Pecihitam.org – Sunnah dan Bid’ah adalah dua hal yang selalu diperbincangkan bahkan menjadi polemik dalam tubuh umat Islam. Tidak jarang antara kelompok satu dengan yang lainnya terjadi hujjah menghujjah untuk mempertahankan suatu yang dilakukan itu tergolong dalam kategori Sunnah atau Bid’ah.
Polemik tentang sunnah dan bid’ah muncul disebabkan oleh faktor ghirah (semangat) ingin meneladani sunnah Nabi Muhammad saw pada semua aspek kehidupan. Ghirah ini lahir dari rasa cinta sebagai manifestasi keimanan kepada Nabi Muhammad saw.
Ghirah yang sangat positif tentunya dan harus dipupuk dan dirawat sampai ajal menjemput. Mudah-mudahan menjadi washilah (sarana) mendapatkan barakah dan syafa’at dari Rasulullah Muhammad saw.
Sempitnya Pemahaman
Sunnah dan bid’ah menjadi masalah yang cukup sering kita dengar setelah munculnya paham Wahabi di kalangan umat Islam pada abad ke-19 bahkan sampai berbuntut panjang hingga saat ini.
Berawal dari sempitnya pemahaman kalangan wahabi dalam memaknai bid’ah, yaitu segala sesuatu yang tidak dilakukan oleh Nabi Muhammad saw. Apa yang dilakukan Nabi saw itu Sunnah, sebaliknya perbuatan yang tidak pernah dikerjakan Nabi saw, adalah bid’ah. Kemudian berlanjut, pelaku bid’ah dianggap sesat (dhalal) dan orang yang sesat tempatnya di neraka.
Sempitnya pemahaman wahabi ini memicu sikap saling membid’ahkan termasuk sesama mereka sendiri. Apalagi kepada umat di luar wahabi. Mereka punya “dalil” untuk menyesatkan dan mengkafirkan umat atau kelompok lain yang sebenarnya hanya untuk mengunggulkan golongan mereka sendiri dan merasa paling benar.
Secara sosiologi agama, pemahaman ini secara tidak langsung telah menanam benih konflik di tengah masyarakat yang majemuk. Ghirah mengikuti sunnah Nabi Muhammad saw tidak diimbangi dengan kesungguhan dalam memahami sunnah Nabi saw secara mendalam. Hal ini jelas mencerminkan ketidakjujuran ghirah itu sendiri.
Ada syahwat lain yang tersembunyi di baliknya. Ketidakseriusan memahami makna bid’ah kemudian ditutupi oleh jargon kembali kepada Al Qur’an dan sunnah. Padahal Al Qur’an dan sunnah bisa diamalkan setelah dijelaskan maksudnya, dirinci maknanya, di-taqyid ke-mutlaq-annya, di-takhshish keumumannya, dll. Intinya al Quran dan Sunnah ttidak bisa ditelan mentah-mentah untuk memahaminya.
Dengan menyederhanakan makna bid’ah yang sangat tercela sebagai lawan dari sunnah, kaum wahabi mengalihkan makna syar’i sunnah menjadi fardhu. Akhirnya dalam paradigma kaum wahabi, hukum syara’ hanya ada dua kategori sunnah (fardhu, sunnat dan mubah) dan bid’ah (makruh dan haram).
Tentang Perbuatan Nabi Saw
Pebuatan Nabi saw jadi dasar penuh oleh wahabi dalam menetapkan suatu amaliyah apakah termasuk sunnah atau bid’ah. Penetapan secara mutlaq dan umum membuat sunnah dan bid’ah menjadi kabur dan susah diamalkan, sebab tidak semua perbuatan Nabi saw boleh diikuti mengingat status dan peran beliau Saw.
Secara umum ada 2 peran dalam diri Nabi saw yaitu sebagai pribadi manusia dan sebagai Nabi pembawa syariat.
Pertama, perbuatan Muhammad saw sebagai manusia dan Nabi saw memiliki konsekuensi hukum bagi umatnya. Apakah wajib, sunnah, mubah, makruh atau haram. Sebagai manusia, Muhammad saw melakukan perbuatan, berjalan, makan, minum, duduk, berbicara, senyum, marah, berpakaian, berkendaraan, dll. Perbuatan Nabi saw sebagai manusia disebut jibiliyah. Hukum asal perbuatan jibiliyah Nabi saw mubah bagi umatnya.
Kedua, perbuatan Muhammad saw sebagai Nabi dan Rasul Allah, ada yang khusus untuk Beliau saw dan tidak mungkin bisa dilakukan oleh umatnya berupa mukjizat, Isra Mi’raj, mengucurkan air dari jari tangan, dll.
Selain itu ada perbuatan khusus untuk Beliau saw namun haram untuk umatnya, seperti poligami lebih dari empat dan puasa wishal. Ada perbuatan Nabi saw yang wajib bagi dirinya tapi sunnah bagi umatnya seperti shalat tahajjud.
Ada lagi perbuatan Nabi saw yang haram bagi dirinya tapi halal bagi umatnya seperti menerima sedekah dan meninggalkan harta warisan. Bahkan ada perbuatan yang tidak dilakukan Nabi saw tapi justru banyak dilakukan umatnya yaitu baca tulis.
Dengan demikian, melihat fakta-fakta perbuatan Nabi Muhammad saw tersebut, mencegah kita dari memahami sunnah dengan syahwat sendiri sesuai selera seperti yang dilakukan kaum wahabi. Sunnah Nabi saw harus dipahami menurut kerangka berpikir tasyri’i. Dalam hal ini Ushul Fiqih. Sehingga pengaitan perbuatan Nabi saw dengan perbuatan umatnya bisa dilakukan secara akurat mana yang sunnah dan mana yang bid’ah.