Sejarah Lengkap Sunan Ampel dalam Perjalanan Dakwah Islam

sejarah sunan ampel

Pecihitam.org – Mempelajari lebih dalam lagi sejarah Sunan Ampel tentunya sangat menarik untuk kita teladani. Karena beliau adalah putra dari Syaikh Ibrahim as-Samarkandi adalah tokoh Wali Songo tertua yang berperan besar dalam pengembangan dakwah Islam di Jawa dan tempat lain di Nusantara.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Melalui Pesantren Ampeldenta, Sunan Ampel atau yang biasa disebut Raden Rahmat telah mendidik kader-kader penggerak dakwah Islam seperti Sunan Giri, Raden Patah, Raden Kusen, Sunan Bonang, dan Sunan Drajat.

Dengan cara menikahkan juru dakwah Islam dengan putri-putri penguasa bawahan Majapahit, Sunan Ampel membentuk keluarga-keluarga muslim dalam suatu jaringan kekerabatan yang menjadi cikal bakal dakwah Islam di berbagai daerah.

Sunan Ampel sendiri menikahi putri Arya Teja, Bupati Tuban, yang juga cucu Arya Lembu Sura Raja Surabaya yang muslim. Jejak dakwah Sunan Ampel tidak hanya di Surabaya dan ibu kota Majapahit, melainkan meluas sampai ke daerah Sukadana di Kalimantan.

Menurut Lembaga Riset Islam Pesantren Luhur Sunan Giri Malang dalam Sejarah dan Dakwah Islamiyah Sunan Giri (1975), Imam Rahmatullah bersama ayahnya datang ke Jawa dengan tujuan dakwah Islamiyah disertai saudaranya yang bernama Ali Murtadho dan kawannya bernama Abu Hurairah putra Raja Champa.

Mereka mendarat di Tuban. Setelah tinggal di Tuban beberapa lama sampai ayahnya wafat, imam Rahmatullah berangkat ke Majapahit menemui bibinya yang di kawin Raja Majapahit yang masih beragama Budha.

Sementara itu, menurut Djajadiningrat dalam Sejarah Banten (1983) dikisahkan bahwa Raden Rahmat ketika dewasa mendengar tentang peperangan di Jawa. Dengan tiga orang pandhita muda (ulama muda) lainnya, Burereh, Seh Salim, dan saudaranya yang tak disebut namanya, kemudian Raden Rahmat berangkat ke Jawa. Setelah empat orang tadi berangkat ke Jawa, Champa diruntuhkan oleh seorang kafir dari Sanggora.

Kedatangan Sunan Ampel ke Majapahit diperkirakan terjadi awal dasawarsa keempat abad ke-15, yakni saat Arya Damar (Ario Abdillah) sudah menjadi Adipati Palembang sebagaimana riwayat yang menyatakan bahwa sebelum ke Jawa, Raden Rahmat telah singgah di Palembang.

Dalam perjalanan menuju Ampel, dikisahkan Raden Rahmat melewati daerah Pari, Kriyan, Wonokromo, dan Kembang Kuning yang berupa hutan. Di tempat itu, Raden Rahmat bertemu dengan Ki Wiryo Saroyo -menurut sumber lain Ki Wirajaya- yang dikenal sebagai Ki Bang Kuning yang kemudian menjadi pengikut Raden Rahmat.

Menurut Babad Tanah Jawi, yang menceritakan sejarah Sunan Ampel, sewaktu tinggal di kediaman Ki Bang Kuning, Raden Rahmat menikah dengan putri Ki Bang Kuning yang bernama Mas Karimah. Dari pernikahan itu lahir dua orang putri yaitu, Mas Murtosiyah dan Mas Murtosimah.

Selama tinggal di kediaman Ki Bang Kuning, raden Rahmat dikisahkan membangun masjid dan menyebarkan dakwah Islam kepada masyarakat sekitar.

Demikianlah, Ki Bang Kuning yang menjadi mertua Raden Rahmat itu ikut serta mengembangkan dakwah Islam di sekitar kediamannya, terutama melalui masjid yang dibangun menantunya.

Oleh karena Ki Bang Kuning memiliki putri bernama Mas Karimah, maka ia dikenal juga dengan sebutan Mbah Karimah, bermakna ‘bapaknya si Karimah’. Dengan nama itu, ia lebih dikenal masyarakat sekitar sebagai sesepuh desa, sehingga saat wafat makamnya dijadikan peziarahan oleh umat Islam.

Baca Juga:  Ibrahim Al-Khawwash, Kisah Waliyullah; Karomah Dan Kalam Hikmahnya

Menurut Serat Walisana, Raja Majapahit tidak langsung mengangkat Raden Rahmat di Ampeldenta, melainkan menyerahkannya kepada Adipati Surabaya bawahan Majapahit bernama Arya Lembusura, yang beragama Islam.

Arya Lembusura dikisahkan menempati Raden Santri Ali menjadi imam di Gresik dengan gelar Raja Pandhita Agung dengan nama Ali Murtala (Ali Murtadho).

Setelah itu, Arya Lembusura menempatkan Raden Rahmat sebagai imam di Surabaya, berkediaman di Ampeldenta dengan gelar Sunan Ampeldenta, dengan nama Pangeran Katib. Bahkan, dikisahkan Raden Rahmat menikah dengan Nyai Ageng Manila, putri Arya Teja dari Tuban.

Menurut Sedjarah Dalem, Arya Teja dari Tuban menikahi putri Arya Lembusura dan menurunkan bupati-bupati Tuban. Itu berarti, Nyai Ageng Manila yang dinikahi Raden Rahmat itu adalah cucu perempuan Arya Lembusura.

Oleh karena terhitung cucu menantu Arya Lembusura, maka pada saat Arya Lembusura mangkat, Raden Rahmat menggantikan kedudukannya sebagai penguasa Surabaya, sebagaimana dikisahkan sumber-sumber tertulis seperti Sedjarah Regent Soerabaja yang mencatat bahwa Raden Rahmat adalah bupati pertama Surabaya.

Gerakan Dakwah Sunan Ampel

Berdakwah adalah tugas setiap muslim seusai sabda Nabi Muhammad Saw, “Sampaikan apa yang bersumber dariku walaupun satu ayat”. Itu sebabnya, tidak peduli apakah seorang muslim berkedudukan sebagai pedagang, tukang, petani, nelayan, pejabat, atau raja sekalipun memiliki kewajiban utama untuk menyampaikan kebenaran Islam kepada siapa saja dan dimana saja.

Dalam catatan sejarah Sunan Ampel, beliau diketahui sebagai tokoh yang menjalankan amanat agama itu dengan sangat baik melalui prinsip dakwah maw’idhatul hasanah wa mujadalah billati hiya ahsan.

Sebagaimana dicontohkan oleh Nabi Muhammad Saw, usaha dakwah yang dilakukan Raden Rahmat adalah membentuk jaringan kekerabatan melalui perkawinan-perkawinan para penyebar Islam dengan putri-putri penguasa bawahan Majapahit. Dengan cara itu, ikatan kekeluargaan di antara umat Islam menjadi kuat.

Dalam Sedjarah Dalem, disebutkan bahwa putri Arya Lembu Sura menikah dengan penguasa Tuban, Arya Teja, dan menurunkan bupati-bupati Tuban. Disebutkan pula bahwa putri Arya Lembusura yang lain bernama Retna Panjawi menikah dengan Prabu Brawijaya dari Majapahit. Lewat tokoh Prabu Brawijaya yang juga menikahi bibi Raden Rahmat, hubungan dengan Arya Lembusura terjalin.

Itu sebabnya, setelah Prabu Brawijaya menyerahkan Raden Rahmat kepada penguasa Surabaya beragama Islam, Arya Lembu Sura, dia tidak saja mengangkatnya menjadi imam di Ampel tetapi menikahkannya pula dengan Nyai Ageng Manila, putri penguasa Tuban, Arya Teja, yaitu menantu Arya Lembusura.

Demikianlah, Raden Rahmat memiliki hubungan kekerabatan dengan penguasa Tuban, Arya Teja sekaligus dengan penguasa Surabaya, Arya Lembusura.

Lewat hubungan kekerabatan dengan penguasa Surabaya, Arya Lembusura itulah yang pada gilirannya membawa Raden Rahmat pada kedudukan sebagai bupati, penguasa Surabaya, menggantikan kedudukan Arya Lembusura.

Dengan kedudukan sebagai bupati yang berkuasa disuatu wilayah, gerakan dakwah yang dilakukan Raden Rahmat lebih leluasa, terutama dalam usaha memperkuat jaringan kekerabatan dengan penguasa-penguasa di wilayah lain.

Dalam upaya memperkuat kekerabatan untuk tujuan berdakwah, Raden Rahmat menikahkan Khalifah Usen dengan putri Arya Baribin, Adipati Madura.

Dalam Babad Tanah Jawi digambarkan bahwa selain mangajari murid-muridnya membaca al-Qur’an, Raden Rahmat juga mengajari mereka kitab-kitab tentang ilmu syariat, tarekat, dan ilmu hakikat, baik lafad maupun makna. Raden Rahmat dikisahkan mencontohkan kehidupan yang zuhud dengan melakukan riyadhah ketat.

Baca Juga:  Bid'ah Dan Ghuluw Saat Wafatnya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah

Berdasarkan sumber-sumber historiografi, dapat disimpulkan bahwa Raden Rahmat (Sunan Ampel), selain mengajarkan ilmu syariat juga mengajarkan tarekat dan hakikat, yang dalam Babad Tanah Jawi naskah Drajat mengajarkan ilmu tasawuf dengan laku suluk menurut ajaran tarekat Naqsyabandiyah.

Dengan mengajarkan ilmu tasawuf, Raden Rahmat saat itu dianggap sederajat dengan para guru suci Syiwais yang berwenang melakukan diksha (baiat) yang diberi sebutan kehormatan susuhunan atau sunan.

Usaha dakwah Islam Raden Rahmat yang persuasif dengan pendekatan kekeluargaan dan penuh empati, tidak praktis bisa diterima oleh masyarakat yang didakwahi. Babad Tanah Jawi, misal, menuturkan bagaimana penguasa Madura bernama Lembu Peteng mengusir dua orang ulama utusan Sunan Ampel, Khalifah Usen dan Syaikh Ishaq.

Bahkan, tak cukup mengusir kedua utusan itu, Lembu Peteng dikisahkan telah datang ke Ampeldenta, menyamar dan berbaur dengan santri. Saat shalat isya’ akan dimulai, Lembu Peteng bersembunyi di kulah, tempat wudhu.

Sewaktu melihat Sunan Ampel, ia mendekat dan menikamkan sebilah keris yang sudah dihunus. Namun, usaha itu gagal, dan Lembu Peteng dikisahkan mau memeluk Islam setelah peristiwa itu.

Dalam menjalankan ajaran Islam berupa Shalat, Sunan Ampel juga mendapat tantangan karena shalat dengan gerakan-gerakan ritualnya dianggap aneh. Dalam Babad Tanah Jawi digambarkan bagaimana orang-orang menertawakan Sunan Ampel karena melakukan ibadah shalat yang dianggap aneh.

Namun, dalam sejarah Sunan Ampel dikisahkan sangat sabar mengahdapi semua celaan. Bahkan, saat dicela karena memilih-milih makanan -menolak makan babi dan katak tetapi memilih makan daging kambing yang apak- Sunan Ampel dituturkan tetap sabar dan tidak marah.

Pengaruh Champa

Dalam historiografi dan cerita-cerita legenda Jawa, tokoh Raden Rahmat yang masyhur disebut Sunan Ampel berasal dari negeri Champa. Sebab, jejak tradisi keagamaan Champa muslim sampai saat ini terlihat pada tradisi keagamaan yang dijalankan masyarakat muslim tradisional di pesisir utara Jawa yang menjadi wilayah dakwah Sunan Ampel.

Setelah datangnya para penyebar Islam Champa yang dipelopori Sunan Ampel, penduduk Majapahit mulai mengenal tradisi kagamaan “kenduri” dan memperingati kematian seseorang pada hari ke-3, ke-7, ke-40, ke-100, dan ke-1000, yang jelas-jelas merupakan tradisi keagamaan yang dibawa kaum muslim Champa. Yang mana, orang-orang Champa muslim memiliki kebiasaan memperingati kematian seseorang pada hari-hari tersebut.

Orang-orang Champa juga punya kebiasaan untuk men-talqin orang mati, melakukan peringatan haul, membuat Bubur Asyura’ pada perayaan Hari Asyura’, memerintahkan peringatan Maulid Nabi Saw, yang ternyata sampai saat ini dijalankan sebagai tradisi keagamaan oleh masyarakat muslim di Jawa.

Demikian juga dengan perayaan 1 dan 10 Syuro dengan penanda Bubur Syuro, tradisi Rebo Wekasan atau Arba’a Akhir di bulan Safar, tradisi nisfu Sya’ban, paham wahdatul wujud; larangan menyelenggarakan hajat menikahkan keluarga, menghitankan anak dan pindah rumah pada bulan Syuro; pembacaan kasidah-kasidah yang memuji Nabi Muhammad Saw dan ahlul bait; syi’iran pepujian yang ditujukan kepada Ali bin Abi Thalib dan keturunannya, dan wirid-wirid yang diamalkan kalangan muslim tradisional di Jawa adalah hasil pengaruh tradisi keagamaan Champa.

Bahkan istilah “kenduri” pun, jelas menunjuk kepada pengaruh Syi’ah karena istilah itu dipungut dari bahasa persia: “kenduri”, yakni upacara makan-makan di Persia untuk memperingati Fatimah az-Zahra, putri Rasulullah Saw.

Baca Juga:  AGH Baharuddin HS; Mursyid Tariqah, Rais Syuriah NU Kota Makassar

Di daerah Surabaya dan sekitarnya, tempat Sunan Ampel menjadi raja, penduduk memanggil ibunya dengan sebutan “mak”. Kebiasaan memanggil mak itu berlaku juga di daerah Mojokerto-Jombang, dan Kediri-Nganjuk, yang kemungkinan disebarkan oleh Raden Abu Hurairah, sepupu Sunan Ampel yang tinggal di Wirasabha (Mojoagung).

Sebutan itu berkembang pula di sepanjang pantai utara Jawa yang kemungkinan disebarkan oleh Sunan Bonang, Sunan Drajat, Sunan Giri, Raden Patah, Sunan Kalijaga, Sunan Kudus dan Sunan Gunung Jati yang merupakan putra, menantu, kemenakan, dan murid-murid Sunan Ampel.

Bahkan, belakangan sebutan “mak” lazim digunakan orang di kawasan pesisir utara Jawa hingga ke daerah Jawa Barat.

Islam yang berkembang di Jawa karena perjuangan dakwah Sunan Ampel dan para penyebar Islam abad ke-15 dan ke-16 adalah Islam yang unik.

Sebab, ia merupakan akulturasi dan asimilasi dari aspek budaya pra-Islam dengan Islam, baik melalui jalan sosial, budaya, politik, ekonomi, mistik, kultus, ritual, tradisi keagamaan, maupun konsep-konsep sufisme yang khas, yang merefleksikan keragaman tradisi muslim secara keseluruhan.

Dalam konteks akulturasi dan asimilasi itulah, pengaruh tradisi keagamaan muslim Champa menjadi sangat dominan dalam mewakili unsur sosio-kultural-religius dibanding pengaruh tradisi keagamaan muslim dari tempat lain.

Usaha dakwah Sunan Ampel lebih merupakan hasil formulasi kreatif dari tradisi intelektual dan spiritual yang paling dinamis dan kreatif dalam sejarah perkembangan Islam.

Alhasil, semangat dakwah yang terbentuk mampu mempertahankan anasir-anasir lama Kapitayan di satu pihak, dan melakukan penetrasi sosio-kultural-religius terhadap masyarakat Hindu-Budha secara kreatif dipihak lain: dengan memasukkan tradisi keagamaan muslim Champa melalui pendekatan sufisme, yang dengan cepat diterima dan diserap oleh masyarakat Jawa.

Sekalipun pada usia senjanya Sunan Ampel sudah menjadi tokoh yang sangat dihormati oleh masyarakat sebagai sesepuh Wali Songo, namun tidak ada keseragaman yang mencatat kapan tokoh asal Champa itu meninggal dunia.

Babad ing Gresik menetapkan wafat Sunan Ampel dengan candrasengakala berbunyi, “Ngulama Ngampel lena masjid” yang selain mengandung makna ‘ulama Ampel wafat di masjid’ juga mengandung nilai angka 1401 Saka yang jika dikonversi ke tahun Masehi adalah tahun 1479 Masehi.

Padahal, Serat Kandha mencatat Sunan Ampel wafat dengan candrasengakala, “Awak kalih guna iku” yang mengandung nilai angka tahun 1328 Saka yang sama dengan tahun 1406 Masehi.

Sementara itu, dalam historiografi lain yang menceritakan sejarah Sunan Ampel, tidak tercantum sama sekali tahun meninggal Sunan Ampel. Meski tidak ada kepastian kapan tepatnya Sunan Ampel meninggal, namun makamnya yang terletak di samping Masjid Agung Ampel dijadikan pusat peziarahan umat Islam di seluruh Nusantara.

Sumber : Atlas Wali Songo.