Inilah Batasan Orang Tua Menafkahi Anak Menurut Para Ulama

batasan orang tua menafkahi anak

Pecihitam.org – Sebagai kepala rumah tangga, sudah menjadi kewajiban seorang ayah untuk menafkahi anak, baik itu anak laki-laki ataupun perempuan. Namun dalam kondisi tertentu ada batasan orang tua menafkai anak, baik karena anaknya sudah dewasa dan bisa menafkahi dirinya sendiri atau karena faktor lainnya.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Kewajiban menafkahi anak ini ditegaskan dalam Al-Qur’an:

وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنّ بِالْمَعْرُوفِ

“Dan kewajiban ayah menanggung nafkah dan pakaian mereka dengan cara yang baik.” (QS. Al-Baqarah: 33)

Menafkahi anak bagi orang tua merupakan kewajiban yang dibebankan oleh syara’ berdasarkan nilai kasih sayang. Sehingga kewajiban ini meski sejatinya dikhususkan bagi ayah, namun kewajiban menafkahi anak menjadi gugur jika ibu atau orang lain terlebih dahulu memberikan kewajibannya kepada anak (tabarru’) keperluan dan kebutuhan sehari-harinya.

Kadar menafkahi anak tidaklah ditentukan dengan seberapa banyak nominal uang atau ukuran makanan, sebab kebutuhan masing-masing anak berbeda-beda berdasarkan usia dan gaya hidupnya.

Namun secara umum, komoditi yang diperlukan oleh anak biasanya meliputi makanan, minuman, pakaian dan tempat tinggal, serta kebutuhan-kebutuhan lain yang bersifat pokok.

Selebihnya hanyalah kebutuhan yang sifatnya sekunder yang hanya wajib jika anak membutuhkannya, seperti pelayan, barang elektronik dan kebutuhan-kebutuhan lainnya (Taqiyuddin Abu Bakar al-Husni, Kifayah al-Akhyar, juz 2, hal. 115).

Baca Juga:  Begini Persamaan dan Perbedaan Pendapat Terkait Aturan Hadhanah Menurut Lima Madzhab

Hal yang tidak kalah penting untuk diketahui adalah mengenai batasan waktu dan kewajiban orang tua menafkahi anak, sampai kapankah mereka wajib menafkahi anaknya?

Salah satu alasan wajibnya menafkahi anak bagi orang tua adalah karena faktor tidak mampunya anak dalam bekerja untuk menghasilkan uang atau karena anak sama sekali tidak memiliki simpanan uang yang cukup untuk biaya hidupnya.

Yang mana sebaliknya saat anak sudah menginjak usia baligh dan telah mampu untuk memenuhi kebutuhannya sendiri, maka jika demikian orang tua sudah tidak wajib untuk menafkahinya, meskipun pada saat itu anaknya masih belum mempunyai pekerjaan.

Hal ini berbeda ketika anak yang telah mampu untuk bekerja namun masih dalam tahap mencari ilmu, seperti belajar di pesantren atau institusi pendidikan yang lain. Sekiranya jika pendidikannya ditempuh dengan sambil bekerja, maka pendidikannya akan terbengkalai. Maka jika kondisinya demikian orang tua tetap wajib untuk menafkahi anaknya.

Faktor lain yang menjadikan orang tua sudah tidak berkewajiban menafkahi anak ialah, ketika sang anak telah memiliki simpanan uang yang banyak, sehingga dapat disebut sebagai orang kaya dan mampu.

Misalkan sang anak memiliki harta warisan, maka dalam kondisi seperti demikian orang tua tidak wajib menafkahi anaknya, walaupun sang anak masih kecil.

Baca Juga:  Doa Ketika Bersenggama Kajian Kitab Fathul Izar Bagian 5

Penjelasan di atas ialah berdasarkan keterangan yang terdapat dalam kitab Hasyiyah al-Baijuri:

فالغني الصغير او الفقير الكبير لا تجب نفقته – إلى أن قال – وقد استفيد مما تقدم ان الولد القادر على الكسب اللائق به لا تجب نفقته بل يكلف الكسب بل قد يقال انه داخل في الغني المذكور. ويستثنى ما لو كان مشتغلا بعلم شرعي ويرجى منه النجابة والكسب يمنعه فتجب حينئذ ولا يكلف الكسب

“Anak kecil yang kaya atau orang baligh yang fakir tidak wajib (bagi orang tua) menafkahi mereka. Dan dapat pahami bahwa anak yang mampu bekerja yang layak baginya tidak berhak lagi menerima nafkah, sebaliknya ia (justru) dituntut untuk bekerja. Bahkan, ada pendapat yang mengatakan bahwa anak yang mampu bekerja ini masuk kategori anak yang kaya. Dikecualikan ketika anak yang telah mampu bekerja ini sedang mencari ilmu syara’ dan diharapkan nantinya akan menghasilkan kemuliaan (dari ilmunya) sedangkan jika ia bekerja maka akan tercegah dari rutinitas mencari ilmu, maka dalam keadaan demikian ia tetap wajib untuk dinafkahi dan tidak diperkenankan untuk menuntutnya bekerja.” (Syekh Ibrahim al-Baijuri, Hasyiyah al-Baijuri, juz 2, hal. 187)

Baca Juga:  Batas Jumlah Minimal Mahar Pernikahan Menurut Para Ulama

Ketentuan di atas adalah ketentuan baku perihal batasan orang tua menafkahi anak sesuai dengan rumusan para ulama yang kompeten.

Namun meskipun demikian alangkah bijaknya dalam penerapan dalam kehidupan berkeluarga, orang tua sebaiknya tetap mempertimbangkan kondisi anaknya mengenai kesiapan mereka untuk hidup mandiri dengan cara bekerja dan tidak bergantung pada orang tua.

Jika memang secara mental sang anak belum siap, atau ia masih belum menemukan pekerjaan yang layak baginya, maka bijaknya orang tua dalam keadaan demikian tetap memberi nafkah pada anaknya.

Meskipun nafkah ini tidak wajib, namun hal ini dapat orang tua lakukan dengan tetap mendorong anak agar selalu berusaha hidup secara mandiri. Demikian, Wallahua’lam Bisshawab.

Arif Rahman Hakim
Sarung Batik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *