Syarat Sah Hukum Persusuan Menurut Para Fuqoha (Bagian 2)

syarat sah hukum persusuan

Pecihitam.org – Melanjutkan pembahasan mengenai syarat sah hukum persusuan, terdapat 8 syarat sah hukum persusuan yang mana telah dibahas 5 poin sebelumnya, dan sekarang kita akan melengkapi kajian ini dengan menjelaskan 3 poin sisanya, dimana tidaklah sah hukum persusuan kecuali jika terpenuhi 8 syarat sah tersebut. Tiga syarat lainnya yang akan kita bahas yaitu:

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Daftar Pembahasan:

Sang bayi tidak harus menghisap puting ibu

Para ulama sepakat bahwa jika mengkonsumsi air susu ibu selain dari puting ibunya maka tetap akan berimplikasi pada hukum mahram, namun berbeda dengan pendapat imam Ahmad yang mensyaratkan isapan sang bayi harus langsung dari puting sang ibu yang menyusuinya. Para ulama pun sepakat bahwa suntikan susu tidak dapat berimplikasi pada hukum mahram, kecuali pendapat lama dari imam Syafi’I yang menjadi pendapat imam Malik sebagaimana dalam kitab Masail al-Ijma’ wa al-Ittifaq.[1]

Air susu berasal dari hasil hamil anak tersebut

Menurut Imam Ahmad, air susu harus berasal dari hasil hamilnya anak tersebut.[2]

Kadar air susu

Para ulama berbeda pendapat mengenai jumlah susuan yang dapat berimplikasi pada hukum mahram, diantaranya:

Imam Abu Hanifah dan imam Malik berpandangan bahwa minimal kadar isapannya adalah satu kali isapan. Imam Abu Hanifah dan imam Malik berdalil dengan hadis yang diriwayatkan oleh Suwaid dan Zuhair

” لا تحرم المصة والمصتان”

Baca Juga:  Puasa Daud: Pengertian dan Cara Pelaksanaannya

“ Tidak menjadi mahram kalau hanya sekali atau dua kali isapan.”

Hadis yang diriwayatkan oleh Ummu Fadl

” ولا الإملاجة والإملاجتان”

“ Dan tidak menjadi mahram sekali atau dua kali isapan.”

Imam Syafi’I berpendapat, kadar minimalnya adalah lima kali isapan

Kadar 5 isapan sang bayi dapat diperkirakan hitungannya sesuai dengan kebiasaan sang bayi. Jika sang bayi berhenti menghisap baik itu untuk istirahat sejenak, untuk bernafas, merasa bosan, hendak menengok pada arah lain, atau karena tertidur, lalu sang bayi kembali menghisap susu, maka isapan tersebut dihitung menjadi satu isapan.

Ulama Syafi’iyah dan ulama Hambali berdalil dengan hadis yang diriwayatkan oleh Aisyah ra:

عن عائشة رضي الله عنها قالت:” كان فيما أنزل الله من القرآن عشر رضعات معلومات يحرّمن، فنسخن بخمس معلومات، فتوفي رسول الله صلّى الله عليه وسلم وهن فيما يقرأ من القرآن.”

Aisyah ra berkata: “ Saat Allah menurunkan ayat al-qur’an tentang  kadar susuan sebanyak sepuluh isapan dapat berimplikasi pada hukum mahram, maka ketetapan itu dihapus menjadi lima isapan, lalu Rasulullah SAW wafat dan ayat-ayat Al-Qur’an masih tetap dibaca seperti itu.”

Hadis tersebut menjelaskan bahwa umat muslim belum mengetahui bahwa hukum persusuan dengan kadar isapan berjumlah sepuluh isapan telah dihapus dan digantikan dengan hukum persusuan dengan kadar lima isapan yang dapat berimplikasi pada hukum mahram. Namun ada yang menyatakan bahwa hadis di atas adalah mudhtharib atau sisipan perkataan periwayat hadis, yaitu syaidah Aisyah ra dan bukanlah dari sabda Rasulullah SAW, sehingga tidak dapat dijadikan dalil.

Baca Juga:  Hukum Bekerja Sebagai Disc Jockey (DJ)

Namun sesungguhnya alasan dari implikasi hukum mahram dalam persusuan adalah karena susu yang diisap oleh sang bayi dapat membentuk daging dan tulang, maka susu itu tidak akan dapat membentuk daging dan tulang kecuali sang bayi mengkonsumsinya dalam waktu satu hari atau dengan kadar lima isapan (minimal).

Lalu jika kadar isapan sang bayi kurang dari lima isapan, maka persusuan itu tidak sah, sehingga tidak berimplikasi pada hukum mahram, lalu jika ada keraguan pada jumlah kadar isapan sang bayi, maka tetapkanlah jumlah kadar itu berdasarkan keyakinan, sebagaimana dalam kaidah ushul dinyatakan

اليقين لايزال بالشك

“ Keyakinan tidak digugurkan dengan keraguan (yang muncul setelahnya).”

Dan juga dalam kaidah fiqh dinyatakan

الأصل في المعاملات الحل والإباحة

“ Asal hukum dalam aspek muamalah adalah halal dan boleh.”

Dengan begitu, maka asal hukum hubungan antara seorang anak dengan seorang wanita adalah tidak ada hukum mahram antara keduanya, sehingga jika dalam keadaan ragu atau syak, maka yang paling utama adalah meninggalkan hukum mahram dalam persusuan tersebut, karena itu bagian dari syubhat yang harus dihindarkan.

  • Imam Ahmad menyatakan, kadar minimalnya tiga kali isapan.[3]
  • Ulama-ulama Malikiyah dan ulama-ulama Hanafiyah berpandangan bahwa, kadar air susu baik banyak ataupun sedikit. Berdasarkan surat an-Nisa ayat 23:
Baca Juga:  Hukum Hubungan Persusuan Dari Pengakuan dan Bukti (Bagian 1)

وَأُمَّهَاتُكُمُ اللَّاتِي أَرْضَعْنَكُمْ

“ Ibu-ibumu yang menyusui kamu.”        

Ayat tersebut menetapkan hukum mahram dalam persusuan tanpa batasan kadar susuan, maka hukumnya adalah mutlak (tanpa batas kadar tertentu).

Selanjutnya Ulama-ulama Malikiyah dan ulama-ulama Hanafiyah berdalil dengan hadis yang diriwayatkan oleh Syu’bah

” يحرم من الرضاع ما يحرم من النسب”

“ Menjadi mahram (saudara) dari susuan sebagaimana menjadi mahram dari keturunan.”

Hadis tersebut dikuatkan dengan riwayat dari sebagian sahabat, seperti Ali, ibn Mas’ud, ibn ‘Abbas, mereka berkata: “ Sedikit ataupun banyaknya susuan hukumnya sama.”

Dari pemaparan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa sahnya hukum persusuan antara ibu dengan sang anak adalah dengan terpenuhinya 8 syarat di atas, dan konsekuensi hukum dari hubungan persusuan yang sah adalah sama seperti hukum yang berlaku dalam hubungan nasab.

Waallahu’alam bi al-shawab


[1] Abdul Wahan As-Sa’roni, Al-Mizan al-Kubra

[2] Abdul Wahan As-Sa’roni, Al-Mizan al-Kubra

[3] Abu Abdillah Muhammad Asy-Syafi’I, Rahmatul Ummah

Siti Fauziyah

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *