Inilah 10 Tanda Kecintaan Seorang Hamba Menurut Imam Al Ghazali

Inilah 10 Tanda Kecintaan Seorang Hamba Menurut Imam Al Ghazali

Pecihitam.org – Cinta, sebagai Umat beragama tentu dalam pedoman hidupnya bukan hanya terpaku pada cinta sesama manusia, baik itu kepada orang tua, karib kerabat, teman ataupun sahabat melainkan kita pun dibimbing guna menjadi manusia beragama yang amat mencintai Tuhannya. Dengan cara apa? dengan mendekatkan diri dan melakukan perihal apa saja yang telah sepatutnya dilakukan sebagai seorang hamba.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Pertanyaannya kemudian ialah, apakah ada tanda dalam diri seorang hamba jikalau di dalam hatinya ada cinta yang besar kepada sang Ilahi? Tentu ada tanda tanda tertentu, dan berikut 10 tanda kecintaan seorang hamba menurut Imam Abu Hamid Al Ghazali.

Pertama, rindu menggebu ingin bertemu dengan-Nya. la rindu setelah tabir tersingkap dan ingin hari penyaksian di surga segera datang. Bagi seorang pencinta, tak ada yang lebih diinginkan selain menyaksikan dan bertemu dengan Kekasih pujaan.

Kalau ia tahu bahwa satu-satunya jalan untuk bertemu dengan Sang Kekasih adalah meninggalkan dunia maka semestinya ia mencintai kematian, bukan malah menjauh dan takut kepadanya.

Sebagaimana Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa mencintai pertemuan dengan Allah niscaya Dia akan mencintai pertemuan dengannya,” (HR. Bukhari dan Muslim).

Begitupun dengan Hudzaifah bin Yaman r.a., pernah berkata menjelang kematiannya, “Sang kekasih telah datang untuk suatu keperluan. Maka, tak ada kebahagian bagi orang yang menyesali datangnya kematian.”

Kedua, lebih mengutamakan apa yang dicintai oleh Allah.

Seorang pencinta pasti lebih mengutamakan apa-apa yang dicintai oleh Kekasihnya, la akan mengerjakan apa saja yang dicintai oleh Allah daripada apa yang ia sukai, baik secara lahir maupun batin. Maka, tentu ia akan rela mengerjakan kebaikan-kebaikan, meski berat, dan menjauhkan diri dari maksiat, la lebih memilih taat kepada Allah dan mendekatkan diri kepada-Nya dengan ibadah-ibadah sunnah.

Disebutkan bahwa Nu’aiman bin Amr, salah seorang sahabat Nabi saw dari kaum Anshar, berkali-kali dihadapkan kepada Nabi Muhammad untuk diberi sanksi atas maksiatnya, yaitu meminum khamr.

Suatu hari ia dihadapkan kepada Nabi saw dan beliau memberikan hukuman had kepadanya. Lalu, ada seorang sahabat yang melaknatnya dan berkata, “Orang ini sudah beberapa kali dihadapkan kepada Rasulullah!” Rasulullah kemudian bersabda, “Janganlah engkau melaknatnya, karena ia mencintai Allah dan Rasul-Nya” (HR. Bukhari dan Muslim).

Imam Al-Ghazali juga mengingatkan kita bahwa ada bahaya saat kita mengaku mencintai Allah. Sampai-sampai Fudhail bin lyadh (wafat tahun 803 M), seorang perampok yang bertobat dan menjadi ulama besar, mengatakan,

Baca Juga:  Zuhud yang Sebenarnya, “Hanya Orang Bodoh dan Gila yang Tidak Ingin Kaya”

“Jika ditanyakan kepadamu, ‘Apakah kamu mencintai Allah?’ Maka diamlah. Sebab, bila engkau menjawab, Tidak’, berarti engkau telah kufur. Dan, jika engkau menjawab, ‘Ya’ ketahuilah bahwa dalam dirimu tidak ada sifat-sifat orang yang mencintai Allah. Maka, hindarilah kemarahan besar-Nya”

Ketiga, selalu mengingat dan menyebut-nyebut nama-Nya.

Tanda ini tak bisa disangkal lagi. Coba tanyakan kepada orang yang sedang jatuh cinta, siapakah yang sedang ada dipikirkannya? Siapakah yang sedang dilamunkannya? Dan, siapakah yang ia sebut-sebut setiap saat?

Hai orang-orang yang beriman, apabila kalian memerangi pasukan musuh, maka berteguh hatilah kalian dan sebutlah nama Allah sebanyak-banyaknya agar kalian beruntung.” (QS. Al-Anfal [8]: 45)

Sufyan Ats-Tsauri berkata, “Barangsiapa mencintai orang yang mencintai Allah, sungguh Allah telah mencintainya. Dan, barangsiapa memuliakan orang yang memuliakan Allah, sungguh Allah akan selalu memuliakannya.”

Sahi At-Tustari melanjutkan, “Tanda cinta kepada Allah adalah cinta kepada Al-Qur’an. Lalu, tanda cinta kepada Allah dan Al-Qur’an adalah cinta kepada Rasulullah. Tanda cinta kepada Rasulullah adalah dengan mencintai sunahnya. Tanda mencintai sunahnya adalah cinta akhirat. Tanda cinta akhirat adalah benci kepada dunia. Dan, tanda membenci dunia adalah tidak mengambil darinya kecuali yang akan menjadi bekalnya di akhirat”

Keempat, merasa tenteram dan senang menyendiri, bermunajat kepada Allah dan membaca Al-Qur an.

Mereka adalah orang yang memanfaatkan heningnya malam dan beningnya waktu untuk bercengkrama dengan Kekasihnya. Menghabiskan waktu berdua bersama-Nya, untuk munajat dan menghaturkan segala keluh dan kesah.

Ibrahim bin Adham suatu saat didapati sedang menuruni bukit, lalu seseorang bertanya kepadanya, “Dari mana kau?” la menjawab, “Habis bercengkerama dengan Allah.”

Yahya bin Mu’adz berkata, “Berangsiapa mencintai selain Allah kelak ia akan membenci dirinya” la melanjutkan, “Barangsiapa tidak memiliki tiga hal ini maka dia bukan orang yang mencintai. Pertama, lebih mengutamakan kalamullah (Al-Quran) daripada perkataan makhluk; Kedua, lebih mengutamakan bertemu dengan Allah daripada bertemu dengan makhluk; dan ketiga, lebih mengutamakan beribadah kepada-Nya daripada berkhidmat kepada makhluk.”

Kelima, tidak menyesali apa pun yang hilang darinya selain Allah. Justru, yang paling ia sesali adalah saat ia mendapati waktu-waktunya terbuang tanpa ingat kepada-Nya.

Baca Juga:  Mengenal Tuhan Melalui Ma'rifah Syuhudi, Bukan Konsepsi Semata (Bag I)

Seorang pencinta akan menerima semua keputusan kekasihnya, la yakin, mana mungkin kekasihnya menentukan sesuatu untuknya kecuali di dalamnya ada kebaikan baginya, la berpegang pada kalimat Allah ini. “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu” (QS. Al-Baqarah [2]: 216).

Begitulah tanda cinta, seakan tidak ada lagi yang dipikirkan dan diharapkan pemiliknya selain kekasihnya. Ibrahim Al-Khawwash berkata, “Cinta adalah menghapus semua keinginan dan membakar semua sifat dan hajat.”

Keenam, merasakan nikmat dalam ketaatan kepada Allah SWT dan tidak merasa lelah dan terbebani karenanya.

Junaid Al Baghdadi (830-910 M) seorang sufi generasi awal yang memegang syariat dan sunah Nabi mengatakan bahwa seorang pecinta akan bersungguh sungguh dalam kerinduan kepada Allah, hati dan pikirannya tidak pernah merasa lelah kepada-Nya meski tubuhnya butuh istirahat.

Ketujuh, mengasihi hamba Allah yang beriman dan bersikap tegas terhadap mereka yang mengingkari-Nya.

Orang-orang yang bersama dengannya keras terhadap orang-orang kafir tapi berkasih sayang terhadap sesama mereka.” (QS. Al-Fath: 29)

Mereka tidak peduli dengan celaan orang lain. Mereka tidak marah kecuali karena Allah. Merekalah para wali Allah yang disebutkan oleh-Nya dalam Hadits Qudsi berikut.

Mereka mencintai-Ku dengan kuat, seperti anak kecil yang mempertahankan sesuatu yang ia sukai. Mereka duduk dan berzikir kepada-Ku, ibarat elang yang duduk di sarangnya. Mereka akan marah terhadap apa yang Aku haramkan, seperti marahnya singa yang menuntut balas, tak peduli berapa banyak lawan yang ada di hadapannya.

Kedelapan, diwajahnya tampak ketakutan dan kegelisahan, seperti orang yang berada dibawah kekuasaan dan keagungan orang lain. Sehingga pada tahap inilah, kita yang sebagai pecinta amat takut kepada Allah, namun takut bukan berarti menjauh layaknya ketakutan kita kepada seseorang mungkin. Seperti takut kepada seorang pemabuk hingga harus menjauh ataupun yang lainnya.

Baca Juga:  Memahami Konsep Fana dari Sudut Pandang Buya Syakur

Ketakutan pada tahap ini ialah ketakutan dalam melakukan apa yang dilarang oleh Allah SWT. Hingga dari ketakutan itulah akan membuat kita semakin dekat dengannya.

Kesembilan, merahasiakan cintanya dari manusia, tidak mengaku-ngaku mencintai-Nya, dan berhati-hati dalam mengungkapkan perasaan cintanya itu.

Semua ini dilakukan untuk menunjukkan penghormatan dan pengagungan terhadap Allah. Takut kepada-Nya dan cemburu bila rahasia-Nya diketahui oleh orang lain. Mengapa harus dirahasiakan?

Sebab, orang yang mengaku-ngaku mencintai Allah biasanya melakukan perbuatan yang melampaui batas dan melebihi makna cinta yang sebenarnya. Yang seperti ini justru akan memberatkan azab akhirat dan bencana di dunia.

Orang bijak berpendapat bahwa mereka yang sering memamer-mamerkan cintanya kepada Allah di depan orang lain adalah orang yang paling jauh dengan-Nya. la akan di benci oleh orang yang mengenal dan mencintai-Nya.

Kesepuluh, Ketentraman hati karena kerelaan terhadap semua perintah, larangan, dan kehendak Allah. Itu artinya dalam perihal ini kita sebagai hamba memang menyerahkan seluruh hidup kita hanya teruntuknya. Seluruh perintah dan larangan telah menjadi kewajiban yang pastinya tak akan pernah kita elakkan lagi, dan tentu, semua itu dilakukan karena bentuk kecintaan kita sebagai seorang hamba.


Sumber referensi: Yon Machmudi dan Soraya Dimyathi. 2014. Tarbiyah Cinta Imam Al Ghazali. Jakarta: QultumMedia (Cetakan I, hlm. 252-273)

Rosmawati

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *