya adalah percaya diri dan keberanian diri.

“Ayah memang banyak membentuk pribadi saya, tiga hal yang secara penuh saya warisi dari ayah yaitu komitmen pada dunia pendidikan, kesederhanaan dan kepedulian sanak saudara. Sedang Ibu, karena keturunan ningrat, banyak membentuk saya dalam bidang tata krama dan sopan santun”. Ujar Prof. Malik Fadjar dalam buku Darah Guru dakwah Muhammadiyah, Perjalanan Hidup Abdul Malik Fadjar.

Kepribadian Abdul Malik Fadjar tidak jauh dari ayahnya, Fadjar Martodijarjo. Sederhana, memiliki kepedulian terhadap saudara dan komitmen terhadap pendidikan.

Baca Juga:  AGH Muhammad Harisah AS, Ulama Kharismatik Pendiri Pesantren An-Nahdlah Makassar

Hal demikian terbentuk melalui proses internalisasi nilai yang intens. Fadjar Martodiharjo tidak hanya memerintahkan anaknya, tidak hanya menegur kalau anaknya bersalah, tetapi berbuat untuk memberi teladan.

Hal ini dikarenakan, ayahnya merupakan pribadi “Liberal” yang dalam arti lebih banyak menampilkan “Tutwuri” yaitu mendorong lahirnya sikap percaya diri dan keberanian diri yang semuanya berpangkal kepada iman.

Nilai religiusitas dan humanitas dari ayahnya yang ternyata mengakar kuat dalam diri pribadi A. Malik Fadjar sehingga dalam situasi dan kondisi apapun.

Tidak berlebihan jika sosok Prof Abdul Malik Fadjar adalah pribadi pejuang pengabdi yang penuh cita dan mimpi-mimpinya, khusus di bidang pengembangan pendidikan.

Karir pendidikan dia ukir di Kota Malang, beliau menempuh di Fakultas Tarbiyah Cabang Sunan Ampel Surabaya (Kini telah menjadi UIN Malang) serta lulusan Master Of Science di Florida State University Amerika Serikat

Ia memperoleh gelar sebagai Guru Besar (Profesor) dari Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel (Sekarang UIN Malang) dan pada tahun 1995 memperoleh gelar Doktor Honoris Causa dalam bidang pendidikan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2001.

Sebagai aktifis organisasi sejumlah organisasi pun pernah digeluti, mulai dari Pelajar Islam Indonesia (PII) Badan Kontak Siswa Kementerian Agama (BKSKA dan Kepanduan Islam.

Baca Juga:  Menghindari Sifat Sombong ala Syaikh Hamdun Al-Qashshar

Berlatar sebagai aktivis Islam modern pada saat bersamaan ia mengenal Masyumi. Pada saat itulah sang ayah memang menjabat sebagai ketua Masyumi Cabang Mertoyudan.

Disinilah mulai banyak mengenal tokoh-tokoh politik mengenal perilaku mereka, mengenal pemikirannya. Beliau mengagumi tokoh-tokoh Masyumi seperti Natsir, Sukiman, Prawoto, dan Roem. Yang membekas dalam hati. Dari tokoh tersebut melandasi hidupnya dengan kejujuran. Mencurahkan hidupnya benar-benar untuk perjuangan.

Sebagai aktifis ulung, Prof Malik Fadjar dalam dunia mahasiswa menjadi anggota HMI. Visi yang selaras yang diusung organisasi mahasiswa tersebut diyakini selalu mengusung plurasime, baik pemahaman maupun aplikasinya, geografi cultural, social dan ekonomi serta agama. HMI sebagai organisasi kemahasiswa sejak awal memplokmirkan organisasi independent, bebas dari ideologi keagamaan dan kesukuan.

Tokoh teras HMI seperti Nurcholis Madjid, Dawan Raharjo, Djohan Effendy, Ahmad Wahib, Fahmi Idris, Ismail Hasan Materium, Mari’e Muhammad menjadi kawan sejawatnya. 

Segudang pengalaman telah ia jalani. Entah itu pengalaman akademik dan pengalaman organisasi, karirnya-pun sangat beragam. Pernah menjadi guru sejak dari lulus PGAPN yaitu guru di Taliwang Sumbawa Besar pada tahun 1959. Baginya menjadi guru memberi kesen tersendiri, perkerjaan guru sebuah komitmen. 

Jejak karir dari bawah Prof. Malik Fadjar berlanjut dipercaya menjadi Dekan FISIP Universitas Muhammadiyah Malang (Unmuh Malang) tahun 1983. Dan akhirnya dipercaya menjabat Rektor Universitas Muhamadiyah Malang. Berkat tanggan dingin, kita bisa merasakan pengembangan kampus tersebut menjadi salah satu perguruan tinggi swasta yang terbaik.

Baca Juga:  Biografi Imam Jalaluddin Al Mahalli Pengarang Tafsir Jalallain

Dengan banyaknya jabatan mentereng sempat memimpin Depatermen Agama pada Presiden B.J. Habibie. Kemudian dipercaya kembali menjadi Menteri Pendidikan Nasional pada masa pemerintaan Presiden Megawati Soekarno Putri tahun 2001-2004.

Selama menjabat Depdiknas banyak hal yang dilakukanya. Mulai mengadakan otonomi pendidikan, merubah beberapa status perguruan tinggi negeri (PTN) menjadi badan Hukum Milik Negara (BHMN), menaikan tujungan fungsional guru 100-150 persen, mengesahkan berubahnya IAIN menjadi UIN dan mengesahkan undang-udang No. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional. Dan sempat duduk sebagai anggota pertimbangan presiden periode 2015-2019. 

Di masa tuanya, Prof. Malik Fadjar pun masih tetap aktif menguji mahasiswa S2 dan S3 di kampus almamaternya. Namun, sesekali masih aktif menulis dan mengisi berbagai seminar di perguruan tinggi.

Hari-hari setelah itu, berharap tak ada berita lebih buruk tentang Prof. Malik Fadjar. Tetapi kabar duka itu datang. Memang Tuhan mempunyai rencana lain. Kita semuanya kehilangan tokoh pendidikan itu. Terimakasih atas segala perjuanganmu Prof. Malik Fadjar. Selamat Jalan.


Penulis: Athoilah Najamudin (Mahasiswa Antropologi Pascasarjana UGM, Pengurus Pondok Pesantren Al-Kandiyas)
Editor: Baldan

Redaksi