Inilah Sumber Tasawuf Yang Wajib Kita Ketahui (Bagian 1)

tasawuf

Pecihitam.org – Tasawuf sendiri dapat didefinisikan sebagai upaya memperindah diri dengan akhlak yang bersumber dari ajaran agama guna mendekatkan diri kepada Allah. Namun yang sering menjadi pertayaan di dewasa ini terkait keberadaan ajaran ajaran tasawuf itu ialah dari mana sumber tasawuf hingga istilah ini sangat dikenal sampai sekarang? Tentu para pengembang tasawuf seperti Imam Ghazali misalnya, tidak mengarang begitu saja melainkan memang ada sumber sumber yang real, dan berikut sumber Tasawuf yang wajib kita ketahui.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Pertama berasal dari unsur Islam

Tasawuf, dari segi lunguistik (kebahasaan) dapat kita pahami bahwasanya Tasawuf adalah sikap mental yang selalu memelihara kesucian diri. Beribadah, hidup sederhana maupun rela berkorban untuk kebaikan dan selalu bersikap bijaksana.

Sebelumnya mungkin alangkah baik jika kita kutip terlebih dahulu perihal perkataan Ibnu Khaldun bahwasanya manusia terdiri dari tiga pokok penting. Yakni pertama, pancaindera dimana fikih berperan dalam membersihkan dan menyehatkan panca indera dan anggota tubuh, kenapa? karena telah kita ketahui bahwasanya Fikih banyak berurusan dengan dimensi Eksoterik (Lahiriah) dari manusia. Kedua, akal pikiran. Disini filsafatlah yang bertugas dalam menggerakkan, menyehatkan dan meluruskan akal pikiran. Dan yang ketiga ialah hati sanubari, disinilah tasawuf berperan membersihkan hati, karena faktanya tasawuf lah yang berurusan dengan dimensi Esoterik (Batin) dari manusia. (Ali Abu Rayyan, Qira’at Fi Al Falsafah)

Secara umum ajaran Islam mengatur kehidupan yang bersifat lahiriah atau jasadiah, dan kehidupan yang bersifat batiniah. Nah dari yang bersifat batiniah itulah kemudian lahir tasawuf. Unsur kehidupan tasawuf ini mendapat perhatian yang cukup besar dari sumber ajaran Islam, Al-Qur’an dan al-Sunnah serta praktik kehidupan Nabi dan para sahabatnya. Al-Qur’an antara lain berbicara tentang kemungkinan manusia dengan Tuhan dapat saling mencintai (mahabbah) sebagaimana yang termaktub pada QS Al-Maidah [5]: 54);

Baca Juga:  Kalam Sufi dari Maulana Habib Luthfi bin Yahya, Pemimpin Forum Sufi Dunia

 Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, Maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya, yang bersikap lemah Lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha luas (pemberian-Nya), lagi Maha Mengetahui.

Selain itu, Rasulullah Saw pun menggambarkan dirinya sebagai seorang sufi seperti ketika Nabi melakukan pengasingan diri ke Gua Hira’ menjelang datangnya wahyu. Beliau pada waktu itu menjauhi pola hidup kebendaan di mana waktu itu orang Arab terbenam di dalamnya, seperti dalam praktik perdagangan yang menggunakan segala cara yang menghalalkan.

Baca Juga:  R.M.P. Sosrokartono dalam Ajaran Tarekat Ngawulo Marang Kawulo Gusti

Selama di Gua Hira yang ia kerjakan hanyalah tafakkur, beribadah dan hidup sebagai seorang yang zahid. Selain itu, Beliau hidup dalam kesederhanaan, terkadang mengenakan pakaian tambalan, tidak memakan makanan atau meminum minuman kecuali yang halal, dan setiap malam senantiasa beribadah kepada Allah SWT, sampai sampai sang istri tercinta Siti Aisyah sempat bertanya kepada beliau: “Mengapa Engkau berbuat begini ya Rasulullah, sedangkan Allah senantiasa mengampuni dosamu”. Nabi menjawab: “Apakah engkau tidak ingin agar aku menjadi hamba yang bersyukur kepada Allah”.

Begitupun di kalangan para sahabat dengan mengikuti praktik tasawuf sebagaimana yang diamalkan oleh Nabi Muhammad SAW. Kita bisa melirik kehidupan Abu Bakar Ash-Shiddiq misalnya ketika beliau berkata: “Aku mendapatkan kemuliaan dalam ketakwaan, kefanaan dalam keagungan dan rendah hati

Demikian pula khalifah Umar Ibn Khattab pada suatu ketika pernah berkhutbah di hadapan jamaah kaum muslimin dalam keadaan berpakaian yang sangat sederhana. Begitupun dengan khalifah Usman Ibn Affan yang banyak menghabiskan waktunya untuk beribadah dan membaca Al-Qur’an, karena baginya Al-Qur’an ibarat surat dari kekasih yang selalu dibawa dan dibaca ke manapun ia pergi, demikian pula para sahabat sahabat lainnya.

Baca Juga:  Ajaran Tasawuf Sebagai Dasar dalam Memajukan Perdaban Islam di Indonesia

Sehingga dari penjelasan diatas, sebetulnya sudah membukakan kita pintu informasi bahwasanya Tasawuf memang sudah hadir ditengah-tengah zaman Rasulullah dan para sahabat. Bersamaan pada waktu itu muncul pula kelompok-kelompok agama, tepatnya di masa Kekhalifaan Ali bin Abi Thalib seperti lahirnya Khawarij, Muktazilah dan aliran lainnya yang lebih mengedepankan rasio atau akal. Sehingga dari kejadian ini tak sedikit kaum yang tidak mau terlibat dalam pengedepangan akal ketimbang wahyu, mereka lebih memilih mengasingkan diri dan memusatkan diri hanya untuk beribadah kepada Allah (Moh. Ghallab, At-Tasawwuf Al Muqarin, (Kairo: Maktabah Al Nahdah, t.t.), hlm. 3)

Sumber referensi: Akhlak Tasawuf dan karakter mulia oleh Prof. Dr. H. Abuddin Nata, M.A.

Rosmawati

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *