Apa Itu Kitab Kuning dan Mengapa Harus Mempelajarinya?

kitab kuning

Pecihitam.org – Kitab kuning merupakan istilah untuk menyebutkan kitab-kitab klasik ulama terdahulu atau yang biasa kita kenal dengan ulama salaf. Kitab kuning merupakan elemen utama atau dasar dalam pengajaran di pondok pesantren, terutama kalau di Indonesia pesantren-pesantren Nahdlatul Ulama. Namun tahukah kamu asal usul mengapa dinamakan dengan kitab kuning? Nah, berrikut ulasan lengkapnya.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Sejarah Kitab Kuning

Konon, asal-usul nama kitab kuning tersebut ternyata karena kertas kitab-kitab klasik pertama yang sampai di Nusantara berwarna kekuning-kuningan. Kitab ini berisi berbagai disiplin ilmu agama islam. Antara lain berisi syarah atau komentar, komentar atas komentar (hasyiyah), terjemah dan saduran. Kitab kuning juga kadang disebut dengan nama kitab gundul, hal ini dikarena kitab-kitab ini tidak memiliki harokat.

Adapun kitab-kitab yang ditulis oleh ulama-ulama Indonesia yaitu saduran, komentar ataupun terjemah yang ditulis dalam aksara jawa atau biasa dikenal dengan Arab pegon. Kitab kuning tidak bisa dibaca oleh sembarang orang, hanya orang yang menguasai ilmu tata bahasa Arab saja yang bisa membaca seperti ilmu nawu dan sharaf.

Maka dari itu hal dasar yang perlu dipelajari dalam membaca kitab kuning adalah ilmu nahwu dan sharaf. Sedangkan untuk kitab-kitab yang berbentuk syair maka bukan hanya nahwu dan sharaf saja yang perlu dikuasi tetapi juga ilmu balaghah.

Didalam dunia pesantren ilmu tata bahasa Arab ini disebut dengan istilah ilmu alat. Karena memang ilmu inilah yang digunakan sebagai “alat” membaca kitab kuning.

Istilah kitab kuning juga menjadi pembeda dengan adanya kitab-kitab yang baru atau biasa dikenal dengan sebutan “buku putih” yang ditulis oleh kaum modernis dan reformis yang kebanyakan menulis tentang tafsir al-Qur’an dan tentang Hadits. Seperti yang sudah menjadi gambaran masyarakat bahwa kitab identik dengan tulisan Arab sedangkan buku identik dengan penulisan bahasa Indonesia.

Dalam bukunya yang berjudul kitab kuning, pesantren dan tarekat, Martin van Bruinessen menjelaskan bahwa kitab-kitab yang berisi inti ajaran-ajaran agama islam ini ditulis antara abad ke 10 M sampai abad ke 15 M. Namun juga ada beberapa kitab yang ditulis sebelum abad ke 10 dan juga ada beberapa yang ditulis setelah abad ke 15 M.

Puncak dari pemikiran Islam yaitu pada akhir abad ke 15, setelah itu pemikiran islam tidak ada perkembangan yang signifikan dalam tradisi penulisan kitab ini. Dalam tradisi abad pertengahan, semua ilmu dianggap sebagai sistem pengetahuan yang terbatas karena itu penambahan pada pengetahuan yang sudah ada dianggap tidak tepat.

Karena itulah penulisan kitab-kitab ilmu pengetahuan agama Islam bisa dirangkum ke dalam delapan kategori:

  1. Melengkapi yang belum lengkap.
  2. Mengoreksi yang salah.
  3. Menjelaskan yang belum jelas.
  4. Rangkuman dari karya yang panjang.
  5. Kumpulan berbagai tulisan yang terpisah namun berkaitan.
  6. Penyusunan tulisan-tulisan yang tidak teratur.
  7. Ringkasan apa yang sebelumnya belum diringkas.
  8. Terjemahan karya-karya terdahulu.
Baca Juga:  Hukum Bermain Catur, Ini Penjelasan Ulama Yang Harus Anda Ketahui

Pengetahuan yang tertulis dalam kitab kuning bersifat sudah tetap. Kalaupun ada karya-karya baru, kitab-kitab itu tetap berada dalam batas-batas yang jelas dan tidak bisa lebih dari sekadar ringkasan, penjelasan, dan komentar dari hal-hal yang sudah ditulis sebelumnya.

Di era sekarang, penerbitan kitab-kitab klasik ini biasanya disertai komentar atau penjelasan yang kadang dicetak di baris tepi atau sebaliknya. Inilah yang memungkinkan keduanya bisa dipelajari bersama sekaligus membuat penyebutan kitab menjadi campur aduk antara kitab yang dikomentari dengan kitab komentar itu sendiri.

Contohnya kitab Taqrib (Al-ghaya wa’l-Taqrib karya Abu Shujaal-Isfahani) dan komentarnya Fath al-Qarib (karya Ibn Qasim al-Ghazzi) sering dicetak dalam satu kitab.

Kemudian kitab Mahalli merujuk pada kitab yang ditulis oleh Qalyubi dan Umayra yang di dalamnya terdapat kitab Kanz ar-Raghibin karya Jalaluddin Muhammad bin Ahmad al-Mahalli yang dicetak di bagian tepi. Kitab Kanzu ar-Raghibin adalah komentar (syarah) atas kitab Minhaj at-Talibin, yaitu kitab fiqih mazhab Syafi’i karya Imam Nawawi.

Mengenai format, kitab kuning biasanya dicetak dalam ukuran kwarto (26 cm) dan tidak dijilid. Lembaran-lembarannya terpisah di dalam sampul sehingga memudahkan para santri bisa mengambil salah satu lembar yang akan dipelajarinya. Kitab ini tetap dicetak menggunakan kertas yang berwarna kekuning-kuningan seperti halnya kitab ini ditulis oleh pengarangnya.

Mengapa Harus Kitab Kuning?

Mengapa harus belajar kitab kuning, bukannya Al Quran dan Hadis sudah cukup? Sebenarnya yang dimaksud dengan menggunakan kitab kuning ialah ikut salah satu Madzhab dalam arti taqlid kepada Ulama karena kitab kuning adalah karya tulis dari para ulama.. Mari kita ulas kenapa kita harus Taqlid dan bermadzhab.

Fenomena penolakan sebagian kelompok terhadap konsep Taqlid untuk kaum awam menimbulkan polemik bagi ummat Islam, terutama bagi orang seperti kita yang tiada memiliki kemampuan untuk memahami agama langsung dari sumbernya yakni al Qur’an dan as sunnah (Hadits).

Disamping itu keengganan untuk bermadzhab (baca ; Taqlid) ternyata telah membangkitkan semangat sebagian umat islam untuk beristinbath (menggali hukum langsung dari sumbernya, yakni al qur’an dan as sunnah) tanpa disertai keilmuan yang memadahi. Dan akibatnya dapat kita rasakan, betapa spirit agama yang semestinya adalah “Amar Ma’ruf Nahi Munkar berubah menjadi “Amar Ma’ruf Sambil Munkar” diantara sesama ummat islam.

Oleh karenanya sebelum kita merasa lebih berilmu dan melepaskan diri dari mata rantai bermadzhab (Taqlid) sebaiknya kita bercermin diri setidaknya tentang beberapa hal:

Pertama, Apakah Kita Sudah Memahami Bahasa Arab dengan Benar?

Memahami bahasa arab dengan benar adalah sarana pertama yang wajib kita kuasai, mengingat dua sumber utama dalam islam yakni al qur’an dan hadits menggunakan bahasa Arab dengan mutu yang sangat tinggi.

Ilmu yang mesti kita kuasai dalam bidang ini setidaknya meliputi Gramatika Arab (Nahwu-Shorof), Sastra Arab /Balaghoh (Badi’, Ma’ani, Bayan), Logika Bahasa (Manthiq), Sejarah Bahasa, Mufrodat, dst…

Baca Juga:  Benarkah Hukum Melafalkan Niat dalam Shalat Bid'ah? Ini Jawabannya

Hal ini penting guna meminimalisir kesalahan dalam mengidentifikasi makna yang dikehendaki syari’at dari sumbernya secara Harfiyah (Tekstual), juga untuk mengidentifikasi nash-nash yang bersifat ‘Am, Khosh, berlaku Hakiki, Majazi dst…

Adalah hal yang naif jika kita berani mengatakan “Halal-Haram, Sah-Bathil, Shohih-‘Alil” hanya berdasar pemahaman dari terjemah al qur’an atau as sunnah saja.

Kedua, Sudahkah Kita Hafal Seluruh Al Quran dan Setidaknya 100.000 hadits

Syarat kedua ini sangatlah diperlukan karena dengan terpenuhunya syarat tersebut akan tergambar semua ayat dan hadits terkait jika anda hendak memutuskan suatu perkara, dengan demikian keputusan/pendapat anda akan terhindar dari bertabrakan dengan nash-nash yang lain.

Sebagai ilusrtrasi sederhana kita gunakan contoh ayat dengan terjemah berikut: “Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kalian hendak melaksanakan sholat, maka basuhlah wajahmu dan tanganmu sampai ke siku, dan usaplah kepalamu dan kedua kakimu sampai kedua mata kaki.” (QS. Al Maidah : 6)

Jika kita memahami hanya dari ayat tersebut, maka akan kita dapati hukum wajibnya berwudhu adalah bagi setiap orang yang hendak melaksanakan sholat, baik ia orang yang masih dalam keadaan suci maupun berhadats. mengingat keumuman perintah pada ayat diatas yang ditujukan pada setiap orang yang hendak melaksanakan sholat.

Syarat kedua ini, juga berguna untuk menghindarkan anda menempatkan dalil bukan pada tempatnya, misal menempatkan ayat-ayat yang sejatinya untuk orang-orang kafir namun anda hantamkan untuk orang-orang islam. Hal ini sebagaimana pernah terjadi oleh orrang-orang khawaarij.

وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ يَرَاهُمْ شِرَارَ خَلْقِ اللَّهِ وَقَالَ إِنَّهُمْ انْطَلَقُوا إِلَى آيَاتٍ نَزَلَتْ فِي الْكُفَّارِ فَجَعَلُوهَا عَلَى الْمُؤْمِنِينَ

Dan adalah Ibnu Umar, ia memandang mereka (Khowarij) sebagai seburuk-buruk makhluk Alloh, dan ia berkata : “Mereka (Khowarij) berkata tentang ayat-ayat yang (sejatinya) turun terhadap orang-orang kafir, mereka timpahkan ayat tersebut untuk orang-orang beriman”. (HR. Al Bukhori, Bab Qotlil Khowaarij)

Ketiga, Sudahkah Kita Menguasai Ilmu-Ilmu Pendukung Lainnya

Perangkat lain yang mesti kita kuasai dalam menggali hukum dari Al Qur’an dan hadits yang memang luas dan dalam, melebihi luas dan dalamnya samudera, diantaranya adalah ;

  1. Wajib mengetahui “Asbaabun Nuzul” dari setiap ayat dan juga “Asbaabul Wuruud” dari setiap hadits, hal ini penting agar anda mampu menempatkan dalil-dalil sesuai porsinya dan mampu membedakan dalil-dalil yang “Nasikh” (Pengganti/penyalin) dari dalil-dalil yang “Mansukh” (diganti/disalin)
  2. Wajib menguasai sekurang-kurangnya “Qiro’ah Sab’ah” dalam ilmu qur’an, mengingat akan Naif rasanya seorang “Calon Mujtahid” melafadzkan al qur’an tidak dengan pengucapan yang fashih.
  3. Wajib menguasai ilmu-ilmu pendukung guna memahami As Sunnah, seperti Mushtholah Hadits, Jarh Wat Ta’dil, Taroojim, dst… hai ini penting setidaknya agar anda tidak berhukum dengan hadits yang lemah dengan menabrak hadits yang shohih.

Keempat, Sudahkah Kita Menguasai Kaidah Ber-Istinbath dari Para Imam Mujtahid?

Syarat keempat diatas juga sangat penting setidaknya guna mengetahui cara mensikapi nash-nash yang Mujmal, Mubayyan, ‘Am, Khosh, dan cara men-Jami’-kan (mencari titik temu) jika terdapat nash-nash yang dzahirnya Mukholafah (berselisih) atau Ta’aarudh (bertentangan).

Baca Juga:  Kitab Kuning: Wacana Kuasa Counter-Radikalisme

Sebagai ilustrasi sederhana kami kutipkan Firman Alloh berikut:

إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَالَّذِينَ هَادُوا وَالنَّصَارَى وَالصَّابِئِينَ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَعَمِلَ صَالِحًا فَلَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, dan orang-orang Shobiin, siapa saja (diantara mereka) yang beriman kepada Alloh dan hari akhir, dan melakukan kebajikan, mereka mendapat pahala dari tuhannya, tidak ada rasa takut pada mereka, dan mereka tidak bersedih hati.” (QS. Al Baqoroh : 62)

Sepintas ayat diatas memberi pemahaman adanya peluang yang sama bagi orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, dan orang-orang Shobiin, untuk mendapat pahala disisi Alloh atas kebajikan yang mereka perbuat.

Sehingga seakan ayat tsb menyatakan bahwa orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, dan orang-orang Shobiin, bisa masuk sorga. Adakah kenyataannya memang demikian? sedang dalam ayat lain Alloh berfirman:

وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ

“Dan barang siapa mencari agama selain Islam, dia tidak akan diterima, dan di akhirat dia termasuk orang yang rugi.” (QS. Alu Imron : 85)

Perhatikan dua ayat diatas !!! adakah pengetahuan yang memadahi pada diri anda untuk men-Jami’-kan dua nash yang dzohirnya Mukholafah (tidak sejalan) seperti diatas?

Sungguh diatas hanyalah sebagian kecil perangkat yang harus kita kuasai untuk Ber-Istinbath (menggali hukum langsung dari sumbernya). Jika syarat-syarat diatas belum terpenuhi maka sudah selayaknya kita kembali kepada Kitab-kitab kuning. Yang mana hukum-hukum yang bersumber dari al Quran dan hadits sudah disajikan dengan lebih mudah dipahami dan dapat dipertanggung jawabkan hasil ijtihad para ulama tersebut.

Terdapat kaidah,

” Ulama pengarang kitab kuning bisa saja keliru tak selalu sempurna, akan tetapi satu hal yang diyakini, ulama itu tak pernah bohong.”

“Setiap segala sesuatu ada ahlinya, Jika suatu perkara diembankan (diserahkan) pada yang bukan ahlinya, maka nantikanlah saat kehancurannya”.

Sebagaimana banyak perpecahan, musibah, dan saling menjatuhkan pendapat dikarenakan banyak orang berfatwa menyesatkan yang sebenarnya disebabkan ia langsung menggali hukum dari al Quran dan Hadits tanpa melalui prosedur ijtihad dan tanpa mempelajari kitab Kuning.

Wallahua’lam bisshawab.

Arif Rahman Hakim
Sarung Batik