AGH Muhammad Yunus Martan, Ulama Kharismatik Sulawesi Selatan

AGH Muhammad Yunus Martan, Ulama Padat Karya dari Sulawesi Selatan

Pecihitam.org – AGH Muhammad Yunus Martan merupakan sosok ulama yang mengabdikan seluruh hidupnya untuk ilmu, menuntut ilmu dari AGH. As’ad hingga ke Mekkah dan memberi ceramah dan pengajian di Pondok Pesantren As’adiyah Sengkang hingga Wafatnya, 1986.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Azhar Nur, salah seorang kontributor dalam Buku ulama Sulawesi Selatan terbitan MUI Sulsel, 2007, menuliskan bahwa sosok AGH Muhammad Yunus Maratn adalah pecinta ilmu Sepanjang hayat, membina pesantren dan banyak berkarya.

Demikian juga Husnul Fahimah Ilyas, kontributor dalam Buku Biografi Ulama di Kawasan Timur Indonesia terbitan Balitbang Makassar tahun 2015, Secara khusus menulis keteladanan AGH Muhammad Yunus Martan sebagai ulama dan kiprahnya dalam pengembangan Pesantren As’adiyah.

Jejak pendidikan AGH Muhammad Yunus Martan berawal dari bimbingan ayahnya, AGH. Martan, seorang ulama yang disegani karena keilmuannya di Belawa dan menjabat sebagai qadhi, posisi yang kelak diwarisinya. Anregurutta Yunus Martan belajar mengaji pada Andi Mappangewa, seorang guru mengaji sangat terkenal.

Gurutta masuk Sekolah Rakyat di Belawa antara tahun 1921-1926 serta dibimbing pengajian kitab oleh ayahnya hingga tahun 1928. Setelah dianggap memiliki kemampuan baca kitab kuning, maka pada tahun 1929 dikirim oleh ayahnya untuk naik haji sekaligus mukim di Mekkah mendalami agama.

Beliau belajar di Madrasah Al-Falah untuk tingkat Ibtidaiyyah dari tahun 1929-1932 sembari mengikuti pengajian kitab kuning di Masjidil Haram. Tercatat setidaknya beliau belajar kitab kuning selama tujuh tahun pada sejumlah ulama di Mekkah.

Pada tahun 1933 beliau berketetapan hati memilih kembali ke tanah air dan mukim di Belawa untuk mengabdikan ilmunya. AGH Muhammad Yunus Martan akhirnya hijrah Ke Sengkang dan mengaji Kitab Kuning kepada AGH. Muh. As’ad bersama-sama santri lainnya yaitu AGH Daud Ismail (asal Soppeng), AGH. Abdurrahman Ambo Dalle (asal Wajo), AGH. Abduh Pabbajah (asal Sidrap).

Pada tahun 1935, beliau mempersunting gadis Belawa berusia 12 tahun bernama Hajjah Baru atau dikenal juga sebagai Hajjah Kartini. Dari hasil perkawinan tersebut beliau dikarunia tujuh anak diantaranya anregurutta AGH Rafi’i Yunus Martan yang kelak menjadi Pimpinan Umum PB. As’adiyah.

Baca Juga:  Katanya Walisongo Fiktif, Ustadz Ini Bercanda??

Namun pada tahun 1965, istri beliau Wafat. Setahun kemudian, tahun 1966 beliau kembali mempersunting gadis Belawa berusia 13 tahun bernama Hajjah Husnah. Beliau dikaruniai 5 anak. Hj. Husnah setia mendampingi Gurutta Yunus sejak 1966 hingga beliau wafat tahun 1986.

AGH Muhammad Yunus Martan sempat menjalankan amanah sebagai qadhi di Belawa, jabatan yang pernah dipangku ayahnya. Beliau menjalankan amanah tersebut antara tahun 1938 -1952.

Pembinaan MAI yang kelak berganti nama menjadi Pondok Pesantren As’adiyah Pusat Sengkang, tepat 9 Mei 1953, itu dilanjutkan oleh AGH. Muh. Yunus Martan bersama AGH. Daud Ismail.

Dan, pada tahun 1961 ketika AGH. Daud Ismail kembali ke Soppeng dan mendirikan Pesantren Yasrib. Maka kepemimpinan Pesantren As’adiyah berada ditampuk pengabdian AGH. Muh. Yunus Maratan dibantu sejumlah santri AGH. Muh. As’ad lainnya seperti AGH. Hamzah Badawi dan AGH. Hamzah Manguluang (keduanya asal Wajo) hingga lahir generasi AGH. Ilyas Salewe dan AGH. Abunawas Bintang (keduanya asal Bone) yang diajar langsung AGH. Muh. Yunus Martan.

Gurutta dikenal sebagai penulis ditandai dengan beberapa karyanya yang telah diterbitkan. Gurutta dikenal sangat disiplin. Kegiatan utamanya sebagai pimpinan umum Pondok Pesantren As’adiyah Pusat Sengkang, Wajo, dijalankan penuh tanggungjawab disertai pemikirannya yang progresif.

Perubahan-perubahan mendasar yang beliau lakukan menjadikan Pesantren As’adiyah sebagai lembaga pendidikan Islam terkemuka di Sulsel.

Ahmad Sunnari Rafi’i, cucu AGH. Muh. Yunus Martan, mengisahkan sebagian keteladanan beliau. Setiap malam menjelang shalat subuh, beliau membangunkan cucunya dengan cara mengetuk pintu kamar, kadang masuk memukul kelambu hingga memukul telapak kaki.

Beliau sangat peduli terhadap shalat berjamaah dan dikenal sangat disiplin, terutama soal shalat. Sang cucu menyebutkan bahwa beliau juga dikenal sangat peduli dengan sumbangan orang lain, seberapapun sumbangan masyarakat untuk pembangunan Pesantren As’adiyah senantiasa diumumkan di Radio Suara As’adiyah.

Baca Juga:  Biografi Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari, Pendiri Jamiyyah NU dan Pahlawan Nasional

Ahmad Sunnari dengan bangga menyebut bahwa sang kakek merupakan ulama yang sadar Teknologi, tahun 1970-an beliau sudah mengajar dengan wireless hingga mendirikan radio sebagai media syiar dakwah yang eksis hingga kini.

Inovasi beliau yang lain adalah menerbitkan majalah Risalah As’adiyah dan mendirikan Radio Suara As’adiyah yang mengudara hingga sekarang via streaming.

Beliau juga mengembangkan pesantren dengan sistem madrasah modern. Dedikasinya yang tinggi terhadap syiar Islam disalurkan lewat tulisan. Gurutta pandai mengatur waktunya sehingga tetap aktif menulis di tengah kesibukannya membina pesantren.

Beberapa karya monumentalnya, diantaranya kitab berjudul “Asshalatu Imaduddin“. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Bugis sehingga mudah dipahami. Buku itu diyakini turut berpengaruh pada masyarakat Wajo dan sekitarnya.

Tepatnya, buku tersebut terdistribusi luas sehingga karya tersebut banyak mengilhami masyarakat untuk belajar shalat secara benar, sehingga pada tahun 1980-an, buku tersebut dijual hampir di semua toko buku di Wajo, Bone dan beberapa daerah lain yang sebagiannya merupakan bagian dari keluarga besar pesantren As’adiyah.

AGH. Muh. Yunus Martan telah menulis sebanyak 35 buku. Tulisan tersebut bersumber dari tulisan yang tersebar di majalah, artikel di Risalah As’adiyah. Namun sebagian besar buku tersebut ditulis dalam bentuk buku untuk dipublikasikan.

Adapun materi buku karya gurutta mencakup bidang fiqhi seperti kitab Al-Shiyam terbit tahun 1974, kitab al-Janaiz terbit tahun 1977. Kitab Asshalatu Imaduddin terbit tahun 1981.

Gurutta juga menulis bidang tauhid seperti kitab AI-Firaq al-Islamiyah berbahasa Bugis terbit tahun 1966. Sementara bidang tafsir sedikitnya tiga kitab diantaranya Tafsir Al-quran al-Karim terbit tahun 1972. Kitab yang mengulas sejarah terdapat 10 kitab yang didominasi kisah nabi-nabi. Juga kitab tasawuf yaitu Hikam Wa Mawaid.

Keteladanan cukup membekas bagi muridnya, diantaranya karena kedisiplinannnya dan tentu pada kecerdasan serta kesederhanaannya.

Soal kedisiplinan, suatu ketika saat keluar berdakwah di suatu daerah, ada warga yang tiba-tiba menyiapkan sajian yang diperuntukkan untuk menyambut gurutta tanpa diagendakan sebelumnya.

Baca Juga:  Habib Umar bin Hafidz; Simbol Da'i Masa Kini yang Mewarisi Kelembutan Rasulullah

Akhirnya saat mobil gurutta kembali dan melintasi rumah warga tersebut, ia meminta gurutta singgah. Seketika gurutta Yunus melihat catatannya, ternyata tidak diagendakan. Kemudian gurutta langsung melanjutkan perjalanan ke Sengkang untuk memberi pengajian sesuai jadwal.

Sementara dalam kesaksian AGH. Muh. Harisah AS, salah seorang muridnya, AGH. Muh. Yunus Martan selalu tampil rapih bersih ketika mengimami shalat, penampilannya sempurna dibalut sorban dan berjas dengan sarung khasnya.

Begitu juga durasi shalatnya cukup terukur rata-rata 5 menit, tidak cepat dan tidak lambat. Bacaan surahnya juga hampir selalu dengan surah yang sama, surah Al-Kafirun dan Al-Ikhlas pada saat sholat magrib.

AGH. Sanusi Baco mengenang saat mengajar mahasiswa STAI As’adiyah. Suatu malam pintu kamarnya diketuk menjelang tidur. Gurutta bertanya-tanya siapa gerangan yang mengetuk pintu tengah malam begini.

Betapa terkejutnya saat melihat sosok AGH Muhammad Yunus Martan yang berpenampilan rapi itu menyapanya, “Engkamua oba’ nyamu’mu? Obat anti nyamukmu ada kan?”

Setelah memastikan kondisi tamunya, AGH. Muh. Yunus Martan berlalu tanpa berkata-kata lagi. Anehnya, AGH. Sanusi Baco tidak bisa tidur lagi hingga pagi karena keramahan yang beliau tunjukkan.

Demikian sosok AGH. Muh. Yunus Martan, sosok ulama yang selalu menjaga wibawa keulamaannya, termasuk ketika bertemu penguasa atau pejabat. Beliau tidak membungkuk tetapi tetap tegak karena baginya umara itu mitra ulama.

AGH Muhammad Yunus Martan wafat pada hari Selasa, 22 Juli 1986 di Rumah Sakit Islam Faisal Makassar dan dimakamkan di tanah kelahirannya, Wajo.

Referensi:
Firdaus Muhammad, Anregurutta, (Makassar: Nala Cipta Litera, 2017) hlm. 51

M Resky S

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *