Sejarah Tahlilan Ternyata Sudah Ada Sejak Dahulu di Mekkah dan Madinah

sejarah tahlilan

Pecihitam.org – Munculnya kembali ideologi dan faham Salafi Wahabi dengan berbagai bentuk organisasinya yang telah menyebar ke tengah masyarakat lintas bangsa dan negara (ideologi transnasional) cukup memprihatinkan.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Hal itu karena mereka cenderung memusyrikkan dan membid’ahkan amaliah yang sudah ada.Seperti halnya tahlilan yang merupakan amaliah warga NU sudah sejak dari dulu, kini banyak yang mengklaim bahwa tahlilan adalah suatu amalan yang termasuk ke dalam suatu bid’ah dan sesat.

Hal itu cukup membuat kalangan menjadi menjadi prihatin. Karena amalan yang sudah turun-temurun dilakukan dan hingga sekarang masih terus berkembang di masyarakat ternyata banyak yang mengklaim sebagai suatu perbuatan yang bid’ah.

Daftar Pembahasan:

Sejarah Tahlilan

Tahlilan merupakan tradisi yang sudah turun-temurun sejak lama oleh masyarakat Indonesia terkhusus para Ulama dan warga Nahdliyin. Tentunya jika para Ulama saja melakukan hal ini, berarti terdapat dalil kuat yang mendasari amaliah yang dikenal dengan tahlilan.

Di dalam buku Sejarah Tahlil terbitan LTN NU dan Pustaka Amanah Kendal, tertulis bahwa tradisi tahlilan sudah ada sejak zaman Ulama muta’akhirin yaitu sekitar sejak abad ke sebelas hijriyah.

Para ulama melakukan istimbath dari Al-Qur’an dan Hadits yang kemudian disusunnya bacaan-bacaan tahlil yang kemudian juga mengamalkan serta mengajarkanya kepada kaum muslimin.

Pada pembahasan buku Sejarah Tahlil yang ditulis oleh KH. Muhammad Danial Royyan tersebut terdapat sejarah tentang siapa yang pertama kali menyusun bacaan tahlil ini. Menurut beliau penyusun bacaan tahlil pernah dibahas dalam suatu forum Bahtsul Masail. Yang hadir di forum tersebut merupakan para Kyai yang ahli Thariqah.

Awalnya ada yang berpendapat bahwa penyusun pertama kali Bacaan Tahlil yaitu Sayyid Ja’far Al-Barzanji. Namun, pendapat lain mengatakan yang menyusun tahlil adalah Sayyid Abdullah bin Alwi Al Haddad.

Setelah dibahas di dalam forum tersebut pendapat yang dianggap paling kuat adalah pendapat yang mengatakan Imam Sayyid Abdullah bin Alwi Al Haddad sebagai penyusun yang pertama kalinnya.

Baca Juga:  Hukum Tahlilan Bagi Mayit Menurut Ibnu Taimiyah

Dasarnya yang mengatakan bahwa bacaan tahlil pertama kali disusun oleh Imam Al Haddad adalah karena beliau wafatnya pada tahun 1132 H, lebih dulu dari pada wafatnya Imam Sayyid Ja’far Al Barzanji yang meninggal pada tahun 1177 H.

Dan diperkuat dengan tulisan Sayyid Awi bin Ahmad bin Hasan bin Abdullah bin Alwi Al Haddad di dalam syarah Ratib Al Haddad, yang menjelaskan bahwa kebiasaan dari imam Abdullah Al Haddad ketika selesai membaca Ratib yaitu membaca tahlil.

Tradisi Tahlilan

Tradisi tahlilan ini sudah mengakar dan dilakukan dengan berturut-turut dengan hari yang sudah ditentukan. Tahlilan umumnya dilakukan selama 7 hari berturut-turut mendoakan orang yang meninggal. Kemudian dilanjut lagi pada hari ke-40, hari ke-100, dan hari ke-1000.

Ada pula versi tahlilan yang dilaksanakan dari hari ke-3, ke-7, ke-100, dan ke-1000. Bagi masyarakat terutama warga Nahdliyin, tahlilan merupakan suatu ibadah yang sudah mengakar kuat.

Tentu para ulama yang mempraktikan amaliah ini berdasar atau ada dalilnya, sehingga meskipun banyak yang menuduh negatif namun nyatanya tahlilan sampai sekarang masih berkembang dengan baik dan diamalkan di masyarakat.

Karena kita tahu pada dasarnya tahlil adalah doa, yang di dalamnya terdapat ayat-ayat Al-Qur’an dibaca saat tahlilan dengan tujuan untuk mengirim pahala membaca Al-Qur’an untuk si mayit yang dituju.

Tahlilan Sudah Populer di Makkah dan Madinah

Imam Jalaluddin as-Suyuthi rahimahullah (salah satu pengarang kitab tafsir Jalalain) di dalam kitabnya al-Hawi lil-Fatawi memaparkan bahwa sejarah kegiatan Tahlilan seperti memberikan makanan selama 7 hari setelah kematian adalah suatu amalan yang tidak pernah ditinggalkan oleh umat muslim di Mekkah dan Madinah. Hal itu berlangsung hingga masa beliau :

Baca Juga:  Mengenal Istilah Tahlilan, Selametan, Kenduri dan Berkat dalam Tradisi NU

أن سنة الإطعام سبعة أيام، بلغني أنها مستمرة إلى الآن بمكة والمدينة، فالظاهر أنها لم تترك من عهد الصحابة إلى الآن، وأنهم أخذوها خلفا عن سلف إلى الصدر الأول

“Sesungguhnya sunnah memberikan makan selama 7 hari, telah sampai kepadaku bahwa sesungguhnya amalan ini berkelanjutan dilakukan sampai sekarang (yakni masa al-Hafidz sendiri) di Makkah dan Madinah. Maka secara dhahir, amalan ini tidak pernah di tinggalkan sejak masa para shahabat Nabi hingga masa kini (masa al-Hafidz as-Suyuthi), dan sesungguhnya generasi yang datang kemudian telah mengambil amalan ini dari pada salafush shaleh hingga generasi awal Islam. Dan didalam kitab-kitab tarikh ketika menuturkan tentang para Imam, mereka mengatakan “manusia (umat Islam) menegakkan amalan diatas kuburnya selama 7 hari dengan membaca al-Qur’an’. (al-Hawi al-Fatawi [2/234] lil-Imam al-Hafidz Jalaluddin as-Suyuthi)

Hal senada juga kembali di tuturkan oleh Syaikh al-Fadlil Muhammad Nur al-Buqis dalam kitab Kasyful Astaar yang khusus membahas kegiatan tahlilan (kenduri arwah). Dengan menukil perkataan Imam As-Suyuthi berikut :

أن سنة الإطعام سبعة أيام بلغني و رأيته أنها مستمرة إلى الأن بمكة والمدينة من السنة 1947 م إلى ان رجعت إلى إندونيسيا فى السنة 1958 م. فالظاهر انها لم تترك من الصحابة إلى الأن وأنهم أخذوها خلفاً عن سلف إلى الصدر الإول. اه. وهذا نقلناها من قول السيوطى بتصرفٍ. وقال الإمام الحافظ السيوطى : وشرع الإطعام لإنه قد يكون له ذنب يحتاج ما يكفرها من صدقةٍ ونحوها فكان فى الصدقةِ معونةٌ لهُ على تخفيف الذنوب ليخفف عنه هول السؤل وصعوبة خطاب الملكين وإغلاظهما و انتهارهما.

“Sungguh sunnah memberikan makan selama 7 hari, telah sampai informasi kepadaku dan aku menyaksikan sendiri bahwa hal ini (kenduri memberi makan 7 hari) berkelanjutan sampai sekarang di Makkah dan Madinah (tetap ada) dari tahun 1947 M sampai aku kembali Indonesia tahun 1958 M. Maka faktanya amalan itu memang tidak pernah di tinggalkan sejak zaman sahabat nabi hingga sekarang, dan mereka menerima (memperoleh) cara seperti itu dari salafush shaleh sampai masa awal Islam. Ini saya nukil dari perkataan Imam al-Hafidz as-Suyuthi dengan sedikit perubahan. al-Imam al-Hafidz As-Suyuthi berkata : “disyariatkan memberi makan (shadaqah) karena ada kemungkinan orang mati memiliki dosa yang memerlukan sebuah penghapusan dengan shadaqah dan seumpamanya, maka jadilah shadaqah itu sebagai bantuan baginya untuk meringankan dosanya agar diringankan baginya dahsyatnya pertanyaan kubur, sulitnya menghadapi menghadapi malaikat, kebegisannyaa dan gertakannya”. (Kasyful Astaar lil-‘Allamah al-Jalil Muhammad Nur al-Buqir)

Istilah 7 hari ialah berdasarkan pada riwayat shahih dari Thawus, sebagian ulama berpendapat bahwa riwayat tersebut juga atas taqrir dari Nabi Muhammad SAW, dan sebagian juga mengatakan hal itu hanya dilakukan oleh para sahabat dan tidak sampai pada masa Nabi Muhammad SAW.

Baca Juga:  Nahdliyyin Senang Tahlilan, Ternyata Ini 4 Keistimewaan Membaca Tahlil

Al-Allamah al-Jalil Muhammad Nur al-Buqir, beliau merupakan murid dari ulama besar seperti Syaikh Hasan al-Yamani, Syaikh Sayyid Muhammad Amin al-Kutubi, Syaikh Sayyid Alwi Abbas al-Maliki, Syaikh ‘Ali al-Maghribi al-Maliki, Syaikh Hasan al-Masysyath dan Syaikh Alimuddin Muhammad Yasiin al-Fadani.

Sehingga jelas bahwa Tahlilan mempunyai sejarah dan dasar yang jelas dan cukup kuat bahkan merupakan amalan-amalan para ulama terdahulu. Demikian semoga bermanfaat. Wallahua’lam Bisshawab.

Arif Rahman Hakim
Sarung Batik

1 Comment

  1. iwen Reply

    hari ke-3, ke-7, ke-100, dan ke-1000

    Mang di Madinah dan Mekah ada juga pemakaian hari-hari tersebut..?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *