Golongan Orang yang Boleh Tidak Puasa dalam Islam

Golongan Orang yang Boleh Tidak Puasa dalam Islam

PeciHitam.org – Puasa merupakan salah satu rukun Islam yang lima. Seluruh kaum muslimin diwajibkan untuk berpuasa, khususnya puasa Ramadhan. Meskipun hukum asalnya adalah wajib, namun ada beberapa golongan yang boleh tidak puasa.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Hal ini disebabkan karena kondisi mereka sehingga tidak mewajibkannya untuk tetap berpuasa, melainkan diberi rukhsah (keringanan) untuk berbuka. Bahkan ada juga yang wajib berbuka, tidak boleh meneruskan puasanya.

Golongan yang Boleh Tidak Berpuasa

Berikut ini beberapa klasifikasi golongan yang boleh tidak puasa, antara lain:

Pertama, wajib tidak puasa dan wajib meng-qadha. Adanya halangan seperti haid dan nifas dapat menjadi alasan bagi seseorang agar tidak berpuasa, bahkan wajib berbuka dan membatalkannya jika memang hal tersebut dialami ketika sedang berpuasa.

Ia juga harus meng-qadha (menggantinya) di luar Ramadhan. Sebagaimana hadis yang diriwayatkan dari Aisyah ra ketika ditanya mengenai wanita yang haid berikut:

فَنُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ وَلاَ نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلاَةِ

“Kami diperintahkan untuk meng-qadha (mengganti) puasa dan tidak diperintahkan untuk meng-qadha (mengganti) shalat.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Kedua, boleh tidak puasa dan wajib meng-qadha. Adanya halangan (udzur) seperti sakit dan bepergian (safar) dapat menjadi alasan bolehnya seseorang tidak puasa. Namun tetap wajib menggantinya (meng-qadha). Sebagaimana firman Allah berikut:

فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ

“Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.” (QS. Al-Baqarah: 184)

Ayat di atas menjelaskan kebolehan bagi musafir (orang yang melakukan perjalanan) untuk berbuka dan mengganti puasanya di hari yang lain di luar bulan Ramadhan.

Sebagai penguat, ada juga hadis yang dijadikan dalil bagi musafir untuk berbuka. Berikut ini hadis dari Abu Said al-Khudri:

سَافَرْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- إِلَى مَكَّةَ وَنَحْنُ صِيَامٌ قَالَ فَنَزَلْنَا مَنْزِلاً فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « إِنَّكُمْ قَدْ دَنَوْتُمْ مِنْ عَدُوِّكُمْ وَالْفِطْرُ أَقْوَى لَكُمْ ». فَكَانَتْ رُخْصَةً فَمِنَّا مَنْ صَامَ وَمِنَّا مَنْ أَفْطَرَ ثُمَّ نَزَلْنَا مَنْزِلاً آخَرَ فَقَالَ « إِنَّكُمْ مُصَبِّحُو عَدُوِّكُمْ وَالْفِطْرُ أَقْوَى لَكُمْ فَأَفْطِرُوا ». وَكَانَتْ عَزْمَةً فَأَفْطَرْنَا ثُمَّ قَالَ لَقَدْ رَأَيْتُنَا نَصُومُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- بَعْدَ ذَلِكَ فِى السَّفَرِ

Baca Juga:  Ini Penjelasan Terkait Penerapan Hukuman Mati dalam Islam Menurut Para Ulama

“Kami bepergian bersama Rasulullah saw ke Makkah, sedangkan waktu itu kami berpuasa.kami berhenti di suatu tempat, maka sabda Rasulullah saw: “Sekarang engkau telah dekat musuhmu, dan berbuka lebih menguatkan dirimu.” Maka hal itu merupakan keringanan, dan di antara kami ada yang berpuasa dan ada pula yang tidak. Kemudian kami berhenti di suatu tempat yang lain, maka Nabi saw bersabda, “esok pagi, engkau akan menyergap musuhmu, dan berbuka lebih menguatkanmu, dari itu berbukalah kamu.” Maka hal itu merupakan keharusan, hingga kami pun berbuka. Lalu di belakang itu, engkau lihat kami berpuasa lagi bersama Rasulullah saw dalam perjalanan. (HR. Muslim, Ahmad, dan Abu Dawud)

Ketiga, boleh tidak puasa dan diganti membayar fidyah. Golongan ketiga, orang yang boleh tidak puasa ialah orang yang sudah berusia lanjut atau orang sakit yang tidak memiliki harapan untuk sembuh.

Kebolehan tidak berpuasa ini diikuti kewajiban untuk membayar fidyah sebagai ganti puasanya. Fidyah yang dimaksud ialah mengganti puasa tersebut, satu hari dengan memberi makan seseorang fakir miskin. Sebagaimana firman Allah berikut:

وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ

“Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin.” (QS. Al-Baqarah: 184)

Keempat, boleh tidak puasa dan mengganti puasanya masih diperdebatkan. Golongan keempat ini ialah wanita hamil dan menyusui anak, jika mereka khawatir akan keselamatan anak-anak mereka, juga boleh berbuka dan membayar fidyah. Namun penggantian puasanya masih menjadi perdebatan ulama.

Menurut ulama Hanafiyah, seperti Abu Ubaid dan Abu Tsaur, berpendapat bahwa mereka hanya diwajibkan meng-qadha dan tidak membayar fidyah.

Baca Juga:  Argumentasi Pembentukan Hukum dengan Ta’lil pada Sifat Dhahir yang Terstandari

Sedangkan menurut pendapat Imam Ahmad dan Imam Syafi’i, jika mereka berbuka karena kekhawatiran terhadap keselamatan anak saja, maka mereka wajib meng-qadha dan membayar fidyah.

Namun jika yang dikhawatirkan adalah keselamatan mereka sendiri, atau keselamatan diri serta keselamatan anak mereka, maka mereka hanya wajib mengqadha.

Sedangkan menurut Ibnu Abbas berpendapat bahwa mereka wajib membayar fidyah jika khawatir akan keselamatan anaknya.

Jarak Perjalanan Bagi Musafir untuk Mendapatkan Rukhsah

Mengenai jarak perjalanan yang memperbolehkan seseorang berbuka puasa masih menjadi perdebatan para fuqaha. Menurut sebagian besar mazhab, jarak perjalanan yang memperbolehkan seseorang mengqashar shalat dan berbuka puasa adalah 84 km.

Bagi musafir yang mengalami masyakah yang berat jika berpuasa, ia dimakruhkan berpuasa bahkan mungkin saja diharamkan (melihat kondisinya).

Hal ini mengingat sabda Nabi saw. mengenai seseorang yang dikerumuni orang banyak ketika mengalami kepayahan karena berpuasa. Lalu Nabi saw. bertanya, “Mengapa orang itu begitu keadaannya?” Para sahabat menjawab, “Dia sedang berpuasa.” Kemudian beliau bersabda:

لَيْسَ مِنَ الْبِرِّ الصِّيَامُ فِي السَّفَرِ- رواه البخاري

Tidak baik berpuasa ketika safar.” (HR. Bukhari)

Sedangkan bagi yang tidak mengalaminya boleh memilih antara boleh berpuasa boleh berbuka. Lebih utama yang mana? Ambillah mana yang dirasa lebih mudah, antara melanjutkan puasanya di hari tersebut atau menggantinya (meng-qadha) di luar Ramadhan.

Abu Daud meriwayatkan dari Hamzah bin Amir Al Aslami, ia berkata: saya pernah bertanya kepada Rasulullah saw., “Wahai Rasulullah, saya mempunyai kendaraan yang saya pergunakan untuk berperang dan bepergian. Kadang-kadang secara kebetulan saya bepergian pada bulan Ramadhan ini, tetapi saya kuat dan masih muda, dan bagi saya puasa itu lebih mudah daripada berbuka yang nantinya menjadi utang bagi saya, maka apakah saya boleh berpuasa agar mendapatkan pahala yang besar, ataukah saya harus berbuka?” Rasulullah saaw. menjawab, “Terserah yang engkau sukai, wahai Hamzah!” Maksudnya: memilih yang lebih mudah.

Baca Juga:  Fiqih Salat Jumat: Rukun-Rukun Shalat Jumat (Bagian - III)

Dari Hamzah bin Amir Al Aslami bahwa dia berkata kepada Rasulullah saw., “saya kuat berpuasa dalam safar, maka apakah saya berdosa (karena puasa itu)? “ Rasulullah saw. menjawab:

هِيَ رُخْصَةٌ مِنَ اللهِ، فَمَنْ أَخَذَ بِهَا فَحَسَنٌ، وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَصُومَ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِ

 “Itu adalah rukhshah (kemurahan) dari Allah untukmu; maka barang siapa yang ingin berpuasa maka tidak ada dosa atasnya.”(HR. al-Nasa’i)

Inilah syariat Allah bagi para musafir. Dan perlu diperhatikan bahwa di dalam rukhshah ini tidak diharuskan dan disyariatkan adanya masyakah yang berat atau terwujudnya masyakah, namun safar (bepergian) itu sendiri dapat menjadi alasan diperbolehkannya seseorang berbuka.

Maka jika seorang melakukan perjalanan, ia boleh berbuka puasa. Dan yang perlu juga diperhatikan bahwa orang yang boleh tidak puasa dalam perjalanan bukan berarti puasanya gugur selamanya.

Namun ia hanya menanggung utang puasa dan menundanya untuk digantikan pada hari-hari di luar Ramadhan. Oleh sebab itu, ia boleh memilih untuk berpuasa atau berbuka pada waktu bepergian, meskipun tidak menimbulkan masyakkah.

Demikian beberapa golongan yang boleh tidak puasa. Adanya keringanan atau rukhsah bagi seseorang untuk tidak berpuasa merupakan salah satu bentuk kemurahan Allah. Penting bagi setiap muslim agar mengetahui dan memahami hal tersebut. Ash-Shawabu Minallah.

Mohammad Mufid Muwaffaq