KH. Wahid Hasyim, Ulama, Politisi dan Aktivis yang Berwawasan Luas

kh. wahid hasyim

Pecihitam.org – Memiliki nama lengkap Abdullah Wahid Hasyim, beliau adalah putra dari pasangan Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari dan ibu Nyai Nafiqah binti kyai Ilyas, atau biasa kita kenal dengan KH. Wahid Hasyim. Lahir di Jombang pada tanggal 1 Juni 1914 bertepatan dengan Rabiul Awal 1333 H. Wahid Hasyim adalah salah seorang dari sepuluh putra putri KH. Hasyim Asy’ari.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Wahid Hasyim adalah anak yang cerdas, diusianya yang masih anak-anak beliiau sudah dpaat membaca Al-Qur’an dengan pandai, dan ketika berusia 7 tahun, beliau sudah mengkhatamkan Al-Qur’an, selain dibimbing oleh sang ayah langsung, wahid Hasyim juga belajar di madrasah Salafiah di Pesantren. Diusianya yang ke 12 tahun dia sudah tamat dari madrasah kemudian sudah membantu ayahanda untuk mengajari adik serta anak-anak seusianya.

Wahid Hasyim tidak pernah merasakan pendidikan di pemerintah Hindia Belanda, beliau sering belajar secara otodidak. Selain dari madrasah beliau juga belajar sendiri kitab serta buku berbahasa Arab. Beliau mendalami syair-syair berbahasa Arab dan hafal diluar kepala dan juga menguasai maknanya dengan baik. Dan ketika berusia 13 tahun, ia dikirim ke pondok Siwalan, Panji, sebuah pesantren tua di Sidoarjo

Baca Juga:  Syekh Syamsudin Wasil, Penyebar Islam Nusantara Ahli Ilmu Bintang

Ternyata ia hanya bertahan selama satu bulan. Selanjutnya ia dipindahkan ke Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri. Lagi-lagi hanya bertahan beberapa hari saja, di Lirboyo malah lebih singkat dari pada di Siwalan. Dengan berpindah-pindah pondok yang dalam satu pondoknya ia hanya betah beberapa hari saja, seolah-olah yang dia perlukan hanya keberkahan dari para kyai saja bukan ilmunya.

Setelah dari Lirboyo Wahid Hasyim memilih menetap di rumah, dan ayahnya pun tidak melarangnya. Karena sepenuhnya pilihan dikembalikan pada si anak. Selama dirumah Wahid Hasyim memperlihatkan semangat belajar yang tak pernah surut apalagi belajar secara otodidak.

Pada usia 15 tahun ia sudah bisa menulis huruf latin, menguasai bahasa Inggris dan Belanda. Kedua bahasa asing tersebut ia pelajari dari majalah dalam atau luar negri, karena sesungguhnya Wahid Hasyim remaja tidak mengenyam pendidikan di dalam pendidikan formal milik pemerintah Hindia Belanda.

Baca Juga:  Pengajian Gus Dur Dibubarkan, NU Justru Mendoakan Pemerintah

Pada tahun 19932 saat Wahid Hasyim berusia 18 tahun, ia dikirim ke Mekkah ditemani saudara sepupunya untuk menunaikan rukun Islam ke lima, selain itu juga memperdalam berbagai cabang ilmu. Sepupu beliau bernama Muhammad Ilyas yang memiliki jasa besar dalam membimbing Wahid Hasyim tumbuh menjadi remaja yang cerdas. Muhammad Ilyas terkenal dengan kefasihannya berbahasa Arab.

Selama dua tahun ia belajar di Makkah, dengan pengalaman pendidikan tampaklah ia sebagai sosok yang memiliki bakat intelektual yang matang. Sehingga dengan memiliki penguasaan tiga bahasa Arab, Inggris dan Belanda mejadikan ia semakin mahir dan memberikan pengaruh yang sangat kentara dalam dunia pendidikan dan pengajaran terutama di Pondok pesantren. Dengan kembalinya ia ke tanah air menjadikan beliau ingin mengembangkan ilmu yang lebih modern.

Pada usia 24 tahun KH Wahid Hasyim mulai memasuki dunia politik, bersama teman-temannya ia semakin gencar mengajarkan ilmu politik, modernisasi dan doktrin kepada masyarakat untuk melawan pemerintah Hindiia Belanda. Sehingga Indonesia terbebas dari penjajah. Pada umur 25 tahun ia menikahi putri KH. Bisri Sansuri bernama Ning Solichah. Pada saat itu istri masih berusia 15 tahun, kemudian dikaruniai 6 orang putra.

Baca Juga:  Mengenal Sayyid Qutb dan Sepak Terjangnya dalam Pemikiran Islam

Kiprahnya di dunia politik dan organisasi menjadikan pemikiran beliau semakin matang, sampai pada saat dimana beliau dihadapkan dengan pilihan yang berat, yaitu memilih berkhidmah didalam perpolitikan atau memilih membesarkan NU, akhirnya setelah mengalami dilema beliau lebih memilih untuk berkiprah di organisasi NU (Nahdlatul Ulama).

Arif Rahman Hakim
Sarung Batik