Pecihitam.org – “Mari kita meraih kemenangan”, kalimat itulah yang selalu dikumandangkan muadzin paling tidak sehari lima kali. Ajakan kepada kita sebagai umat Islam bukan hanya menerima tetapi meraih kemenangan. Bahkan kemenangan tersebut harus diupayakan bersama-sama dalam menegakkan kalimat Allah Swt.
Oleh karena itu, umat Islam perlu mengetahui apa makna dibalik sebuah kemenangan? Kemenangan yang seperti apa sebenarnya yang dituju? Marilah kita mencoba merenungi ayat Al-Qur’an di bawah ini untuk mencoba memaknai kemenangan yang hakiki.
إِنَّا فَتَحْنَا لَكَ فَتْحًا مُبِينًا (1) لِيَغْفِرَ لَكَ اللَّهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِكَ وَمَا تَأَخَّرَ وَيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكَ وَيَهْدِيَكَ صِرَاطًا مُسْتَقِيمًا (2) وَيَنْصُرَكَ اللَّهُ نَصْرًا عَزِيزًا (3)
Artinya: “Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu kemenangan yang nyata, supaya Allah memberi ampunan kepadamu terhadap dosamu yang telah lalu dan yang akan datang serta menyempurnakan nikmat-Nya atasmu dan memimpin kamu kepada jalan yang lurus, dan supaya Allah menolongmu dengan pertolongan yang kuat (banyak).” (Q.S. Al-Fath: [48]: 1-3)
Kemenangan yang diberitakan langsung oleh Allah Swt melalui firmannya tersebut bukanlah kemenangan yang terjadi karena peperangan. Padahal semasa Nabi Muhammad Saw telah memimpin peperangan sebanyak 27 kali. Ditambah dengan pengiriman utusan dan ekspedisi militer (tidak dipimpin Nabi Saw) mencapai 60 kali. Namun, tidak semuanya terjadi peperangan.
Surat yang mulia ini diturunkan ketika Rasulullah Saw. kembali dari Hudaibiyah dalam bulan Zul Qa’dah tahun enam Hijriah. Saat itu Rasulullah Saw. di halang-halangi oleh kaum musyrik untuk dapat sampai ke Masjidil Haram guna menunaikan Umrahnya; mereka menghalang-halangi beliau dari tujuannya.
Kemudian mereka berubah sikap dan cenderung mengadakan perjanjian perdamaian serta gencatan senjata, dengan ketentuan hendaknya tahun itu Nabi Saw. kembali ke Madinah dan boleh ke Mekah tahun depannya.
Perjanjian yang menurut sebagian orang kurang adil bagi kaum muslim tersebut dengan mengabulkan semua usulan yang diajukan Suhail bin ‘Amr (utusan kaum Quraisy). Diantara perjanjian yang memberatkan kaum muslim adalah: pertama, jika ada seorang dari kaum Quraisy yang telah beriman datang kepada Nabi Saw. maka dia harus dikembalikan. Kedua, jika ada seorang dari pengikut Nabi Saw. mendatangi Quraisy maka ia tidak akan dikembalikan kepada beliau.
Ketika kaum muslimin melihat isi perjanjian damai, kepulangan mereka (dari rencana berthawaf di ka’bah yang belum terlaksana), dan apa yang diterima Rasulullah Saw. dari perjanjian itu. Timbulah masalah besar bagi mereka, jiwa mereka resah dan hampir menghancurkan mereka. Kondisi tersebut diriwayatkan oleh Imam Bukhari bagaimana sahabat Umar bin Khaththab merasa tidak terima dengan perjanjian yang kurang seimbang.
Imam Bukhari meriwayatkan dengan sanadnya yang sampai kepada Habib bin Abi Tsabit ia berkata, “Aku mendatangi Abu Wa’il untuk bertanya kepadanya, lalu ia berkata, “Kami berada di Shiffin, lalu ada seorang yang berkata, “Tidakkah engkau melihat orang yang diajak kepada kitab Allah Ta’ala.” Maka Ali berkata, “Ya (aku lebih berhak kembali kepadanya).”
Sahl bin Hunaif berkata (kepada orang-orang yang mengusulkan dilanjutkan peperangan), “Salahkanlah diri kamu! Sungguh, kami telah menyaksikan keadaan kami pada hari Hudaibiyah –yakni perjanjian damai yang terjadi antara Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan kaum musyrik-, kalau sekiranya kami melihat bahwa berperang (lebih baik), tentu kami melakukannya.”
Kemudian (ketika itu) Umar datang dan berkata, “Bukankah kita di atas yang hak, sedangkan mereka di atas yang batil, dan bukankah orang yang terbunuh di antara kita di surga dan orang yang terbunuh di antara mereka di neraka?”
Beliau menjawab, “Ya.”Ia (Umar) berkata, “Lalu mengapa kita memberikan kerendahan dalam agama kita dan kita pulang, sedangkan Allah belum memberikan keputusan di antara kita?” Beliau menjawab, “Wahai Ibnul Khaththab, sesungguhnya aku Rasulullah dan Dia tidak akan menyia-nyiakan aku selamanya.”
Maka Umar kembali dalam keadaan marah, dan tidak sabar sampai ia datang kepada Abu Bakar, dan berkata, “Wahai Abu Bakar! Bukankah kita di atas yang hak, sedangkan mereka di atas yang batil?” Abu Bakar menjawab, “Wahai Ibnul Khaththab! Sesungguhnya Beliau adalah Rasulullah dan Allah tidak akan menyia-nyiakan Beliau selamanya.”
Maka turunlah surah Al Fat-h. (Hadits ini diriwayatkan pula oleh Muslim, dan di sana disebutkan, “Maka turunlah Al Qur’an kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu Beliau mengirim seseorang kepada Umar untuk membacakan surah itu kepadanya. Maka Umar berkata, “Wahai Rasulullah, apakah itu pertanda kemenangan?” Beliau menjawab, “Ya.” Maka senanglah hatinya.
Belum genap setahun berlalu Perjanjian Hudaibiyah ini, tetapi mereka yang masuk Islam jumlahnya lebih besar dari pada orang yang masuk Islam selama 15 tahun-dan Makkah belum ditaklukkan.
Imam Ibnu Shihab az-Zuhri berkata, “Tidak pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah Islam kemenangan yang lebih besar dari kemenangan ini. Peperangan membuat manusia saling bertemu dan membunuh. Maka ketika ketenangan itu tiba, peperangan itu tidak diperlukan lagi.
Manusia merasa aman, sebagian mereka dapat berbixara dengan sebagian lainnya. Mereka bertemu sambil berdiskusi, berbicara dan sanggah menyanggah. Tidak ada seorang pun yang berbicara tentang Islam dan memikirkan sesuatunya, kecuali ia akan masuk Islam.
Ibnu Hisyam berkata, “Dalil dari apa yang dikatakan oleh az-Zuhri bahwa Rasulullah Saw. keluar menuju Hudaibiyah dengan 1.400 orang adalah perkataan Jabir bin Abdullah, kemudian keluar pada tahun penaklukan kota Makkah dua tahun kemudian dengan 10.000 orang.
Di zaman yang semakin menuju ujungnya ini, masihkah umat Islam mencari kemenangan dengan paksaan/peperangan. Melukai yang lemah, memaksa yang minoritas, membatasi yang sempit. Padahal agama ini begitu mudah diterima oleh mereka yang mau menggunakan akalnya untuk berdiskusi. Seperti kondisi damai di atas menjadikan orang berfikir tentang agama ini dan masuk Islam.
Kemenangan yang tidak meninggalkan rasa sakit atas kelompok lain, bahkan pemimpin pasukan berkuda Quraisy (Khalid bin Walid) masuk Islam. beliau dijuluki “Pedang Allah” oleh Nabinya yang terkasih Muhammad Saw. Beliau menjadi pembela yang ulung dan penakluk kota Syam yang nantinya dari tempat tersebut terpancar sinar keIslaman.