Fiqih Sosial Sebagai Penghubung antara Kelompok Fundamental dan Liberal ala KH Sahal Mahfud

Fiqih Sosial Sebagai Penghubung antara Kelompok Fundamental dan Liberal ala KH Sahal Mahfud

PeciHitam.org – Fiqih sosial KH. Sahal Mahfud merupakan pionir lahirnya fiqih hadlari (fiqih peradaban). Fiqih ini dianggap mampu melahirkan sebuah peradaban baru yang bersifat progresif, modern, dan produktif. Hal ini menuntut peran generasi muda agar mampu kreatif meneruskan dan mengembangkan warisan pemikiran genuine KH. Sahal Mahfud.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Fiqih sosial karya KH. Sahal Mahfud dianggap mampu menjadi jembatan antara dua kecendrungan, yaitu liberalisasi dan fundamentalisasi. Mengambil jalan tengah antara keduanya. Fiqih harus tetap berpijak pada teks, namun juga harus senantiasa memperhatikan realitas secara transformatif.

Bagi kelompok fundamentalis, seruan kembali dan berpegang teguh kepada tradisi dan orisinalitas merupakan bagian dari mekanisme kebangkitan untuk maju karena dengan tradisi itulah masa kini dan masa lalu yang agak dekat dapat dikritik.

Kaum Fundamentalis menganggap bahwa bentuk keberagamaan yang paling benar sekaligus ideal ialah Islam yang dicontohkan oleh salaf al-shalih. Oleh sebab itu, keunikan ekspresi keberislaman masyarakat Indonesia disebut-sebut sebagai kejahiliyahan modern yang jauh dari Islam yang benar, otentik atau asli.

Otentisitas (al-shalah) Islam hilang ketika ia telah dicampuri oleh unsur luar. Islam yang berkembang di Indonesia dianggap telah jauh menyimpang dari nilai keasliannya. Sebab, ia telah mengakomodasi dan bercampur dengan budaya dan tuntutan lokal. Tercampurnya antara Islam dan budaya lokal inilah yang dianggap akar utama yang melahirkan bid’ah dan khurafat.

Bagi kelompok liberal-rasionalis mendekonstruksi ajaran kitab suci merupakan suatu keniscayaan. Salah satu hal yang menjadi patokan menurut kelompok ini ialah keadilan menyeluruh sesuai semangat disyariatkannya Islam.

Baca Juga:  Inilah Mukjizat Nabi Daud As yang Tidak Dimiliki oleh Para Nabi Sebelumnya

Kelompok tersebut memiliki beberapa metodologi, antara lain:

  1. Pertama, mengubah paradigma dari teosentrisme ke antroposentrisme.
  2. Kedua, bergerak dari eisegese ke exegese. Dengan usaha untuk menafsirkan (exegese), para penafsir berusaha semaksimal mungkin untuk menempatkan teks agama sebagai obyek dalam suatu dialektika yang seimbang.
  3. Ketiga, memfikihkan syariat. Syariat harus diposisikan sebagai jalan (wasilah) yang berguna bagi tercapainya prinsip-prinsip Islam (ghayat) berupa keadilan, persamaan, kemaslahatan, penegakan HAM.
  4. Keempat, kemaslahatan sebagai rujukan dari seluruh kerja penafsiran.
  5. Kelima, mengubah gaya berpikir deduktif ke induktif (istiqra’iy).

Paradigma tersebut didukung oleh Nasr Hamid Abu Zayd. Ia juga menjelaskan bahwa, ada lima pola wacana keagamaan dewasa ini yang tertutup, antara lain:

Pertama, menyatukan antara agama dan pemikiran. Tidak adanya kejelasan jarak pemisah antara agama dan ijtihad (hasil pemahaman agama). Hal inilah menimbulkan permasalahan baru, yaitu ketika ada pemahaman lain yang bertentangan dengan pemahamannya seolah telah menyalahi atau melanggar agama.

Kedua, teologisasi fenomena sosial dan alam. Seluruh peristiwa baik itu realitas sejarah maupun sosial langsung dikembalikan kepada Allah. Pemahaman inilah yang akhirnya menyebabkan para penganut agama seolah menjadi malas berpikir, tidak memiliki etos kerja yang baik dan lebih bersifat fatalis. Seolah menegaskan bahwa manusia tidak mempunyai kebebasan untuk melaksanakan kehendaknya sendiri (free will), apalagi bertindak.

Baca Juga:  Menurut KH Marzuqi Mustamar, 3 Hal Ini Menjadi Syarat Wajib Ulama

Ketiga, interdependensi (ketergantungan) terhadap salaf dan tradisi (turats). Kelompok ini seolah selalu puas memandang masa lalu, dan kejayaan masa lalu adalah segala-galanya.

Memang benar, ulama terdahulu memiliki karya yang melimpah dan telah membahas segalanya. Seolah tugas manusia sekarang hanya mempraktekkannya saja.

Seringkali perbedaan pendapat jika bertentangan dengan tradisi keilmuan terdahulu tidak diapresiasi, bahkan seringkali dianggap menyimpang dari agama.

Keempat, fanatisme pendapat dan menolak dialog. Sikap fanatisme yang mereka dapatkan ini merupakan akumulasi dari poin-poin di atas. Setelah kelompok ini berlindung di balik tradisi (turats), mereka seolah memiliki otoritas tersendiri untuk menafsirkan tradisi-tradisi ini, sesuai dengan apa yang mereka pahami.

Mereka tidak menerima pendapat dari kelompok lain yang dianggap berbeda. Mereka seolah memiliki otoritas penuh dalam menafsirkan nash-nash tersebut.

Kelima, mengingkari dimensi historis (sejarah). Sering kali terjadi bahwa konsep-konsep yang pada awalnya tidak ada dalam ajaran Islam diyakini sebagai ajaran agama karena memiliki sejarah dan terjadi di komunitas Islam terdahulu.

Baca Juga:  Sunnatullah (Hukum Ketetapan Allah), Samakah dengan Kausalitas?

Seperti konsep yang di usung Hizbut Tahrir tentang Negara Islam (al-Khilafah al-Islamiyah). Konsep ini dimulai dari Dinasti Umawiyah di Damakus (Syria) hingga Dinasti Utsmaniyah di Istanbul (Turki).

Mau tidak mau, kita harus bisa keluar dari dua aliran yang kontraproduktif bagi terciptanya bangunan peradaban yang holistik dan integral. Perpaduan al-ashalah (tradisi) dan al-hadasah (modernitas) adalah kunci menuju kebangkitan.

Fiqih harus mampu menjadi jalan masuk kebangkitan intelektual dan penelitian menuju terciptanya bangunan peradaban yang progresif. Dalam konteks tantangan pemikiran inilah, fiqih sosial Kiai Sahal lahir untuk menjawab secara tuntas problem integrasi otentisitas dan modernitas yang sering kontradiktif dan antagonistik.

Mohammad Mufid Muwaffaq