Ibu Menyusui Bolehkah Puasa? Ini Penjelasannya untuk Kamu

ibu menyusui bolehkah puasa

Pecihitam.org – Setiap ibu tentu saja ingin anak-anaknya mendapatkan asupan gizi yang cukup agar tumbuh kembangnya baik. Namun, di sisi lain, ibu yang menyususi juga terkadang tak ingin meninggalkan kewajibannya sebagai seorang Muslimah untuk berpuasa. Maka dari itu, muncul pertanyaan: ibu menyusui bolehkah puasa?

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Persoalan ini pada dasarnya sama dengan Puasanya Ibu Hamil yang diberikan kemudahan untuk bisa mengqadha puasanya di lain waktu. Kewajiban untuk mengqadha puasa Ramadhan secara tegas disampaikan dalam Alquran:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ أَيَّاماً مَعْدُودَاتٍ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضاً أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa. (Yaitu) beberapa hari tertentu. Barangsiapa di antara kamu sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa) maka (wajib mengganti) sebanyak hari (yang dia tidak berpuasa itu) pada hari-hari yang lain.” (QS. Al-Baqarah, Ayat: 183-184)

Menurut Madzhab Syafi’i, apabila seorang perempuan yang sedang menyusui melakukan puasa dan dikhawatirkan akan membawa dampak negatif pada dirinya beserta anaknya, atau dirinya, atau anak saja maka ia wajib membatalkan puasanya. Karena itu ia, berkewajiban meng-qadla` puasanya.

Baca Juga:  Bagaimana Hukum Menggaruk pada Saat Shalat?

Namun jika hal yang dikhawatirkan adalah membahayakan anaknya saja, maka ia tidak hanya berkewajiban meng-qadla` tetapi ada kewajiban lain yaitu membayar fidyah. Hal ini sebagaimana dikemukakan Abdurrahman al-Juzairi:

اَلشَّافِعِيَّةُ قَالُوا اَلْحَامِلُ وَالْمُرْضِعُ إِذَا خَافَتَا بِالصَّوْمِ ضَرَرًا لَا يُحْتَمَلُ سَوَاءٌ كَانَ الْخَوْفُ عَلَى أَنْفُسِهِمَا وَوَلِدَيْهِمَا مَعًا أَوْ عَلَى أَنْفُسِهِمَا فَقَطْ أَوْ عَلَى وَلَدَيْهِمَا فَقَطْ وَجَبَ عَلَيْهِمَا الْفِطْرُ وَعَلَيْهِمَا الْقَضَاءُ فِي الْأَحْوَالِ الثَّلَاثَةِ وَعَلَيْهِمَا أَيْضًا اَلْفِدَيَةُ مَعَ الْقَضَاءِ فِي الْحَالَةِ الْأَخِيرَةِ وَهِيَ مَا إِذَا كَانَ الْخَوْفُ عَلَى وَلَدِهِمَا فَقَطْ

Artinya: “Madzhab syafii berpendapat, bahwa perempuan hamil dan menyusui ketika dengan puasa khawatir akan adanya bahaya yang tidak diragukan lagi, baik bahaya itu membahayakan dirinnya beserta anaknya, dirinya saja, atau anaknya saja. Maka dalam ketiga kondisi ini mereka wajib meninggalkan puasa dan wajib meng-qadla`nya. Namun kondisi ketiga yaitu ketika puasa itu dikhawatirkan memmbayahakan anaknya saja maka mereka juga diwajibkan membayar fidyah”. (Abdurrahman al-Juzairi, al-Fiqh ‘ala Madzahib al-Arba’ah, Bairut-Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, cet ke-2, h. 521).

Baca Juga:  Benarkah Bermain Catur Hukumnya Haram? Begini Pendapat Para Ulama' Fiqih

Menentukan puasa perempuan yang sedang menyusui itu membahayakan atau tidak, dapat kita ketahui berdasarkan kebiasaan sebelum-sebelumnya yakni keterangan medis atau dugaan yang kuat.

Hal ini sebagaimana dikemukakan as-Sayyid Sabiq:

مَعْرِفَةُ ذَلِكَ بِالتَّجْرِبَةِ أَوْ بِإِخْبَارِ الطَّبِيبِ الثِّقَةِ أَوْ بِغَلَبَةِ الظَّنِّ

Artinya: “Untuk mengetahui apakah puasa tersebut bisa membahayakan (bagi dirinya beserta anaknya, dirinya saja, atau anaknya saja) bisa melalui kebiasaan sebelum-sebelumnya, keterangan dokter yang terpecaya, atau dengan dugaan yang kuat” (As-Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, Kairo-Fath al-I’lam al-‘Arabi, 2001, juz, 2, h. 373)

Kewajiban qadla` di atas bisa dilakukan setelah bulan Ramadhan dan di luar waktu menyusui. Mengenai teknis pembayaran fidyah, boleh diberikan kepada satu orang miskin. Misalnya jika yang ditinggalkan ada 10 hari maka ia wajib memberikan 10 mud. Untuk besaran sepuluh mud ini boleh diberikan kepada satu orang miskin atau faqir.

Ketua Pusat Kajian Gizi dan Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Ahmad Syafiq, menyarankan bahwa ibu menyusui boleh tetap berpuasa bila bayinya sudah berumur 6 bulan. Sebelum berumur 6 bulan, bayi sebaiknya masih diberikan ASI secara eksklusif.

Sebab, ibu yang memberikan ASI eksklusif memiliki kebutuhan gizi tinggi dan lebih banyak ketimbang kebutuhan saat hamil, karena ASI-nya diharapkan bisa mendukung pertumbuhan bayinya secara optimal. Hal tersebut membuat ibu yang tengah menyusui eksklusif harus makan lebih banyak dan sulit dipenuhi bila harus berpuasa.

Baca Juga:  Puasa Daud: Pengertian dan Cara Pelaksanaannya

Oleh karena itu, Syafiq menyarankan agar ibu menyusui, khususnya bagi yang bayinya masih di bawah usia enam bulan, tidak berpuasa lebih dahulu dan mengqadlanya di lain waktu.

Ibu menyusui bolehkah puasa? Jawabannya adalah perempuan yang menyusui diperbolehkan tidak berpuasa sepanjang berpuasa itu bisa membahayakan kesehatan dirinya dan anaknya atau salah satunya. Ibu yang sedang menyusui harus selalu memperhatikan kesehatannya, begitu juga kesehatan sang buah hati. Apabila merasa masih kuat berpuasa tetapi kemudian ada masalah kesehatan, maka harus segera berkonsultasi kepada dokter.

Ayu Alfiah

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *