Mengenang Mbah Moen, Dari Kisah Klasik Hingga Menjadi Ulama Karismatik

Mbah Moen

Pecihitam.org – KH Maimoen Zubair atau biasa dikenal dengan panggilan Mbah Moen adalah ulama kharismatik yang banyak menjadi panutan para santri. Bila matahari terbit dari timur, maka mataharinya para santri ini terbit dari Sarang Rembang Jawa Tengah.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Daftar Pembahasan:

Profil Mbah Moen

Mbah Moen lahir di Sarang Rembang pada hari Kamis, 28 Oktober 1928. Beliau merupakan putra pertama dari Kyai Zubair. Seorang Kyai yang tersohor karena kesederhanaan dan sifatnya yang merakyat. Ibundanya adalah putri dari Kyai Ahmad bin Syuaib, ulama yang kharismatik yang teguh memegang pendirian.

Mbah Moen, adalah insan yang lahir dari gesekan intan dan permata. Dari ayahnya, beliau meneladani ketegasan dan keteguhan, sementara dari kakeknya beliau meneladani rasa kasih sayang dan kedermawanan.

Kasih sayang terkadang merontokkan ketegasan, rendah hati seringkali berseberangan dengan ketegasan. Namun dalam pribadi Mbag Moen ini, semua tersinergi secara padan dan seimbang.

Panas dan kerasnya kehidupan pesisir utara Jawa tidak membuat sikap beliau ikut mengeras. Beliau adalah gambaran sempurna dari pribadi yang santun dan matang.

Semua itu bukanlah kebetulan, sebab sejak dini beliau yang hidup dalam tradisi pesantren diasuh langsung oleh ayah dan kakeknya sendiri. Mbah Moen adalah bukti bahwa ilmu tidak harus menyulap pemiliknya menjadi tinggi hati ataupun ekslusif dibanding yang lainnya. Kehidupan sehari-harinya menjadi gambaran dari semua itu.

Meski banyak dikenal dan mengenal erat tokoh-tokoh nasional, namun itu tidak menjadikan beliau tercerabut dari basis tradisinya semula. Sementara walau sering kali menjadi peraduan bagi keluh kesah masyarakat, tapi semua itu tetap tidak menghalanginya untuk menyelami dunia luar, tepatnya yang tidak berhubungan dengan kebiasaan di pesantren sekalipun.

Perjalanan Keilmuan Mbah Moen

Kematangan ilmunya tidak ada satupun yang meragukan. Sebab sedari kecil Mbah Moen sudah dibesarkan dengan ilmu-ilmu agama. Sebelum menginjak remaja, beliau diasuh langsung oleh ayahnya untuk menghafal dan memahami ilmu Shorof, Nahwu, Fiqih, Manthiq, Balaghah dan bermacam Ilmu Syara’ yang lain.

Dan siapapun zaman itu tidaklah meragukan, bahwa ayah Mbah Moen, Kyai Zubair, adalah murid pilihan dari Syaikh Sa’id Al-Yamani dan Syaikh Hasan Al-Yamani Al- Makky. Dua ulama yang sangat kesohor kala itu.

Kecemerlangan demi kecermelangan tidak heran menghiasi langkahnya menuju dewasa. Pada usia yang masih muda, kira-kira 17 tahun, Beliau sudah hafal diluar kepala kiab-kitab nadhom, seperti Al-Jurumiyyah, Imrithi, Alfiyyah Ibnu Malik, Matan Jauharotut Tauhid, Sullamul Munauroq serta Rohabiyyah fil Faroidl.

Seiring pula dengan kepiawaian beliau dalam mengkaji dan memahami kitab-kitab fiqh madzhab Asy-Syafi’i, semisal Fathul Qorib, Fathul Mu’in, Fathul Wahhab dan lain sebagainya.

Baca Juga:  Biografi Abu Nasir Muhammad al Farabi Sang Tokoh Filosof Islam

Setelah mengenyam pendidikan dari ayahnya beliau memulai pengembaraannya lanjut mengaji di Pesantren Lirboyo Kediri selama 5 tahun, dibawah bimbingan KH. Abdul Karim yang terkenal dengan Mbah Manaf.

Selain itu, beliau juga menimba ilmu agama dari KH. Mahrus Ali juga KH. Marzuqi Dahlan. Seusai ngaji di Lirboyo Kediri, pada usia 21 tahun Mbah Maimoen pergi ke Tanah Suci dan mengaji selama 2 tahun disana.

Selama di Mekkah beliau didampingi oleh kakeknya sendiri, yakni KH. Ahmad Bin Syuaib. Di Tanah Suci beliau berguru kepada Sayyid Alawi Al-Maliki, Syaikh Hasan Al-Masysyath, Sayyid Amin Al-Kutbi, Syaikh Yasin Al-Fadani, Syaikh Abdul Qodir al-Mandily, dan Syaikh Imron Rosyadi di Darul Ulum Mekah.

Selama dua tahun lebih beliau menetap dan belajar di Mekkah untuk menimba ilmu. Sekembalinya dari Tanah suci, tak serta merta berhenti, ternyata beliau masih melanjutkan belajarnya lagi di Indonesia kepada ulama-ulama besar tanah Jawa saat itu.

Diantara guru-guru Mbah Moen adalah:

  • KH. Baidlowi (mertua beliau sendiri)
  • KH. Ma’shum Lasem
  • KH. Ali Ma’shum dari Krapyak Jogjakarta
  • KH. Bisri Musthofa Rembang
  • KH. Abdul Wahhab Hasbullah
  • KH. Mushlih Mranggen
  • KH. Abbas Buntet Cirebon
  • Sayikh Ihsan Jampes Kediri
  • KH. Abul Fadhol dari Senori
  • Kiai Hamid Pasuruan
  • Habib Abdul Qadir Bilfaqih Malang
  • Habib Ali Alatthas Pekalongan, dll.

Tahun 1964 M pada usia 36 tahun, Mbah Moen mendirikan musholla kecil untuk mengajar masyarakat di desa Sarang. Pada tahun 1966, membangun kamar di sebelah Musholla tersebut untuk santri yang menghendaki mondok. Dan pada tahun tahun 1970 berdirilah Pesantren sampai sekarang ini di kenal dengan nama Pesantren Al-Anwar.

Mbah Moen setiap hari mengaji ilmu tingkat lanjut seoperti Fathul Wahhab, Syarah Mahalli, Jam’ul Jawami’, Ihya Ulumiddin, dll. Saat Ramadhan, beliau mengaji Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Muwattha, dll. Tiap Ahad beliau ngaji Tafsir Jalalain bersama ribuan masyarakat umum dan santrinya.

Keharuman nama dan kebesaran Mbah Moen sudah tidak diragukan lagi. Banyak santri-santri didikan beliau di al Anwar yang menjadi alim ulama besar. Sudah terbukti bahwa ilmu-ilmu yang Belaiu miliki tidak cuma membesarkan jiwa beliau sendiri, namun juga membesarkan setiap santri yang belajar dengan beliau.

Sosok yang Mandiri

Sejak muda mbah Moen dikenal sebagai sosok yang mandiri. Bahkan jarang yang tahu, dibalik karismanya yang luar biasa, beliau ternyata dahulu pernah menjadi petugas koramil, kepala pasar, pengayong bulog, ketua koperasi, hingga bekerja di pelelangan ikan. Berbagai macam pekerjaan pernah beliau lakoni.

Mbah Maimoen sangat hati-hati dalam urusan nafkah. Saat menyimpan uang, beliau selalu membeda-bedakan lokasinya di lemari. Antara uang dari ceramah, atau dari partai, atau dari hasil penjualan warung, atau dari hasil pertanian.

Baca Juga:  Ada Restu dan Doa Mbah Moen untuk Kyai Said dalam Menahkodai NU

Uang tersebut dipisah-pisah supaya tidak tercampur. Jika ada keperluan ceramah, Mbah Maimoen menggunakan uang dari hasil ceramah. Kalau ada keperluan politik, beliau pakai uang hasil berpolitik. Adapun untuk keperluan nafkah keluarga dan makan sehari-hari, beliau ambil dari hasil pertanian dan warung beliau sendiri.

Tawadhu Tingkat Langit

Cerita ini, dikisahkan ketika Syaikhana Dr. Abdun Nashir al-Malibari mengunjungi KH Maimoen Zubair di Sarang, ada kurang lebih empat perkara Mbah Maimoen yang sangat luar biasa.

Empat perkara tersebut menunjukkan betapa tingginya sikap tawadhu Mbah moen. Bahkan perkara tersebut keluar dari lisan mulia beliau dengan alami tanpa ada sedikitpun takalluf (paksaan).

طال عمري وقل عملي

“Umurku panjang tapi amal baikku sedikit.”

Sekelas Mbah Maimoen Zubair yang seluruh umur dan hidupnya di dedikasikan terhadap islam dan kaum muslimin beliau masih mengganggap amalnya sedikit.

عمري فوق التسعين، ادع لي أن أموت على دين الإسلام

Kepada Syaikh Abdun Nashir al-Malibari beliau berkata: “Umurku sudah 90 tahun lebih. Tolong doakan agar saya meninggal dalam keadaan membawa agama Islam.”

Coba bayangkan seorang ulama dan waliyyullah besar yang besar masih minta didoakan meninggal dengan membawa agama Islam. Padahal, amal kesalehan beliau untuk kemaslahatan umat Islam khususnya muslimin Indonesia sudah tak terhingga. Sungguh betapa tawadhunya beliau seakan tidak menganggap amal baiknya hingga takut meninggal tidak membawa Islam.

أنتم صاحب المؤلفات وأنا ما عندي تأليفات

Beliau juga berkata kepada Syaikh Abdun Nashir al-Malibari: “Anda penulis banyak kitab. Sedangkan saya tidak mempunyai karangan apa-apa.”

Padahal kita tahu Mbah Maimoen itu punya banyak kitab. Diantaranya adalah Tarajim Masyayikh Sarang, Maslak at-Tanassuk al-Makki, Ta’liqat ‘ala Jauharatit Tauhid, dan Ta’liqat ‘ala Bad’i al-Amali. Begitu tawadhunya, seakan semua kitab itu tidak beliau anggap sebagai karangan ilmiah.

Syaikh Abdun Nashir kemudian berkata sambil menunjuk kitab Tarajim Masyayikh Sarang: “Lha ini, Kyai. Ini kan tulisan Panjenengan.”

إنما هي تراجم، وليس فيه علم.

“Kitab ini hanya kumpulan biografi. Tidak ada ilmunya.” Jawab mbah Maimoen

Karena ketawadhuan Mbah Maimoen, hingga banyak yang mengatakan bahwa tawadhunya beliau itu sudah tingkat langit.

Perjuangan Politik

Mbah Maimoen Zubair pernah menjadi anggota DPRD Kabupaten Rembang selama 7 tahun dan anggota MPR RI utusan daerah Jawa Tengah selama 3 periode.

Sejak dahulu berjuang sebagai politisi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan menjabat posisi sebagai Ketua Majelis Syariah. Di PBNU, beliau menjadi mustasyar serta duduk di ‘majlis ifta wal irsyad’ Jamiyah Ahlit Thariqah al-Mu’tabarah an-Nahdliyyah (JATMAN).

Baca Juga:  Banser dan GP Ansor Berhasil Ungkap Identitas Penghina Mbah Moen, Ini Pelakunya

Sosok Mbah Moen selalu dianggap mempunyai pengaruh besar dalam dunia politik. Setiap menjelang pemilu beliau sering disowani tokoh-tokoh politik hingga calon presiden. Ketika menjabat jadi anggota dewan, Mbah Maimoen tidak pernah menikmati gajinya.

Hal ini beliau lakukan untuk menghindari harta yang syubhat. Bahkan ada yang menuturkan jika pergi ke Jakarta untuk keperluan politik, beliau sekeluarga memilih membawa bahan makanan sendiri untuk dimasak.

Wafatnya KH Maimoen Zubair

Diceritakan KH Ahmad Mustofa Bisri Rembang, “Sebelumnya, putra-putra Kiai Maemoen Zubair rahimahullah sebenarnya ingin mencegah beliau berangkat haji. Tapi tidak berani matur. Maka mereka minta tolong salah satu santri kinasih beliau yang kebetulan masih famili, mas Nawawi.

Mas Nawawi kemudian dengan sangat hati-hati matur menggunakan gaya bercerita. Menceritakan obrolan putra-putra beliau. Belum sampai Mas Nawawi tuntas memberitahu apa yang mereka obrolkan, beliau sudah memotong, “Mereka melarang aku berangkat haji ya? Karepe dewe!” (Maunya sendiri).

Terus terang saat Mas Nawawi menceritakan hal itu, dalam hati aku sudah merasa ketir-ketir, tidak enak. Bukan apa-apa: soalnya belakangan setiap ketemu, beliau hampir selalu ngendiko,

“Dongo kulo sakniki namung nyuwun husnul khatimah, Lek. Umur kulo sampun langkung 90 tahun.”
( Doa saya sekarang ini hanya memohon husnul khatimah, Lek. Umur saya sudah 90 tahun lebih).

Sewaktu Romo Kyai Anwar Kediri silaturrahim di dalem Mbah Kyai Maimoen Zubair di Rembang. Mbah Maimoen berkata,

“Mugi piyambak pinaringan khusnul khotimah, kapundut dinten seloso, sebab dinten seloso meninggalnya para ulama’, para ahli ilmu”.
( Semoga saya diberi husnul khotimah di panggil yang Kuasa pada hari selasa, karena hari selasa adalah hari meninggalnya para ulama, para ahli ilmu).

Dan doa beliau ternyata dikabulkan oleh Allah. KH Maimoen Zubair bin KH Zubair Dahlan wafat pada hari selasa 6 Agustus 2019 M atau 5 Dzulhijjah 1440 H di kota yang mulia, Mekkah Al Mukarammah.

Tokoh pendamai yang menyukai perdamaian itu telah damai di sisi Dzat yang Maha damai. Meninggalkan kita yang belum selesai dengan urusan dunia ini, dengan membawa segudang ilmu, akhlak, dan kearifan beliau.

Arif Rahman Hakim
Sarung Batik